BC4

214 8 1
                                    

Ali telah sampai dirumahnya dengan senyum mengembang. Ingatannya kembali berputar saat dimata Prilly mengajaknya berkenalan, ingin menjadi temannya, dan meminta nomor handphonenya.

"Abang."

Panggilan itu membuat Ali tersadar dari lamunannya.

"Ah. Iya, Dek?"

Ya. Yang memanggil Ali tadi adalah adiknya, Zalfa Syarief.

Zalfa berumur 7 tahun. Ia sekarang duduk dikelas 2 SD. Zalfa sangat dekat dengan Ali, karena Ali selalu menuruti permintaan Zalfa selagi ia mampu. Ah! Benar-benar kakak idaman.

"Abang kenapa? Kok ngelamun sambil senyum-senyum? Hayoloh! Pasti abis ketemu pacarnya, ya?" Goda Zalfa.

"Apaan kamu ini, Dek. Masih kecil udah tau apa itu pacar aja. Lagian, abang kan belum punya pacar."

"Masa? Kenapa belum punya, Bang?"

"Abang kan masih pengen manjain princess nya abang ini." Ucap Ali sambil mengapit kedua pipi adiknya.

"Ah, Abang." Balas Zalfa malu-malu sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

"Yaudah. Kita masuk aja, yuk." Ajak Ali. Zalfa mengangguk lalu meraih tangan Ali menuntunnya masuk kedalam rumah.

Ohya, kebetulan ini hari minggu. Jadi, Zalfa libur.

Sesampainya didalam rumah. Ali melihat ibunya sedang mengetuk pintu kamar Dafi, adik laki-lakinya yang berumur 13 tahun. Dafi sekarang duduk dikelas 2 SMP.

"Dafi kenapa, Bu?"

"Ini loh, Bang. Dafi gak mau keluar dari tadi. Dia belum sarapan."

Ini biasa terjadi. Dafi seringkali mengurung diri dikamar jika permintaannya tak dituruti. Sifat Dafi memang sedikit berbeda dari sifat Ali dan Zalfa.

Ia teringat sesuatu. Kemarin Dafi minta dibelikan tas baru. Ali memaklumi. Karena memang tas Dafi sudah tak ber-resleting lagi. Jadi, untuk menjaga bukunya agar tak terjatuh, ia menutupnya dengan memasangkan peniti disebelah kanan, kiri, dan tengah pada tas Dafi.

"Yaudah. Biar Ali yang bujuk Dafi. Ibu kedapur aja." Ucap Ali pada ibunya.

Ibunya mengangguk lalu berlalu dari hadapan Ali menuju dapur.

"Dek, keluar dulu, yuk. Abang mau bicara." Panggil Ali dari luar kamar Dafi.

Tak ada tanda-tanda Dafi akan keluar. Lalu, Ali menolehkan wajahnya kebawah menatap Zalfa. Zalfa mengangkat kedua bahunya pertanda ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Dek, buka dulu pintunya. Nanti, abang janji bakal beliin kamu tas baru."

Barulah Dafi muncul dari kamarnya. Lalu, menatap Ali dengan wajah datarnya.

"Mau bicara apa, Lo?" Ucap Dafi tak sopan.

"Abang! Sopan dikit, dong." Geram Zalfa.

"Diem lo! Gak usah ikut campur."

"Udah. Gak usah berantem. Ayo, masuk kekamar kamu. Kita ngomongnya didalem."

Sesampainya dikamar.

"Mau ngomong apa?" Tanya Dafi malas.

"Kamu kenapa, sih? Gak mau keluar kamar? Abang kemarin kan udah bilang. Abang usahain buat nurutin kemaun kamu."

"Usaha, usaha, usaha. Kapan hasilnya? Dafi capek hidup kayak gini. Dafi pengen kayak temen-temen. Papa sama mamanya kerja kantoran. Kakaknya pake motor atau mobil bagus kalo nganter mereka. Kakaknya berpendidikan tinggi. Kuliah. Pakaiannya rapi. Bisa bahasa inggris. Abang gaktau, Dafi suka diledekkin sama temen-temen gara-gara rumah Dafi jelek. Seragam Dafi udah sobek-sobek. Sepatu Dafi bawahnya udah kebuka. Trus, mereka bilang ayah Dafi penyakitan. Ibu Dafi cuma jualan kue. Abang Dafi jualan bakso dipinggir jalan. Abang Dafi gak bisa bahasa inggris. Pokoknya Dafi malu!" Akhirnya, keluarlah semua apa yang Dafi pendam selama ini. Pertahanan yang selalu ia jaga akhirnya rubuh. Air matanya tak pernah berhenti mengalir.

Ya, Dafi bersekolah di sekolah elite. Bukan karena apa. Dafi murid yang biasa-biasa saja. Tak terlalu pintar dan tak terlalu bodoh. Ia tak mendapat beasiswa. Ia bersekolah disana berkat kebaikan abangnya yang mengembalikan dompet orang kaya yang terjatuh saat ia terburu-buru menuju mobilnya. Dan ternyata orang itu adalah pemilik salah satu sekolah elite di Jakarta. Maka dari itu, ia memutuskan memasukkan Dafi disekolah miliknya karena ia tahu bahwa Ali mempunyai seorang adil laki-laki yang sudah tamat SD yang akan memasuki SMP.

"Kamu malu punya abang kayak Abang ini?"

"Iya! Dafi malu. Abang puas udah bikin Dafi Malu?"

Ali terdiam. Yang harus ia lakukan saat ini hanyalah berusaha tegar. Zalfa yang duduk disebelah Ali pun sudah meneteskan air matanya dan menatap kecewa pada Dafi. Walaupun ia masih kecil, ia mengerti apa yang dibicarakan Dafi dan Ali.

"Abang janji, secepatnya abang bakal beliin kamu tas, seragam, dan sepatu baru. Kamu yang sabar ya nunggunya." Ucap Ali dengan nada bergetar menahan air mata.

"Abang selalu aja ngucap janji. Tapi gak pernah ditepatin."

"Engga. Kali ini abang bener-bener janji sama kamu. Udah. Jangan nangis lagi, ya. Soal abang yang gak bisa bahasa inggris dan berpendidikan rendah, itu gak masalah kan, Dek? Yang terpenting, kamu sama Zalfa yang berpendidikan tinggi."

Dafi hanya diam tak menjawab. Sedangkan Zalfa? Tak tau ia kemana. Yang Ali tahu, ia tadi keluar dari kamar Dafi dengan menangis.

***

Disisi lain.

Prilly's POV

Hari ini aku sedang tidak ada job. Jadi, aku hanya berdiam diri dikamarku.

Tiba-tiba saja, aku teringat dengan pemuda tadi pagi. Dia begitu baik dan tampan. Ah Prilly! Sejak kapan kau jadi centil seperti ini?

Aku mengembangkan senyumku saat mengingat obrolanku dengannya. Ia begitu polos saat mengatakan jika ia tak mempunyai sosial media karena handphonenya yang jadul.

"Aduh! Kenapa gue gak kepikiran, sih. Kenapa gue cuma nyimpen nomor gue ke dia sedangkan gue gak nyimpen nomor dia ke gue. Mana dia belum hubungin gue lagi." Aku kemudian tersadar dengan ucapanku. Sejak kapan aku jadi agresif begini?

Ah, iya! Pak Asep. Tapi, Pak Asep lagi jemput papa dari kantor. Yeah! Pak Surya!

Aku pun keluar dari kamarku dengan sedikit berlari.

"Prill, kamu kenapa lari sayang?" Teriak mamaku. Aku tak menghiraukannya.

Saat sudah dihadapan Pak Surya, aku segera menanyakan padanya apakah ia mempunyai nomor Ali dan yeah! Ia punya. Aki segera mencatat dan menyimpan nomor Ali ke handphoneku.

Aku berlari lagi kekamarku dan menutup pintu lalu melompat ke atas atas tempat tidurku.

To : Ali

Hai! Ini aku Prilly. Save, ya!

From : Ali

Prilly? Kamu dapat nomor aku darimana?

To : Ali

Aku tadi minta sama Pak Surya.

From : Ali

Oh. Ada apa?

'Cuek'

To : Ali

Ah, engga kok. Gak ada apa-apa.

Tak ada balasan dari Ali.
Aku pun bosan menunggunya. Lalu, sebuah ide terlintas dibenakku.
Aku tersenyum membayangkannya.
.
.
.
.
.
.
Thank you for reading.

Bakso CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang