Jungkook adalah sebuah mahakarya paling indah yang pernah kulihat. Pria yang dulu hanya teman lelakiku yang menyebalkan itu tumbuh menjadi seorang yang tidak pernah mampir ke pikiranku sebelumnya. Dia masih pemalu, sama seperti bertahun-tahun lalu, tapi sekarang dia sedikit lebih percaya diri, lebih banyak bersosialisasi, lebih terbuka dengan sekelilingnya, lebih segalanya, ia tidak dapat menjadi lebih sempurna lagi.
Tubuhnya yang dulu hanya setinggi bahuku juga sudah meroket naik. Aku sekarang dapat berlindung di bayangannya jika kepanasan. Ia yang dulu selalu kelelahan setiap pulang sekolah karena kami berjalan dari gerbang kompleks hingga rumah kami yang bersebelahan karena membawa terlalu banyak beban di tas ranselnya, sekarang bahkan senang sekali mengangkat tubuhku ke bahunya. Wajahnya yang dulu sangat manis sekarang terlihat lebih dewasa dengan garis-garis wajah yang tegas. Sikapnya yang sering sok imut dulu itu juga semakin jarang ia tunjukkan seiring dengan semakin bertambahnya usianya.
Wanita mana yang dapat menahan pesonanya?
Aku yang sudah melihatnya di kondisinya paling buruk (meskipun aku tidak tahu apakah melihatnya tanpa sehelai baju pun saat usia kami masih lima tahun termasuk kondisi terburuk) pun jatuh hati kepadanya.
Seklise kedengarannya, aku jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini perasaanku kepadanya pada akhir waktu. Meskipun banyak orang mengingatkanku bahwa persahabatan yang murni tanpa kasih sayang lebih antara lelaki dan perempuan adalah mustahil. Seumur hidupku, aku selalu mencoba menampik pernyataan itu.
Malam ini, saat aku melihat Jungkook berdiri dengan tubuh basah kuyup di depan gerbang rumah salah seorang kawanku, pertahananku goyah. Aku sudah tahu, cepat atau lambat benteng yang sudah kubangun dengan susah payah ini akan hancur. Dengan kaki yang terasa seperti diberi beban ribuan kilogram, aku melangkah mendekati tubuh menjulang itu.
Ia menunduk sambil merenung. Terlalu sibuk merenung hingga tidak menyadari keberadaanku yang berdiri tiga langkah darinya. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh lengannya, membuat ia menoleh.
Wajah putih pucatnya terlihat lebih pucat. Matanya bengkak, dia baru saja menangis—atau mungkin dia sedang menangis, air matanya mungkin bercampur menjadi satu dengan air mata langit yang turun menghujam tanah bumi tanpa ampun. Tanpa bertanya pun aku tahu kalau Jungkook sedang patah hati.
Aku menggenggam tangannya yang terasa dingin dari balik ujung sweaterku. Aku mulai melangkah meninggalkan gerbang tinggi rumah kekasihnya itu. Menarik tubuh besar Jungkook yang bisa ambruk kapan saja menuju rumahku. Aku berhenti sebentar untuk menoleh dan mendapati Jungkook yang masih terus menunduk.
Kulangkahkan kakiku mundur untuk menyamai posisinya, agar kami dapat terlindungi payung yang sedari tadi ada di tanganku. Lengan kami bersentuhan. Untuk pertama kalinya selama aku mengenal Jungkook, ada arus listrik yang mengalir di lenganku saat kami bersentuhan.
Perjalanan menuju rumahku hanya diisi suara rintik air hujan dan kebisingan kota di malam minggu. Membawa Jungkook ke rumahnya bukanlah ide yang baik. Mengingat ayahnya yang memiliki kedisiplinan tinggi, ia mungkin justru dimarahi sesampainya di rumah dengan keadaan seperti ini.
Tanpa sepengetahuan ayah dan ibuku, aku mengajak Jungkook naik ke kamarku yang terletak di lantai atas. Menggeledah lemariku untuk menemukan kaos putih polos dan celana Jungkook yang ia tinggalkan di rumahku saat hujan pekan lalu. Untuk berjaga-jaga, ucapnya saat itu. Setelah melemparkan satu set pakaian itu ke wajah Jungkook yang mencerminkan rasa dingin yang dirasakan tubuhnya, aku keluar dari kamarku. Memberikan waktu pribadi untuknya dan turun untuk membuat dua gelas coklat panas yang selalu dapat membuat suasana hati kami menjadi lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trash
Short StoryThis book is the place where you can find my other trashy stories :)