01
Aku kembali menunggu kedatangan Mira di lobby bandara setelah kepergian teman-temanku. Mereka akan langsung kembali ke asrama kami. Aku akan kembali besok pagi... mungkin?
Gadisku sudah terlalu banyak mengeluh tentang betapa dia merindukanku. Aku tidak pernah mengatakan ini, tapi dalam hubungan ini akulah pihak yang paling banyak dirugikan. Ia membuatku jatuh dalam samudra cinta dan kasih sayang yang dengan tulus ia berikan. Baiklah, itu terdengar berlebihan, tapi memang itu kenyataannya.
Aku sudah berjanji kepadanya akan mampir terlebih dahulu sebelum kembali ke asrama. Aku juga sudah memberitahunya untuk menetap di apartemen. Tapi Han Mira tetaplah seorang gadis dengan tengkorak sekeras baja yang memegang teguh pendiriannya, aku tidak akan bisa mencegah keinginannya untuk menjemputku di bandara.
Kalau ada orang di sekitarku yang memerhatikan wajahku, mereka mungkin berfikir aku adalah pasien rumah sakit jiwa yang berkeliaran di bandara internasional Korea Selatan. Dan aku bersyukur orang-orang di sekitarku terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing. Sehingga mereka tidak tahu sedaritadi aku tersenyum dengan mata menerawang.
Kuaktifkan layar ponselku, melirik jam di sana. Pukul delapan malam. Berarti sudah lima belas menit aku menunggu Mira. Aneh. Gadis itu adalah manusia paling tepat waktu yang pernah kutemui.
Setelah menimbang-nimbang kembali, akan lebih baik jika aku menunggu kedatangannya beberapa saat lagi. Jadi aku kembali menunggu. Tapi kemudian, kurasakan kejanggalan di dalam hatiku ketika lima belas menit kembali berlalu.
Kuputuskan untuk menghubunginya
"Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan..."
Operator sialan itu menjawab teleponku. Suara merdunya membuatku semakin panik. Aku bergerak dengan gelisah di bangku lobby bandara.
Tiga puluh lima menit aku hanya duduk sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Entah sudah berapa kali aku menelepon Mira dan tidak mendapat jawaban apapun darinya. Kuputuskan untuk pergi ke apartemen Mira dengan taksi.
Sepanjang perjalanan, perasaanku semakin tidak enak. Hatiku yakin ada sesuatu yang terjadi dengan Mira. Aku benci dengan firasat yang kumiliki ini. Karena sebagian besar firasatku adalah kebenaran.
Setelah berkali-kali menepuk pundak si sopir taksi sambil memberi perintah agar ia melajukan taksinya lebih cepat, aku akhirnya tiba di apartemen Mira. Aku menyodorkan lembaran uang yang kumiliki, sepertinya masih dalam bentuk mata uang negara lain, karena aku belum sempat menukarkan uang. Aku bersyukur karena sopir taksi yang kunaiki tidak rewel, ia segera berlalu setelah kuserahkan uang (yang entah berapa nominalnya) di kantong celanaku.
Tanpa ragu-ragu aku berlari menaiki tangga, akan membutuhkan waktu lama jika menggunakan lift. Banyak orang yang mengantre untuk menaikinya, lift tentu bukan pilihan terbaik untuk saat ini.
Mira hidup di lingkungan yang dipenuhi manusia-manusia sibuk. Mereka jarang bercakap-cakap dengan tetangga apartemennya sendiri. Tidak ada orang yang bisa kuandalkan jika sesuatu terjadi pada Mira. Aku haus cepat sampai di sana.
Aku disambut oleh beberapa orang yang kuasumsikan sebagai tetangga Mira yang berkumpul di depan pintu apartemen Mira. Langkah kakiku makin cepat, nafasku menderu, jantungku berdegup kencang, kumpulan orang itu menoleh menatapku.
"Kau mengenalnya?" Salah satu dari mereka menanyaiku. Aku mengangguk, menjilat bibirku yang kering.
"Aaaaa!" Teriakan yang berasal dari dalam apartemen Mira itu sontak membuatku menoleh.
"Seseorang di dalam sana terus berteriak sejak tadi," salah seorang yang lain menjelaskan kepadaku lagi.
"Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Saya akan pastikan teman saya berhenti berteriak dari dalam sana," aku membungkukkan tubuhku, meminta maaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trash
Short StoryThis book is the place where you can find my other trashy stories :)