...

101 0 0
                                    


                Tetesan hujan terus-menerus menerpa kaca jendela kamarku dan menciptakan banyak aliran kecil di atasnya. Berawal dari setetes, dua tetes, tiga tetes dan jutaan tetes yang kutak tahu berapa banyak jumlahnya membentuk genangan di luar jendela. Menyatu dengan tanah dan menyisakan jejak basah yang akan menghilang beberapa waktu kemudian. Kutengadahkan kepala dan menatap ke arah langit dan awan yang terlihat gelap tanpa cahaya matahari. 'Mendung', pikirku. Suara katak yang bersahut-sahutan menjadi musik sambutan kala hujan mulai berhenti jatuh. Namun,kenapa awan masih terlihat gelap? Apakah awan masih ingin menjatuhkan tetesan hujan? Ataukah awan sebenarnya tengah berusaha menahan hujan agar tidak jatuh lagi?

Angin tiba-tiba bertiup yang menebarkan hawa dingin yang menusuk, masuk melalui ventilasi kamar dan memenuhi seisi ruangan. Dingin. Suara petir yang menggelegar membuatku refleks menutup kedua telingaku dengan rapat, disusul dengan suara hujan yang kembali menetes. Aku tertegun sesaat setelah kusadari beberapa tetes air jatuh dan mengalir di sepanjang pipiku. 'Kenapa aku menangis?'

Hujan terus jatuh, seakan sangat ingin menjauh dari awan. Jatuh semakin jauh, jauh dari awan dan ikut bersama angin yang perlahan mengajaknya menari-nari di udara. Awan berubah semakin gelap, bergerak perlahan dengan terus menarik hujan untuk ikut bersamanya sementara angin terus bertiup membawa hujan menjauh. Aku kembali terdiam menyaksikan. Apakah saat ini aku tengah menyaksikan ceritaku sendiri?

Saat kamu tidak lagi bersamaku yang tidak kusangka ternyata kamu tengah menari bersama "angin". Meninggalkanku, si "awan", menatap punggungmu yang berlalu pergi layaknya hujan. Apakah kamu pikir aku tidak memanggilmu seperti petir? Kamu salah. Berkali-kali kulakukan, "hujan" tidak bergerak untuk kembali pada "awan". Hembusan angin pun terlalu kuat menarik hujan untuk pergi. Terlebih, suara para katak telah siap menyambut hujan di bawah sana. Memberikan nyanyian-nyanyian menggembirakan sebagai ungkapan selamat datang. Awan bisa berkata apa? Pasrah dan hanya bisa memperlihatkan kesedihannya melalui langit yang kian gelap, berarak sangat pelan sambil terus menatap hujan yang masih menari bersama angin.

Tak lama, hujan telah berhenti sepenuhnya. Angin tak lagi mengajaknya bermain bersama. Ia berlalu pergi meninggalkan hujan yang perlahan menghilang ke dalam pori-pori bumi. Ingin sekali awan berkata, "Kembalilah padaku, hujan. Kumohon." Menyalahkan takdir juga tidak akan memberikan jawaban yang pasti atas sikap hujan.

Aku berjalan keluar dari kamar menuju teras. Kegelapan masih menyelubungi langit oleh awan yang serasa enggan untuk berpindah dari tempat dimana hujan jatuh. Suara katak kembali terdengar bersahut-sahutan, menertawakan sang awan yang tengah bermuram di atas sana. Perlahan dan semakin keras memancing kesedihan awan. Garis patah-patah terlukis di langit disertai suara petir yang menggelegar. Awan marah, namun hanya ditanggapi dengan suara katak yang hanya terdiam sesaat. 'Apa yang akan kamu lakukan, awan?'

Seberkas cahaya perlahan menyembul dari balik awan, menyelimuti awan dengan kemilaunya yang hangat. Mendekapnya dan mengajaknya bermain di angkasa. Ia bernama matahari. Datang membawa keceriaan atas awan yang masih saja mendung, menutup diri dari matahari. Mencoba untuk mengajak awan bermain, matahari bahkan membuat kekonyolan dengan "ber-cilukba ria". Awan tebawa oleh keceriaan matahari hingga ia tak sadar tengah berada di atas sebuah lengkungan raksasa dengan warna-warninya yang sangat indah. Bertanya-tanya, awan pun bertanya.

"Itu adalah pelangi, awan. Apakah kamu tidak menyadarinya? Sedari tadi ia telah berada di situ memperhatikanmu yang tertawa. Ia bahkan tersenyum mengekspresikan kebahagiannya atas tawamu. Apakah kamu tahu? Ia tak akan ada bila kamu masih saja bersedih atas hilangnya hujan. Aku tahu kamu merasa sangat kehilangan saat ia yang kamu jaga lebih memilih untuk pergi meninggalkanmu. Tapi awan, hidup tidak hanya soal menatap kepergiannya dan meratapi diri sendiri. Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan. Salah satunya adalah dengan berjumpa denganku." Imbuh matahari dengan wajah jenakanya dan kembali mendekap awan dengan kehangatannya.

Langit perlahan menjadi cerah seiring dengan awan yang perlahan kembali bergerak dari tempat sebelumnya ia berdiam diri. Sebuah kecupan menyentuh awan yang membuatnya mendongak menghadap si penerang angkasa itu yang membuatnya menoleh dengan wajah jenakanya yang merona tersipu dan berlalu pergi menyisakan warna jingga kemerahan di langit sore. "Sampai jumpa besok, awan." Malam itu pun berlalu dengan langit yang cerah. Sepertinya awan sungguh bahagia dengan hadirnya matahari.

Aku terbangun setelah merasakan hawa dingin menusuk. Kulirik jam digital yang berada di meja kecil di samping tempat tidurku. Pukul empat pagi. Hawa dingin mengisi kamarku yang ternyata dibawa oleh angin masuk ke dalam kamarku melalui celah ventilasi. Aku membuka tirai dan mendongak ke langit. Suara katak bersahut-sahutan di luar sana. Angin menari dan mencoba membelai awan untuk mencemoohnya. Awan hanya terdiam mendengarnya dan perlahan hujan pun jatuh. 'Oh, awan.'

Aku sempat tertegun menatap apa yang sedang terjadi. Meskipun hujan terus jatuh dengan deras, awan tidak berdiam. Ia terus bergerak seakan hujan tak pernah menjadi alasannya untuk menjadi mendung. Hujan dan angin sempat bertanya melalui redanya. Namun, awan hanya tersenyum melalui cerahnya langit.

"Hujan tak akan lagi membuatku muram. Kulepaskan kau pergi, hujan. Pergilah kemanapun kau ingin. Meskipun aku akan mendung untuk beberapa saat, tapi aku tak akan lagi menahanmu untuk kembali ke dalam dekapanku. Kini aku tak lagi sendiri. Telah kutemukan ia yang mampu menemaniku di sini. Pergilah angin, bawalah hujan dan jagalah ia bersamamu. Aku hanya akan memandang kalian dari atas sini. Semoga bahagia."

Perlahan, langit menjadi terang dari balik garis horizon. Matahari menyapa dengan wajah jenakanya, mendekap awan dalam pelukannya dan menciptakan langit yang kejinggaan. Hujan pun tersenyum dan kembali berlalu bersama angin menuju bumi, meninggalkan awan yang tengah bersenda gurau dengan matahari.

Aku tersenyum, 'akhir yang bahagia ya, awan.' Suara dering ponsel di sebelah bantal tidurku mengalunkan nada dering yang sengaja kuatur untuk seseorang. 'Matahari', tertera dari layar berwarna yang berkedip-kedip. Suara khasnya yang jenaka menyapaku dari sisi lain saat kuterima.

"Selamat pagi, awanku. Sudah saatnya bangun dan beraktivitas. Jangan terlalu lama bermimpi tentangku, ya."

* * *

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 20, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tentang Awan dan HujanWhere stories live. Discover now