Kerumunan Lebah

36 1 1
                                    


Beberapa pasang mata tertuju ke arah gadis berseragam abu-abu itu. Tatapan mereka seakan menganggapnya seperti sampah. Dengan mimik wajah yang menjijikkan, dua, tiga orang dari lima orang wanita berdaster itu menyebut beberapa kata yang membuatnya muak. Sungguh terdengar seperti bunyi kerumunan lebah yang siap menyengat musuhnya, kata-kata itu berseliweran dan berdenging di telinga Novella.
"Dia persis sekali sama Ibunya. Ganjen!"
"Iya, persis sekali. Padahal masih kecil, baru juga SMA. Hmmh, gayanya seperti sudah gede saja! Dasar anak pelacur!!"
"Iya benar Ibu-Ibu, seperti kata pepatah, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Ya, sama seperti anak itu dan ibunya dulu waktu masih muda. Sama-sama ganjen!"
Ini bukan pertama kalinya bagi Novella. Sejak Davin sering mengantarkannya pulang sekolah, sudah lebih dari tiga kali dalam minggu ini, ia mendengar para wanita itu memperbincangkan dirinya dan Ibu Fatma, Ibunya. Maklum saja, memang mereka terkenal bermulut comel, rombongan penggosip nomor satu di Lorong Sentosa, tempat tinggal Novella dan orangtuanya.
"Sudahlah Vell, gak perlu diambil hati. Bukankah lo yang bilang mereka itu tak lebih dari Grup Srimulat!" Seakan merasakan kegelisahan yang mendera, Davin segera menghibur gadis itu.
"Lo betul, Vin. Ya udahlah, yuk kita masuk! Bukannya kemarin lo yang meminta gue ngenalin lo pada pada Ibu gue, ya?" Novella menarik lengan kanan Davin, mempersilakan masuk rumahnya.
Matahari tepat berada di atas kepala. Teriknya, menyengat dan menyilaukan membuat pipi Novella yang putih seperti kapas itu berubah menjadi merah tomat. Meski begitu, senyumnnya tetap merekah indah.
Semenjak Davin menjalin kedekatan dengan gadis bermata Boneka Barbi itu, tak secuil pun kesedihan ia biarkan bersarang di hari-hari Novella. Davin sungguh menaruh segenap rasa untuknya. Tak peduli dengan semua desas-desus yang ia dengar di telinganya tentang gadis itu. Meski demikian, sempat terbesit di hati kecilnya untuk mengenal sosok gadis itu lebih dalam lagi, termasuk Bu Fatma, ibunya.
"Assalammua'laikum, Bu. Vella pulang...!" sapa Novella di muka pintu.
"Waalaikumsalam, Vell, kamu sama siapa? Temannya diajak masuk, gih?" perintah Bu Fatma ketika melihat sosok anak laki-laki bertubuh jangkung, cakep. Alisnya sangat tebal, dengan garis tegas, bak semut hitam berbaris. Ia, sedang berdiri di belakang Novella, anak gadisnya itu.
"Ini loh, Bu. Davin. Temen Vella yang sering Vella ceritain sama Ibu," jawab gadis itu malu-malu.
"Oh, ini yang namanya Davin, toh. Iya, iya, Ibu baru ingat. Vella sering sekali cerita sama Ibu soal Nak Davin. Katanya, Davin itu jelek, tapi orangnya baik. Eh, ternyata Vella bohong. Masa ganteng gini dibilang jelek!" celoteh Bu Fatma tertawa sambil melirik ke Novella yang cengegesan, lalu beralih ke Davin.
"Hadew, hehe..., Ibu bisa aja, deh" tepis Davin salah tingkah.
"Ya sudah. Dilanjut saja ngobrolnya, Ibu buatkan minum dulu, Nak Davin." Bergegas Bu Fatma meninggalkan mereka, berjalan ke arah dapur.
"Gak usah, Bu. Gak usah, Davin udah mau pulang, udah siang," sahut Davin beranjak dari tempat duduknya.
"Oh, ya, sudah kalau gitu."
"Davin pamit ya, Bu. Assallammualaikum."
"Waalaikumsalam."
Novella pun beranjak dari tempat duduknya, dan mengantarkan cowok itu keluar pintu.
"Besok pagi-pagi gue jemput jam setengah tujuh. Teng! Awas, jangan kesiangan lagi, lo!" pinta Davin tegas kepada gadisnya itu.
"Oke deh, My hunny bunny sweety. See you...." ledek Novella lagi-lagi cengegesan.
Novella melambaikan tangan ke arah Davin yang bersiap melaju bersama kuda besi kawasaki hijaunya.

***

"Tit!!! Tit!!! Tittt!!!"
Tepat pukul setengah tujuh, suara klakson motor Davin sudah memecah keheningan pagi. Sesuai janjinya, Davin sudah nemplok manis di balik pagar rumah Novella. Ia tak ingin terlambat lagi datang ke sekolah seperti kemarin-kemarin.
Tak sampai lima menit kemudian, gadis itu sudah berada tepat di depan Davin, lengkap dengan senyum cengengesannya yang menggemaskan.
"Iya ..., iya ..., ini gue sudah siap."
"Nah, gitu dong! On time, kalo gini kan kita gak akan terlambat lagi," sanjung Davin.
Mereka segera melaju menuju SMA Bakti Pertiwi, yang berjarak kurang lebih tiga puluh menit dari rumah Novella. Namun, baru saja melewati tiga rumah tetangganya. Novella meminta Davin berhenti di sebuah warung kecil tapi laris di jejeran lorong.
"Vin, berhenti sebentar dong! Aku mau membeli nasi uduk di situ."
Davin pun berhenti dan memarkir motornya tepat di depan warung nasi uduk kecil milik Bu Cici, tetangga Novella.
"Bu ..., nasi uduknya dua bungkus, gak pake lama," pinta Novella kepada Bu Cici, pemilik warung.
"Iye, Vell. Tunggu antrian, ya!" sahut Bu Cici dari dalam warung.
Pagi yang sejuk. Sepoi-sepoi angin membelai rambut panjang Novella yang hitam. Namun tidak membuat gadis itu merasa adem. Titik-titik keringat kecil sudah nangkring di pucuk hidungnya yang bangir. Berubah menjadi gerah, ketika ia memperhatikan satu demi satu wajah orang-orang yang mengantri nasi uduk di warung itu.
"Nasi uduk pesanan saya sudah, Bu?" tanya Novella, setelah lebih dari sepuluh menit mengantri di belakang barisan ibu-ibu comel yang terlebih dulu datang darinya. Alamat telat gue, nih, pikirnya.
"Ehhh, tuh anak Fatma. Kayaknya makin hari makin mesra saja sama cowoknya," ucap ibu yang berdiri di depan sekali.
"Iya. Huh, dasar. Kecil-kecil sudah gatal. Cowoknya tajir kayaknya, tuh."
"Betul, Bu. Kita tunggu aja. Paling juga tidak sampai enam bulan lagi, tuh anak udah kayak Ibunya, membawa kuali ke mana-mana!"
"Maksudnya, Bu?" tanya ibu yang rambutnya kribo.
"Iyee, Ibu. Masak udah tua gak ngerti, sih! Itu loh, maksud saya, bawa kuali ke mana-mana itu, hamil duluan! Kan si Fatma dulu, kek gitu,''
"Yah, Ibu. Tidak baik menggosip pagi-pagi gini,'' timpal Ibu Kribo, ''Jadiii..., dulu, Pak Jeff sama Bu Fatma itu sudah punya anak sebelum menikah, gitu?!" tanya ibu berambut kribo itu lagi. Wo-alah!
"Yee, Ibu Aning. Pak Jeff itu bukan bapaknya, kali! Dia menikahi Bu Fatma setelah Novella lahir, kok!"
"Lah, jadi bapaknya siapa dong, Bu?" tanya Bu Aning, si Ibu Kribo ini makin penasaran.
"Ya, gak tau!!!"
Kali ini Novella tak bisa diam. Telinganya mulai merespon perbincangan para ibu penggosip itu. Hati kecilnya mulai berontak.
"Bu, kalau ngomong hati-hati dong! Jangan asal bicara!" teriak Novella di tengah kerumunan antrian nasi uduk. Kupingnya benar-benar panas sekarang.
Sambil menenteng kantong kresek berisi nasi uduk. Novella berlari meninggalkan ibu-ibu bermulut comel itu. Air matanya sudah seperti hujan, basah di pipinya. Kulit putihnya memucat, Sendi-sendinya bergetar ngilu. Kepalanya mendadak menjadi pusing. Ingatannya pun kembali pada sosok Alicia.
...................................................................

TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang