Si Penebar Pesona

27 3 2
                                    

     Pagi yang menyebalkan bagi Novella. Rambutnya yang hitam panjang tergerai harus dikuncir tiga dengan tali rafia dan kalungan ronce dua buah cabai merah keriting plus bawang merah dan putih. 
     Belum lagi kaos kaki panjang sampai ke lutut dengan warna merah dan putih pun harus dikenakannya. Sekarang bisa kau bayangkan tampangnya yang persis seperti seorang perempuan gembel berprofesi sebagai pengusir vampir. Sungguh menggelikan!
     Dengan langkah gontai, Novella melangkahkan kakinya memasuki gerbang bertuliskan SMA Bakti Pertiwi.
     “Hei, kamu. Cepat lari, sudah lewat dari sepuluh menit bel masuk!”
     Seorang anak perempuan mengenakan blazer abu-abu tua berlogo OSIS SMA Bakti  Pertiwi  dengan badge tertulis Frica Syahrana di dada sebelah kirinya, sedang berdiri berkacak pinggang di depan gerbang sekolah sambil meneriaki Novella.
     Novella berlari sekuat tenaga. Di depannya gadis berambut se-bahu itu, sudah berdiri lima belas orang anak perempuan berkuncir juga berkaos kaki sama dengannya.
     “Maaf, Kak. Saya terlambat.” Dengan wajah tertunduk, Novella meminta maaf kepada Frica.
     “Siapa nama kamu?” tanya Frica sinis.
     “Novella Jeffri, Kak,” jawab Novella lagi tanpa berani mendongakkan kepalanya ke arah Frica.
     “Okay, aku akan panggil kamu Jeff?”
     “Vella aja, Kak. Jangan Jeff, itu nama Bapakku,” pinta Novella dengan wajah memelas kepada Frica.
     “Yee, terserah aku dong, mau panggil kamu apa!” Frica melotot dengan senyum sinis ke arah Novella.
     Setelah berlari tadi, Novella merasa nafasnya sedikit memburu. Ia segera mengatur dan menghelanya pelan, sambil menunggu hukuman yang akan dijatuhkan Frica padanya.
     “Baiklah, karena sudah datang terlambat, sebagai hukumannya kamu harus skotjump1 sebanyak tiga puluh kali sambil memperkenalkan diri di depan teman-temanmu ini!” Perintah Frica.
     Baru saja Novella berhasil mengatur nafasnya, senior-nya itu sudah memberinya hukuman yang bisa saja membuatnya sesak nafas karena harus skotjump tiga puluh kali.
     Dimulai dengan hitungan satu, dua, sampai dengan tiga puluh, Frica berdiri angkuh dengan melipat kedua tangan di depan dada sambil mengawasi Novella skotjump. Novella? Mau tidak mau harus menjalankan hukuman itu, sebagai buah dari ulahnya datang terlambat.
     “Novella Jeffri, lima belas tahun, hobi menulis, alamat Jalan Peninggaran Timur I Lorong Sentosa, Kebayoran Lama Jakarta Selatan, putri tunggal dari Ibu Fatma dan Pak Jeffri, cita-cita penulis.”
     Novella memperkenalkan dirinya dengan nafas tersengal-sengal.
    Dalam hitungan lebih kurang tiga puluh menit, akhirnya Novella pun menyelesaikan hukumannya. Dan hasilnya kali ini adalah, wajahnya memerah, butiran peluh sebesar biji jagung membuat seluruh seragam olahraganya basah kuyup.
     Jalinan ronce pada kunciran rambut yang ditatanya rapi setelah subuh tadi jatuh berhamburan di bawah kakinya. Ada yang masih utuh, ada juga yang sudah berubah bentuk menjadi gepeng karena terinjak kakinya sewaktu skotjump.

***

     Setelah tiga hari mengikuti kegiatan MOS yang menyebalkan di sekolah barunya itu, pagi ini Novella berpenampilan agak beda. Ia tampil cantik dengan seragam sekolah yang baru itu.
     Tak seperti kemarin, tak sabar rasanya gadis itu ingin cepat-cepat sampai ke sekolah. Ia pun melangkahkan kakinya dengan semangat. Wajah berbinar dengan goresan senyum manis yang sumringah di bibirnya .
     Waktu pembagian kelas pun tiba. Novella segera menuju papan pengumuman sekolah untuk mencari namanya.
     “Hai, Vella,” tegur seorang anak perempuan berambut ikal sebahu.
     “Hai, ...!” Novella pun menyapanya balik.
    “Aku Alicia. Kamu Vella, kan?” gadis itu menyodorkan tangan kanannya ke arah Novella.
    “Eh, iya. Aku Vella, Novella Jeffri,” sahut Novella balik, dan menyambut uluran tangan Aliciai.
     “Iya, Novella Jeffri, yang dipanggil Jeff oleh Kak Frica,” ledek Alicia, mencoba mengingatkan Novella kepada Frica, kakak senior yang telah menghukumnya di hari pertama MOS.
     “Yupp, kamu betul. Kok tahu?” Novella balik bertanya kepada Alicia disertai gelak.
     “Kita ada di satu kelompok yang sama, Vell. Dan aku tahu ketika kamu dihukum skotjump tiga puluh kali oleh Kak Frica karena datang terlambat di hari pertama MOS.”
     Kedua anak perempuan itu terus saja melanjutkan obrolan. Mereka pun mulai bertukar nomor telepon dan berjanji untuk pergi dan pulang sekolah bersama.
     “By the way, rumah kita ternyata searah loh, Vell!”
     “Eh, yang benar saja, Licia. Memang rumahmu di mana?” tanya Novella penasaran.
     “Aku tinggal di Peninggaran II. Sedang kamu di Peninggaran I.”
     “Kamu benar Licia. Itu artinya kita bisa pergi dan pulang sekolah bersama,” sahut Novella girang.
     Sejak saat itu, persahabatan mereka terjalin begitu erat, tak terpisahkan. Nempel ke mana-mana. Di mana ada Novella di situ ada Alicia, dan sebaliknya. Belakangan keduanya digelari two kwik-kwik oleh teman-teman sekolahnya. Entah, apa arti dan asal muasal gelaran itu. Hihi. 
     Hoki seolah berpihak, nama keduanya ada di kelas yang sama, yaitu sepuluh satu. Karena sudah merasa klop satu sama lain, tentu saja keduanya duduk satu bangku. Dan lo-gue menggantikan panggilan kamu-aku di percakapan mereka. Ahihi. 
     Novella merasa beruntung sekali bisa berkenalan dengan Alicia. Selain baik, sahabatnya itu juga memiliki hobi yang sama dengannya, yaitu menulis.
     Mmmh, Tuhan Mahabaik, coba saja pada saat itu---hari pertema sekolah---Novella tidak dipertemukan dengan Alicia. Belum tentu hari ini ia memiliki sahabat sebaik Alicia, yang bisa kompakan dengan dirinya.

***
    
      Satu tahun berlalu. Semakin hari persahabatan Novella dan Alicia semakin terjalin baik saja. Alicia yang berlatar belakang keluarga berada, seolah mampu menutupi kekurangan yang dimiliki Novella. Biarpun sama-sama putri tunggal, mereka berdua berlatar belakang keluarga yang berbeda. Ayah Alicia, seorang pengusaha batubara di pedalaman Sumatera Selatan, orangtuanya mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari Alicia lebih dari cukup. Berbeda dengan Novella, yang hanyalah putri dari seorang penjual siomay keliling.
     Namun begitu, Alicia sama sekali tidak memedulikan latar belakang Novella yang berasal dari keluarga sederhana itu. Bahkan, ia sudah menganggap Novella seperti saudara perempuannya sendiri. Tak heran bila mereka saling kenal orangtua masing-masing.
    Di hari-hari libur sekolah. Minggu. Biasanya, Alicia selalu datang menyambangi sahabatnya itu. Berbeda dengan rumah miliknya, meskipun rumah Novella kecil, Alicia nyaman-nyaman saja  menginap di sana. Dan kali ini, mereka mulai bercerita tentang hal yang paling pribadi sekali pun. Khas candaan anak ABG.
     “Pacar lo mana, Vell, kok gak ngapel? Ini kan malam Minggu!” sindir Alicia.
     “Ah, lu, Licia, kayak lu sendiri punya aja!” Novella membela diri.
     “Hehehe.... Ada sih ... !” sambung Novel lagi.
     “Siapa? Anak mana? Sekolah di mana?” Alicia menghujani Novella dengan pertanyaan-pertanyaan. Penasaran banget dia.
    “Sekolahnya sama, di SMA Bakti Pertiwi.”
“Siapa, Vella? Kok gue gak tau ... !” tanya Alicia makin penasaran.
     “Masa gak tau ... !”
     “Beneran, gue gak tau. Siapa, Vell?
     “Dia itu, dia itu, ya, eluuuu ... !” ledek Novella.
     “Ih. Lu, Vell, gileee. Gue masih normal kaliii..., gak mungkin suka sama eloo!”
     “Hahhahahhaha!!!”
     Tawa mereka meledak, memecah  malam yang sudah mulai larut dan mulai sepi.  Di luar, terang. Rembulan  dalam lingkar penuh menggantung indah di atas langit
     ''Hzzzzssstt!'' ''Hzzzzssstt!...! Bubuuuk!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang