Setelah sekian lama... Mungkinkah ini yang disebut takdir?
Glamourouz Club 00.15 am
Tubuh kecilnya meliuk dengan gemulai diiringi hentakan musik yang mengalir dari tangan seorang DJ terkenal dari Glmourouz Club, sebuah Club cukup terkenal di Paris. Dia hanya menari, sendirian. Tanpa ditemani seorang pasangan. Dengan begitu jiwanya seakan melayang tanpa beban dan ia terus saja tersenyum. Menebarkan senyuman terindahnya yang pernah menggetarkan hati seorang pria lima tahun yang lalu.
Dan kini, pria tersebut tengah terdiam menatapnya dengan sejuta tatapan rindu akan gadis itu sambil menyesap segelas martini di sudut Club. Pandangan mata pria itu begitu tajam pada objeknya, dan ia mulai membidikan Cameranya mengarah pada objek yang selalu ia rindukan selama ini, sampai seorang gadis lain menghalangi pandangannya.
" Alex! Alexa! Hentikan kebiasaanmu, Ayo kita pulang!" Seorang gadis berwajah oriental menarik lengan Alex memaksanya untuk keluar dari lantai dansa. Wajahnya nampak kesal karena terlalu lama menunggu.
" Musiknya belum berhenti, Han. Tunggulah sebentar lagi, okey?!" Alex melanjutkan aksinya kembali, dan Hannah hanya bisa mendengus kesal kemudian berjalan kembali mengarah ke tablenya.
Tanpa sengaja, pandangan Hanah menangkap sesuatu yang ganjil dan patut dicurigai dari pojok club yang temaram. Ia yakin itu adalah sesosok pria jangkung yang tengah membidik sebuah objek. Dan setelah Hannah perhatikan lebih lanjut, pria tegap dan tinggi itu tengah asik mengambil gambar dari sahabatnya sendiri yang sedang menggila di lantai dansa.
Dengan geram Hannah menghampiri pria itu dan merebut paksa camera dslr dari tangannya. Untuk sejenak Hannah terdiam setelah melihat wajah tampan yang sangat terkejut karena Hannah telah memergokinya dan tak senang dengan sikap Hannah padanya. Hannah malah mengerjap-ngerjapkan matanya agar tak terpedaya oleh pesona tampan pria itu.
Pria itu marah dan dengan kasar merebut kembali cameranya dari tangan Hannah.
" KAU PENGUNTIT, HUH!!?" Teriak Hannah agar seisi club tahu apa yang sedang di lakukan pria itu. "Mr. Stalker." Sembur Hannah kasar.
Wajah pria itu merah padam, ditambah lagi dengan tatapan mata sekitarnya yang menatap kearah mereka dengan penasaran.
" Bukan urusanmu, nona." Pria itu nampak enggan melayani dan hendak akan pergi namun Hannah dengan sigap menarik lengan kekar nya.
" Mungkin akan menjadi urusanku bila saja foto yang kau ambil adalah gambar dari sahabatku yang tengah berada disana." Hannah menunjuk ke arah Alex sedang berada.
" Kau tidak mempunyai bukti, dan aku tidak suka dituduh." Dengan kasar ia melepaskan cengkraman tangan Hannah dari lengannya dan melangkah pergi.
" Ya, aku belum memeriksa cameramu, lalu bagaimana aku bisa dapat bukti. " teriak Hannah kencang. Namun pria itu tak perduli. Malah Alex yang datang menghampirinya karena melihat Hannah tengah berdebat dengan seorang pria.
" Hannah, ada apa? Siapa pria tadi?" Hannah hanya angkat bahu. Alex menoleh dan ia hanya dapat melihat punggung pria itu menjauh. Alex terdiam untuk sesaat, seolah dari punggung itu ia mengingat sesuatu, seseorang ataukah sebuah mimpi buruk. Ia merasa Deja vu.
" Aku yakin dia sedang memotretmu, Al. Tapi dia melarikan diri begitu saja, padahal aku sudah memaksanya mengeluarkan bukti yang ada didalam cameranya itu." Ucap Hannah terengah, masih kesal karena tidak berhasil mendapatkan bukti. " Tidak masalah kalau dia hanya seorang stalker. Namun bagaimana kalau dia seorang psycho, Al?" Lanjut Hannah ngeri. Sedangkan Alex malah terbahak.
" Ayo kita pulang, Nona sempurna. Ini sudah sangat larut. Kau pasti butuh tidur. " Alex menyeret lengan Hannah yang makin kesal karena perkataan Alex padanya, bukan dirinya yang butuh tidur, tapi Alex sendiri yang butuh untuk tidur.
***
Apartemen Alex hanya apartement sederhana yang telah ia tempati selama empat tahun belakangan. Setelah dirinya memutuskan meninggalkan San Fransisco, Alex memilih Perancis dan bekerja sebagai asisten make-up nya Hannah di 'Amaze', Model Agency yang lebih dikenal sebagai AMA Agency, dan kini ia menetap di Lyon.
Baru setengah jam yang lalu ia merasa begitu lepas dan tenang berada ditengah keramaian. Menari seperti orang gila yang membuat segala apa yang membuatnya kalut lenyap untuk sementara waktu, dan sekarang ia sendirian lagi di apartementnya yang kecil.
Alex langsung menyalakan semua lampu begitu sampai di pintu masuk, ia sangat membenci kegelapan. Sambil melenguh, Alex merebahkan tubuhnya dikarpet bulu favorit Alex, konon ini hadiah dari seseorang. Tapi Alex tidak ingat itu siapa, dan ia mengetahuinya ketika ibunya keceplosan berbicara saat Alex menanyakan perihal kenapa karpet berbulu yang terlihat mahal itu bisa berada di samping lemarinya. Akhirnya, ibunya mengatakan bahwa itu memang dari seorang temannya, entah mengapa raut muka ibunya langsung berubah pucat setelah mengatakannya. Alex curiga ibunya menyembunyikan sesuatu, bahkan dulu ia tidak mempunyai teman dekat sama sekali.
Sejak peristiwa pembullyan yang ia alami semasa smu, Alex sempat mengalami depresi parah dan hampir di vonis sakit jiwa oleh dokter. Namun Alex mencoba bangkit dari keterpurukannya. Hannah lah yang membantu Alex untuk berdiri kembali. Sepupu jauhnya itu begitu prihatin sewaktu melihat Alex mengamuk dan meronta di sebuah rumah sakit jiwa lima tahun yang lalu.
Dan lagi. Mimpi buruk itu datang hampir di tiap-tiap malam Alex. Ia terbangun dengan wajah pucat pasi dan keringat mengalir deras, kali ini ia melihat seorang pria yang wajahnya tidak begitu jelas. Tato. Pria itu mempunyai tato dengan huruf L didekat telinga kanannya.
Alex menggigit bibir bawahnya dengan keras. Ia tak mengenalinya sama sekali, lain halnya dengan tato itu, Alex yakin merasa tidak begitu asing dengan inisial itu.
Keesesokan paginya Alex mendapat telefon dari Arnold Finnigan, daddy nya yang mengabari bahwa momynya mengalami kecelakaan parah. Alex sendiri tidak yakin.
" Aku akan berusaha pulang cepat, dad. Pokoknya kau harus tetap mengabari terus keadaan, mom?"
" tentu saja.." suara Arnold mengambang.
Alex tahu sikap kekakuan ayahnya lah yang membuat Alex menjauhi kedua orang tuanya.
"Kau harus pulang, nak." Lanjut Arnold terdengar sangat berharap. Namun Alex tahu, kedua orang tuanya punya begitu banyak cara agar putri satu-satunya mereka mau kembali kerumah.
" Ya."
***
Bandara Saint Exupery terlihat ramai seperti biasanya. Alex berjalan tergesa-gesa diantara orang-orang itu. Kalau saja Hannah tidak menyuruhnya mampir sebentar ke kantor, mungkin ia tidak akan sepanik ini mengejar waktu keberangkatan pesawatnya yang sangat mepet.
Saking terburu-burunya, karena pemberitahuan waktu keberangkatan pesawatnya telah terdengar, Alex yang mulai berlari kecil menuju tempat pemeriksaan pasport dan tidak menyadari dari arah samping ada seorang pria yang juga terlihat sama sepertinya. Alhasil Alex menabrak pria itu. Malang baginya karena tubuhnya yang kecil, Alex terjungkal kebelakang dan benda-benda ditangannya jatuh berserakan.
" Sorry!!" Pekik keduanya bersamaan, pria itu membantu Alex memunguti barangnya, Dan wajahnya begitu terkejut melihat sosok yang telah bertubrukkan dengannya.
" Maaf, tuan. Aku sedang terburu-buru." Ucap Alex setelah pria itu membantunya berdiri. Keningnya sedikit terasa pening karena tepat menghantam lengan kekar pria itu. Entah mengapa Alex sedikit menangkap raut terkejut dari wajah pria itu. Wajahnya terasa tidak asing bagi Alex.
" Aku mengerti. Aku juga minta maaf. " jawabnya dengan suara yang terdengar berat dan masih berdiri terpaku.
Alex hanya tersenyum. " Sebaiknya aku duluan. Sekali lagi aku minta maaf." Dan ia pun melangkah pergi menuju pintu keberangkatan tanpa menyadari ada rasa getir menggelayuti hati pria itu sepeninggal Alex. Ingin rasanya ia mengatakan 'jangan pergi' pada Alex. Tapi itu adalah hal yang mustahil.
Jantungnya berdetak tak keruan. Padahal ia hanya sedikit bersentuhan dengan Alex, setelah hampir lima tahun lamanya ia hanya bisa memandangi Alex dari jarak jauh. Dan kini, gadis nya tersenyum lagi untuknya, senyuman yang selalu bisa menggetarkan hati seorang Leonardo Cavalery yang beku.
Luka hati Leo terobati sekaligus terluka lagi kerana Alex tidak mengenalinya. Alex Jane Finnigan telah melupakannya...