[1/1]

956 52 11
                                    

Kisah cinta antara seorang inlander dengan seorang gadis Belanda, di masa Hindia-Belanda.

***

"Maafkan saya, Nona." kata seorang pria pribumi. Ia tak sengaja menabrak seorang wanita keturunan Belanda yang tengah mengayuh sepeda, sehingga membuat wanita itu terjatuh. Dilihat dari wajahnya, pria tersebut kira-kira berusia dua puluh enam tahun.

Dari tampilannya, pria itu amat berbeda dengan kebanyakan pribumi lainnya. Ia tampak begitu rapi, dan gayanya menunjukkan ia seorang pribumi yang berkecukupan dan berpendidikan. Kala itu, masa Hindia-Belanda. Bisa dibilang ia adalah salah satu kaum yang sedikit elit di Nusantara.

Ah, dengan gaya dan setinggi apapun pendidikan seorang pribumi, ia tetaplah pribumi yang selalu dijuluki inlander oleh para kompeni Belanda. Berharap bangsa Belanda akan menghormatinya? Rasanya memang memungkinkan. Masih ada sebagian orang Belanda yang pikirannya tidak haus akan kekuasaan, menghargai, berbaik hati, dan tidak memandang pribumi sebagai orang yang rendah. Hanya sebagian, sebagian lagi? Ya, seperti kebanyakan orang Belanda yang menginjakkan kaki di tanah Nusantara kala itu, berkeinginan untuk memperluas kekuasaan, meninggikan ego untuk kepentingan Negaranya, tanpa belas kasih menyiksa dan merugikan ratusan bahkan ribuan nyawa. Ah maksudnya, seluruh rakyat Nusantara dahulu, termasuk dirinya. Dan kenapa pula ia berharap dihormati oleh kaum penjajah?

"Oh lihatlah negeriku. Nusantaraku...
Sungguh indah cipta-Nya
Sungguh sempurna karya-Nya
Lihatlah! Lihatlah keindahannya!
Sungguh beruntung aku lahir sebagai penduduk Nusantara
Lihatlah! Lihatlah betapa suburnya tanah negeri ini!
Lihatlah betapa kaya hasil bumi negeri ini!
Lihatlah! Pantainya, lautnya, perkebunannya, seluruh alamnya!
Lihatlah! Hai lihatlah! Nusantaraku adalah negeri penghasil rempah-rempah terbaik!
Siapa yang tak suka dengan Nusantaraku?
Siapa yang tak ingin merampas Nusantaraku?
Siapa yang tak tertarik dengan keindahan alam Nusantaraku, yang buatku merupakan salah satu surganya dunia?
Siapa yang tak tertarik dengan salah satu negeri yang berada di garis khatulistiwa?
Bahkan sebelum bangsa Belanda datang, sudah ada negeri yang lebih dulu menjajah Nusantaraku tercinta
Lihatlah bagaimana mereka menginginkan negeriku!" sajak yang ditulis Umar di atas kapal laut sebelum berlabuh di dermaga Surabaya (dulu; Soerabaja/Soerabaia)

Umar. Ya, pria tersebut bernama Umar, lengkapnya Umar Ahmad Soerjatama. Ia baru saja menyelesaikan pendidikannya di Eropa. Sebelum kembali ke kota kelahirannya, ia terlebih dahulu menginjakkan kaki ke Tanah Suci untuk melakukan panggilan Tuhan-nya. Barulah, seusai beribadah haji ia kembali ke Nusantara.

"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanyanya sembari membantu wanita Belanda itu untuk bangkit, "I'm sorry."

"Saya tidak apa-apa, Tuan. Geen probleem." wanita itu tersenyum sangat manis. Meluluh lantakkan hati pria lain jika ada yang melihatnya selain Umar.

Tuan? Apa wanita ini salah satu orang yang bisa menghargai pribumi? Atau karena Umar adalah pribumi elit sehingga wanita ini berbaik hati padanya? Pikir Umar.

"Hai inlander, kau tak pantas berbicara dengan primadona kami!" sindir seorang serdadu Belanda pada Umar.

Umar sangat tahu, dengan siapa serdadu itu berbicara. Ia menghelakan napasnya. Wanita Belanda ini memang cantik. Ralat, sangat cantik. Cantiknya mengalahlan standar kecantikan wanita Eropa zaman itu, tahun 1930an. Pantaslah ia menjadi primadona yang digilai para serdadu Belanda. Mungkin saja, digilai prubumi pula.

"Kalau boleh saya tahu, Tuan hendak kemana?" tanya wanita Belanda itu.

"Saya ingin pulang." jawab Umar kemudian menyebutkan alamat lengkapnya.

A Girl and Three Shots, Arabella [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang