“… Ri ! – Hei Hery, kau ikut tidak?…”
Suara itu membuyarkan konsentrasinya dari pekerjaan. Jemari yang tadinya lincah menekan tuts-tuts keyboard kini tersentak berhenti. Lalu menolehkan wajahnya ke arah si pemilik suara.
“Ah, maaf – ada apa?” tanya Hery pada Doni, temannya yang baru saja menegurnya itu. “Kau ikut kami makan siang tidak? …” tanyanya sambil mengerutkan keningnya karena sudah berkali-kali ia memanggil Hery.
“Kurasa tidak, banyak pekerjaanku yang belum selesai” jawab Hery singkat sambil menengadahkan wajahnya ke arah tumpukan dokumen-dokumen yang berantakan di mejanya.
“O iya, aku titip roti isi ya!” tambah Hery.
“Oke – !” jawab Doni singkat. Lalu ia meninggalkan Hery dengan pekerjaannya dan menghampiri beberapa karyawan yang sama-sama pergi dengannya ke sebuah rumah makan tak jauh dari kantor.
Saat itu jam makan siang, wajar bila kantor sepi – hanya ada beberapa orang yang tinggal di kantor mengerjakan pekerjaan mereka dan harus merelakan jam makan siang tentunya. Begitu pula dengan Hery, belum cukup lama ia bekerja di sini, mungkin hampir satu tahun. Ia lulusan Teknik Sipil, dan wajar bila bekerja di sebuah konsultan bangunan. Kantornya unik, karena bersebelahan dengan kediaman sang direktur utama. Kantor itu terdiri dari tiga bangunan, dua bangunan yang bisa dibilang rumah, hanya di alihfungsikan sebagai kantor, satu menjorong ke belakang dan satunya bangunan bertingkat dua dan di sinilah ia di tempatkan. Walau bisa di katakan sebagai kantor, tapi tempat ini lebih menyerupai tempat tinggal karena letaknya di antara pemukiman dan hampir setiap sisinya berdiri rumah-rumah penduduk.
Hery masih sibuk dengan pekerjaannya, perhatiannya sedikit terganggu oleh suara di belakangnya, tepat di sisi depan pintu keluar. Ia melongokkan kepala mencari di mana suara itu berasal. Dan di sana dilihatnya seorang office boy yang sedang mengumpulkan sampah-sampah kertas yang di masukkan ke dalam kantung plastik hitam besar.
“Maaf menganggu, saya mau mengambil sampah!” ujar pria itu. Tubuhnya cukup tinggi dengan rambut yang di cukur ala tentara dan seragam office boy dengan tulisan JAKA, nama si pemakai tentunya.
“Tidak apa-apa, teruskan saja pekerjaanmu.” balas Hery ramah. Selesai mengumpulkan sampah-sampah kertas, office boy itu kembali menyapanya.
“Saya baru kerja di sini beberapa hari, jadi mohon di maklumi bila ada kesalahan.”
Hery tak berkata, ia hanya membalas dengan senyuman dan sedikit anggukan kepala.
“Mau saya buatkan teh? tawar si office boy dengan penuh semangat. Awalnya Hery membalas dengan sedikit basa basi dan penolakan yang halus namun akhirnya ia menyetujuinya. Tak lama, si office boy meletakkan secangkir teh di mejanya – dan sebelumnya ia harus mencari tempat yang kosong, karena meja Hery dipenuhi tumpukan dokumen.
“Wah, maaf ya, sudah membuatmu repot begini!” ucap Hery dengan nada sungkan
“Tak apa, ini pelayanan khusus buat anda yang giat bekerja.” balasnya.
Hery sedikit geli mendengar kata terakhir yang di ucapkan Jaka, rasanya kata-kata itu tidak tepat bila di tujukan padanya, yang ia lakukan hanyalah bekerja untuk mendapatkan uang setiap bulan, bukankah sebagian orang lebih suka mendapatkan gaji ketimbang bekerja dengan giat? …
Hery menyambar cangkir yang berisi teh itu, dan menyeruput sedikit demi sedikit.
“Kalau begitu saya permisi dulu ya – kalau ada yang di butuhkan anda bisa memanggil saya di pantry.” ucap si office boy setelah lega melihatnya meminum teh yang di buatnya. Hery mengangguk setuju. Lalu Jaka membalikkan badannya keluar ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOLD (The Love Story)
RomanceHery baru saja menjalin hubungan dengan Dian. Hubungan yang lancar, sangat lancar, hingga ia bertemu dengan pribadi yang lain ... pribadi yang mengusik hidupnya, dan orang itu adalah seorang PRIA.