3. RESAH DALAM HATI

268 1 0
                                    

        Dian sebal. Sudah dua hari Hery tak menghubunginya. Entah sudah berapa kali ia mencoba menelpon, tapi ponselnya jarang aktif. Beberapa hari sebelumnya ia masih bisa sabar, tapi tidak kali ini. Kesabarannya hampir habis. Hery tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dan hal ini memancing Dian untuk mengira-ngira dalam benaknya, apa sebenarnya yang dilakukan pacarnya itu sampai-sampai sulit untuk dihubungi. Bila masalah pekerjaan sepertinya tak mungkin karena ia tahu sesibuk apapun Hery, ia tak mungkin mengabaikannya. Lalu pikirannya mencoba mencari hal yang masuk akal untuk ia terima, kalau bukan karena wanita lain, bisa jadi Hery mendapat masalah, atau – atau ia kecelakaan. Dian mendesah dan langsung membuyarkan pikiran-pikiran seperti itu. Lalu sekali lagi ia mencoba mengira-ngira, tapi tidak bisa. Otaknya tidak bekerja sesuai keinginannya. Hanya tinggal dua hal itu saja yang bisa jadi penyebabnya, keluh Dian dalam hati. Bila memang benar ada wanita lain, sepertinya ia lebih memilih kecelakaan. Karena jika hal itu terjadi ia bisa dengan mudah memaafkan Hery yang telah menelantarkannya selama beberapa hari ini. Tapi ini sama saja mengharapkan berita buruk mengenai kekasihnya. Mana ada kekasih yang mengharapkan kesialan menimpa kekasihnya, pikir Dian resah.

      Tiba-tiba Ami, teman kerja Dian duduk di sampingnya sambil meminum susu kotak yang dipegangnya di tangan kirinya. Dian tak menyadarinya, karena ia sibuk dengan perkiraaan-perkiraan yang membuatnya terganggu dan mencoba menarik sebuah kesimpulan.

      “Kalau bukan karena wanita, bisa jadi dia sudah bosan denganmu.” seru Ami. Dian langsung menoleh. “Sejak kapan kau duduk di sini!” pekiknya.

      “Barusan.” balas Ami. “Memangnya kau ada masalah dengan Hery, cerita dong – mungkin saja aku bisa membantu.” tambahnya. Dian tak membalas ia hanya menatap asing Ami dan beranjak dari duduknya.

      “Tak ada.” Dian berdiri sambil melangkah menghindari Ami.

      “Lha – ko pergi, ga mau cerita nih!” seru Ami sambil mengikuti langkah Dian yang berusaha menjauhinya.

      “Kan barusan kubilang tidak ada, kau ngotot amat sih!”

      “Jangan bohong, dari wajahmu aku bisa melihatnya!” tuntut Ami.

      Dian tertegun, melirikkan matanya seolah-olah bisa melihat wajahnya sendiri, dan membuktikan apa yang dikatakan Ami, bahwa ucapannya benar.

      “Kalau bukan karena wanita, dia pasti bosan denganku! Itukan yang kau bilang tadi.” balas Dian jengkel.

      “Yah – ko gitu – maaf deh. Tadi aku Cuma sekedar bercanda, tak ada maksud lain.” jelas Ami sambil menaikan pipi kirinya yang membuatnya tersenyum aneh.

      “Ya udah, yuk kita duduk di taman, udara segar bagus untuk hati yang gersang.” cetus Ami sambil menarik paksa lengan Dian dan berjalan ke taman di samping rumah sakit.

      Ami sedikit lebih tinggi dari Dian, rambutnya dipotong pendek, dengan ciri khasnya, menutupi kedua daun telinganya, ia sangat pintar memoles diri. Dan sifatnya lebih blak-blakan dibandingkan Dian, kadang ia berbicara tanpa berpikir dahulu dan  sedikit genit bila bertemu makhluk yang disebut pria, terlebih pria yang tampan.

      Di taman itu banyak pasien yang mencoba melemaskan otot-otot mereka setelah sembuh dari sakitnya dengan dibantu suster, atau sekedar bertegur sapa dengan para suster lain atau sesama pasien. Suasananya begitu sejuk karena dipenuhi pepohonan rindang yang tumbuh subur. Beberapa bangku panjang berdiri di pinggiran kolam buatan yang di isi dengan ikan-ikan beraneka warna. Dian dan Ami berjalan sambil mencari bangku yang masih kosong. dan setelah menemukannya, Ami menuntut paksa pada Dian, memintanya menceritakan masalahnya dengannya sahabatnya itu. Dan setelah membujuk Dian dengan banyak cara, akhirnya ia setuju untuk berbicara.

UNTOLD (The Love Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang