4: Nyarai Waterfall

49 3 0
                                    

21 September 2015

Hari silih berganti dengan cepat, Iqbal telah menjanjikan kenangan-kenangan manis pada Via selama di kota Padang. Maka tanpa ragu, Iqbal selalu membangunkannya di pagi buta untuk segera bersiap menjelajahi setiap sudut alam yang jarang terjamak oleh tangan kecil manusia. Kini Via tak lagi banyak bertanya, dengan semangat dirinya tersenyum menyambut Iqbal disertai pipi yang merah merona. Namun sayang, dirinya lupa akan sebuah barang. Barang yang tak bisa lepas dari genggamannya melainkan handphone kesayangannya. Maka dengan cekatan Via kembali ke kamar dan mempersilakan Iqbal menuju halaman rumah terlebih dahulu.

Iqbal memunculkan wajah dari bilik rumah dengan menatap adiknya yang sedang menyapu halaman. "Rista ... ambo nio pai jalan-jalan ka Lubuk Alung."

Rista yang semula asik dengan bersenandung ria, kini dirinya berbalik sambil memberhentikan pekerjaan rutinnya di pagi hari. "Samo jo sia uda pai ka situ?"

"Samo jo Via."

"Jan lamo-lamo bana uda pai ndak, ambo takuik dirumah surang se."

"Indak , uda cuma pai jalan-jalan sabanta se nyo,paliang lamo beko sore uda lah pulang baliak." Iqbal membenarkan tali sepatunya yang terlepas. Tiba-tiba saja Via datang menghampiri Iqbal dan Rista.

"Iyo lah,elok-elok se lah uda dijalan, ati-ati mambaok onda jan kancang-kancang bana."

"Kalau ba itu uda barengkek lah dulu, ati-ati dirumah jago rumah elok-elok."

Iqbal segera pergi menaiki kuda besi kesayangannya. Telah lama Iqbal meninggalkan kuda besinya, itu merupakan salah satu benda kesayangan Iqbal karena ia mendapatkannya dari hasil jerih payahnya. Semasa SMA Iqbal berupaya menabung demi mendapatkan apa yang ia inginkan meskipun berbagai hal yang harus ia tempuh, mulai dari membantu paman di sawah, membantu tetangga berlayar ke tengah laut hingga belajar menjadi wirausahawan garam dapur. Dirinya tak kenal lelah, Iqbal giat menggeluti setiap pekerjaan yang di berikan kepadanya. Hingga pernah suatu waktu, Iqbal terjebak dalam badai hebat di tengah laut. Kala itu pagi tak terlihat indah seperti biasanya. Awan hitam pekat menutupi langit yang indah, tak ada sedikitpun tanda kehidupan disana. Hanya ada perahu kayu yang sedang di porak porandakan oleh badai. Semilir angin ribut yang bertaut kencang ditemani petir yang menggelegar. Iqbal tak menyangka akan terjebak di situasi yang amat menakutkan. Dirinya menggantungkan segala urusan kepada Yang Maha Kuasa.
Iqbal berupaya membantu tetangganya mengemudikan kapal. Mencengkram kayu-kayu lusuh dengan kakinya. Memegang kemudi sekuat tenaga agar kapal tidak salah arah. Berdiri kokoh diterjang hujan yang mengguyurnya. Satu jam berlalu, Iqbal hanya dapat mengeluarkan seluruh kekuatan yang ada dirinya sembari berdoa. Tak terlihat sedikitpun tanda keajaiban, Iqbal semakin terpuruk. Kakinya tak mampu lagi berdiri tegak. Dingin, dirinya tak mampu lagi menahan dingin yang menusuk tulang. Kakinya terasa kaku dan badannya lunglai. Tak ada lagi harapan. Iqbal menatap sekitar, hanya air yang menggenang dahsyat. Mengeluarkan amarahnya. Ikanpun enggan untuk berenang ke permukaan. Tidak ada lagi harapan, hanya air mata yang meluncur ke seluruh badan tanpa ada seorangpun mengetahuinya.

Kini Iqbal terpekur jatuh, tetangganya tak menggubrisnya. Tetangganya yang biasa di sebut Pak Iman lebih fokus kepada kemudi kapal. Pak Iman yakin bahwa mereka akan selamat. Berkali-kali Pak Iman memberi semangat pada Iqbal melalui kata demi kata dan isyarat bahasa tubuh. Iqbal hampir kehabisan seluruh energinya. Rasa dingin menghujam habis dirinya. Tiba-tiba saja terdengar suara kapal besar. Terlihat besi berkarat di kejauhan. Iqbal berupaya membuka matanya. Meski sulit sekali untuk menatap jarak yang sangat jauh. Kini benda asing itu semakin mendekat, mendengarkan gemuruh mesin yang membelah lautan. Iqbal merasa dirinya memiliki harapan. Dengan semangat dirinya merengkuh bibir kapal seraya menegakkan badan. Melambai-lambai berteriak minta tolong. Nampaknya ada seorang yang melihatnya, Iqbal memberi isyarat melalui kata-kata yang tak terdengar. Namun wajah lusuhnya memberi tanda bahwa mereka butuh pertolongan. Dengan cepat benda asing itu mendekat, ternyata benda asing yang Iqbal lihat ialah kapal milik tentara Indonesia. Dengan cepat beberapa TNI membantunya, melemparkan ban orange ke arahnya. Dengan susah payah Iqbal meraihnya, meski harus tertatih melawan angin. Lambat, namun tepat. Iqbal menarik tangan Pak Iman dan segera di angkat menuju kapal penjaga perbatasan. Iqbal segera diberi pertolongan. Dengan cekatan beberapa TNI yang telah terlatih menjadi tenaga medis, menolongnya. Memberi baju serta makanan hangat untuk mereka. Iqbal tersenyum lega melihat situasi yang telah padam. Sekitar 10 mil jauhnya ia berlayar, dan itu merupakan pengalaman pertamanya melawan amukan laut yang menakutkan. Iqbal terpekur tak percaya mendapat suatu keajaiban dari Tuhan. Sejak saat itu pula Iqbal semakin mendekatkan dirinya kepada sang Kuasa.

ViiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang