Aku membuka kelopak mataku perlahan. Kali ini aku bisa membukanya dengan sedikit lebih ringan. Sebuah cahaya menerpa mataku saat aku membukanya, jadi aku memejamkan mataku lagi.
"Kafka!"
Sebuah suara memanggil namaku. Aku membuka kembali kelopak mataku perlahan agar cahaya tidak menyakiti pupil mataku seperti sebelumnya. Aku melihat beberapa wajah sedang memandang ke arahku. Beberapa di antaranya aku kenal.
Chandra, Ayah, dan Ibu. Sisanya mungkin dokter dan perawat karena mereka mengenakan pakaian putih seperti pakaian yang biasa dipakai oleh petugas medis di rumah sakit.
"Kafka! Akhirnya..." Ibu mengusap wajahku lembut. Aku memejamkan mata untuk merasakan sentuhan hangat itu. Sepertinya aku sudah lama tidak merasakan kehangatan seperti ini.
"Hai, Kafka," dokter laki-laki yang sudah berumur itu menyapaku ramah.
"Bagaimana perasaanmu? Merasa baik? Ada yang terasa sakit?"
Aku mencoba menggerakkan bibirku untuk menjawab. Aku juga mencoba menggerakkan leherku untuk menggeleng. Tapi aku nyaris tidak bisa menggerakkannya. Apa yang terjadi padaku? Aku lumpuh?
"Jangan khawatir. Otot-ototmu kaku karena sudah lama tidak digerakkan. Nanti kita lakukan terapi, ya," kata dokter itu lagi. Mencoba menenangkanku. Dokter itu memeriksa selang infusku kemudian keluar dari ruangan diikuti oleh ayahku. Aku merasa mengantuk lagi. Mataku terasa berat hingga akhirnya aku memejamkannya kembali lalu kehilangan kesadaranku.
Ini aneh.
Aku bermimpi hal yang sangat aneh.
Aku bermimpi melayang tinggi lalu tubuhku terbakar matahari. Tapi tak lama aku jatuh kembali dan menabrak tanah. Seluruh badanku terasa sakit. Aku membuka kelopak mataku perlahan. Aku memandang lantai putih beraroma cairan disinfektan. Aku menggerakkan tubuhku untuk berdiri dan memandang sekeliling. Aku masih di rumah sakit. Di kamar Anaia. Wah, barusan itu mimpi yang aneh.
Aku melayang sedikit agar bisa melihat tubuh Anaia yang berada di tempat tidur yang dikelilingi beberapa orang. Aku tidak bisa memercayai penglihatanku. Anaia terbangun!
"Anaia! Anaia!" aku memanggil-manggil namanya. Namun dia nggak merespon apa-apa. Mungkin dia sudah nggak bisa melihat dan mendengarku. Hmmm... Itu sedikit membuatku sedih. Tapi tentunya aku merasa senang karena akhirnya dia bisa menyatu lagi dengan tubuhnya dan terbangun. Dia hidup. "Selamat, Anaia. Selamat tinggal..." aku berbisik padanya dan berteleportasi kembali ke kamar rawatku.
Aku memandang tubuhku yang semakin terlihat kurus. Menyedihkan. Kapan kamu akan bangun hey, Kafka? Jika Anaia bisa hidup kembali setelah empat bulan lebih koma, berarti masih ada harapan untukku juga hidup, kan?
Aku menoleh pada Chandra dan ibuku yang sedang duduk di sofa. Ibu menangis lagi. Aku nggak sanggup melihatnya. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke kamar Kirana. Di dekatnya mungkin perasaanku lebih baik.
Plop.
Aku sampai di kamar Kirana. Lampu kamarnya telah dimatikan. Dia sedang terlelap di tempat tidur. Aku menghampirinya dan duduk di tepi ranjangnya. Memandangi wajah lelapnya yang nampak damai dan tenteram. Aku menggerakkan tanganku untuk menyentuh wajahnya perlahan.
"Kirana, kalau saja aku kembali hidup, apa ada kesempatan untuk bisa benar-benar menjaga kamu?" aku berbisik. "Aku mencintai kamu, Kirana."
Maaf kalau bagian ini cukup pendek ^^v
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Secret Admirer
Teen FictionRANKING #19 DIKATEGORI REMAJA! Kirana "Yes, i'm an invisible girl who loved by invisible boy." Kafka "Roh terpisah dari tubuhmu jauh lebih menakutkan daripada mati."