Bagian 1- Titik Jenuh

54 1 0
                                    

Gerhan memukul setir dengan tangan kirinya sambil membuang nafas dengan kasar, sementara tangan kirinya masih stay mengendalikan kemudi mobil. Akhirnya, Nissan Juke warna hitam mengkilap itupun menderu membelah jalanan ibukota dengan kekencangan yang tak begitu seimbang.

"Dita Dita Dita, kapan sih kamu bisa berubah menjadi lebih dewasa?" Gerhan mengomel sendiri di dalam mobilnya. Dia benar-benar kesal saat menerima pesan Line dari Dita, kekasihnya, untuk segera menjemputnya di Mall. Padahal siang ini Gerhan ingin sekali untuk meluruskan pinggangnya. Pekerjaannya seharian ini, memvernis barang-barang furniture, sangat membuatnya lelah.

Empat puluh lima menit kemudian, Gerhan pun tiba. Setelah memarkirkan mobilnya, Gerhan menuju Restoran Seafood yang disebutkan Dita.

Dita hanya mengkerucutkan bibirnya saat melihat Gerhan datang. Di meja tempat Dita duduk, juga ada Kalisa, Kiya, dan Aura, tiga sohib kompak dari Dita.

"Lama amat!!! Sekalian aja nggak usah pake datang," kata Dita jutek, padahal Gerhan belum lagi duduk.

Gerhan jadi bete. Tapi dia mencoba untuk meredam emosinya. Soalnya, kalo berantem (lagi) Gerhan tak akan pernah menang, ditambah lagi dia juga segan pada ketiga teman Dita. "Sorry Bebh, tadi agak macet," kata Gerhan akhirnya mengalah.

"Macet trus deh yang dijadiin alesan. Kakak nggak liat, ni makanan udah pada abis dari setengah jam yang lalu???"

Gerhan melirik meja dengan terpaksa. Benar saja, semua makanan sudah pada ludes. Tapi salah Dita juga sih, kenapa gak ngabarin dari pagi atau beberapa jam sebelumnya. "Tapi kamu ngomong minta jemputnya mendadak banget sayang."

"Iya emang. Tapi karena aku tau, kalo dari tempat kakak ke sini itu paling lama cuma setengah jam. Nah ini apa? Udah hampir satu jam. Satu jam, CATET!!!"

Gerhan memilih diam. Dia tahu betul tabiat kekasih itu. Dita, kekasih yang sudah tiga tahun dipacarinya itu, memang memiliki sifat kekanakan, labil, dan manja. Namun di sisi lain, Gerhan yang usianya empat tahun lebih tua, selama ini memang lebih banyak mengalah dan mengayomi, meski kadang suka keki sendiri kalau kekanakan Dita sudah di luar batas.

"Dit, udah deh, nggak usah ngomel lagi," Kalisa menengahi.

"Ho'oh, bener Dit," sambut Kiya. "Lagian kita-kita juga nggak papa kok nemenin lu nungguin kak Gerhan.

Gerhan menarik nafas lega dengan pelan, takut kalau Dita menyadari kelegaannya karena akhirnya teman-teman Dita membela dirinya.

"Tapi gue kan kesel. Nggak enak sama kalian juga," kata Dita memberi alasan.

"Ekhem!!!, Gerhan mendehem. Deheman itu sebenarnya kode pengganti kalau Gerhan ingin bilang, kalau Dita itu lebih mentingin perasaan teman-temannya daripada dia.

"Apaan tu ekhem ekhem???" Dita membesarkan bola matanya pada Gerhan. "Kalo nyindir ya nyindir aja, nggak usah pake batuk lebay gitu."

Gerhan merasa geli sendiri. Tak ada yang benar-benar berubah dari kekasihnya itu dari tiga tahun lalu mereka meresmikan hubungan. Meski begitu, bukan berarti Dita tak pernah romantis. Kalau sudah romantis, Gerhan bakal klepek-klepek deh dibuatnya.

"Yaudah deh, ayuk balik!!!," kata Dita lagi pada Gerhan dengan juteknya. "Oh ya guys, gue duluan ya. kalian kan pada mau keliling lagi ya."

"Oke deh cuy, sip," balas Kalisa. "Tiati di jalan ya," katanya lagi.

"Beres deh cuy," ucap Dita tersenyum. Gerhan memperhatikan senyum itu. Senyum yang tetap dan selalu saja manis di matanya.

....

Sepanjang jalan, Dua sejoli itu hanya diam-diaman saja. Dita sama sekali tak berniat untuk ngobrol sama Gerhan, sementara Gerhan juga tak kuasa untuk membuka percakapan, bukan karena takut diomeli oleh Dita lagi, tapi cacing diperutnya yang sudah demo sedaritadi lebih penting untuk diredam sesegera mungkin.

SOLITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang