Laki-laki di Rumah Itu

62 0 0
                                    

Jika kekuatan menyertai keberanian, maka tanya yang menggebu dalam hatiku telah terungkap sejak lama. Tanyaku sederhana tapi tak pernah tersampaikan. Bibirku kelu dan hatiku merapuh ketika melihat bola matanya. Aku dan laki-laki itu jarang bertemu. Dulu aku sangat menyayangi dia, dulu aku sangat mencintai dia. Tapi semenjak itu, semua berubah. Semua yang ku lakukan kepadanya tak pernah lagi ku lakukan. Aku kesal kepadanya, kekesalan itu berujung pada sebuah rasa benci. Kini aku bingung sendiri bagaimana menenangkan hatiku yang bergejolak dengan api neraka setiap melihatnya, namun air mata itu sering kali hadir ketika aku tak mampu berbuat apa-apa, ketika aku sama sekali tak bisa memadamkan api yang menyulut membangun keegoan.

Aku melakukan itu semua dalam keadaan sadar. Aku tahu ini tidak baik, aku tahu tuhan menentang ini semua, aku tahu dosa berlipat menyertai amarahku setiap saat. Tapi aku tak pernah sadar, mengapa orang yang ku panggil Ayah tak lagi menunjukan kalau dia Ayahku, dia tak pernah lagi membantuku, dia berubah dan menjadikan aku orang lain di rumah itu.

Sembilan belas tahun aku memanggil dia Ayah, delapan belas tahun aku berjuang untuk menjadi anak kebanggaan Ayah. Delapan belas tahun, aku berjuang untuk menjadi seperti yang Ayah inginkan. Tapi, Ayah tak pernah menanggapi usahaku dengan sepenuhnya. Ayah selalu menyampingkan aku, Ayah selalu menengok untuk orang lain sementara untuk anak perempuanmu, hanya air mata yang tahu bagaimana sakitnya mendapati sikap Ayah seperti itu.

Aku telah membuang beribu harapan dan beberapa kesempatan emas hanya karena menghormatimu, hanya karena menghargaimu sebagai seorang Ayah untukku. Tapi yang ku dapatkan setelah itu, ternyata lebih sakit dari sebelumnya. Air mata yang harus menjadi saksi kekelahan, saksi ketidakmampuan, saksi kelaraan, lebih banyak lagi dan lebih sakit lagi.

Dia dulu, satu-satunya laki-laki di dunia ini yang ku percayai, yang ku sayang, yang aku cinta dan aku hargai karena hati baiknya. Kini aku tak lagi mempunyai laki-laki seperti itu, aku kehilangan sosok Ayah sekaligus kehilangan kepercayaan akan sosok laki-laki. Laki-laki di rumah itu, merubah duniaku. Laki-laki di runah itu, membuatku lupa siapa aku dan dimana tempatku. Laki-laki di rumah itu, membuatku ingin menutup cerita bersamanya. Meskipun terkadang ada rindu, tetap saja itu bukan rindu. Rindu itu akan lenyap hanya mengingat apa yang telah terjadi dan bagaimana hidupku saat ini.


Salam Oktober 2016

*suara hati gadis kecilmu di sebuah kota

Catatan Hati Remaja LabilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang