Bagian 11

285 7 0
                                    

"Salah satu di antara kita biar masuk dulu memeriksa keadaan di dalam, dua yang lain biar menunggu saja di luar menjaga segala kemungkinan," sebetulnya Dian Susi sudah berkeputusan untuk menentang cara ini, namun sekarang justru dia sendiri yang mengutarakan.

Naga-naganya Nyo Hoan tiada maksud menentang, tanyanya tawar: "Menurut maksudmu siapa yang harus masuk lebih dulu?" Sungguh tak nyana bahwa sampai hati dia mengajukan pertanyaan ini. Umumnya laki-laki suka menonjolkan diri di hadapan gadis ayu.

Keruan Dian Susi kebingungan sambil menggigit bibir, terpaksa dia menoleh kepada Cin Ko. Ternyata Cin Ko tidak memberi reaksi sedikit pun. Semula pemuda gagah ini tidak begini pendiam, sejak berkumpul dengan setan kepala besar, sikap dan tindak-tanduknya berubah sama sekali.

"Coba kau katakan," kata Dian Susi jengkel, "menurutmu siapa yang harus masuk lebih dulu?"

"Kau sendiri yang mengajukan cara ini, sudah tentu kau sendiri yang harus tampil," siluman babi ini ternyata sampai hati menyuruh seorang gadis rupawan menjadi pelopor untuk menerjang bahaya.

Hampir gila rasanya saking marah, akhirnya Dian Susi menjadi sengit, katanya membanting kaki: "Baik, biar aku yang masuk lebih dulu."

"Setelah kau masuk, umpama kau mengalami apa-apa, kita tetap akan berusaha menolongmu, sebaliknya jikalau kita yang menghadapi bahaya, kau takkan mampu menolong kita."

Malas dan sebal Dian Susi mendengar ocehannya, segera dia melengos dan berlari ke depan menyusuri jalan batu naik undakan di depan pintu kelenteng.

Sampai di sini mendadak dia berhenti. Soalnya pintu besar tertutup rapat, namun asap atau kabut tipis berwarna kekuningan sedang mengepul dari sela-sela daun pintu menandakan di dalam kelenteng masih ada asap dupa. Itu menandakan ada orang di dalam, namun kenapa sedikit suara pun tak terdengar? Apakah mereka sudah merasa akan kedatangan dirinya maka semuanya lantas berdiam diri? Atau mereka sudah terbunuh dan terbungkam mulutnya?

Semula Dian Susi emosi untuk bekerja, namun rasa marahnya tadi kini sudah lenyap, kaki tangan terasa dingin malah, ingin rasanya dia menggenggam tangan seorang laki-laki. Terutama tangan Nyo Hoan yang gemuk penuh daging empuk itu.

Tangan orang gendut yang satu ini rasanya selalu hangat, tenang dan mantap, bersih lagi, tangan yang selalu menjadi idam-idaman setiap gadis yang suka menggandengnya. Sayang waktu dia menoleh, setan kepala besar itu sudah lenyap tak kelihatan bayangannya, Cin Ko ternyata juga menghilang. Keruan kaki tangannya semakin dingjn berkeringat, hampir tak tahan dia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun dia pantang melakukan perbuatan yang merendahkan derajat dan memalukan ini, apalagi malu terhadap setan kepala besar. Setelah setengah harian mematung di undakan batu, akhirnya Dian Susi membesarkan nyali beranjak maju seraya mendorong pintu.

* * * * *

Pintu memang tertutup rapat, tapi tidak terkunci atau terpalang dari dalam, hanya sedikit mendorong pelan-pelan daun pintu lantas terpentang lebar dengan mengeluarkan suara keriat-keriut. Suara yang mengerikan di malam gelap ini.

Dengan kertak gigi Dian Susi melangkah maju setindak serta melongokkan kepalanya lebih dulu ke dalam. Tiada sesuatu yang terlihat karena pekarangan dalam penuh diliputi kabut atau asap yang cukup tebal. Untung di bawah pemujaan sana masih ada sinar lampu, walau sinarnya guram, sedikitnya memberi petunjuk jalan kepadanya.

Terlebih dulu Dian Susi menghirup nafas panjang lalu selangkah demi selangkah beranjak masuk. Dia mengharap jangan nanti kakinya menginjak mayat orang mati. Tapi di sini bukan saja tiada orang mati, orang hidup pun tak kelihatan.

* * * * *

Setelah melewati pekarangan, sinar lampu di depan patung pemujaan sudah kelihatan dan semakin terang. Di sini pun tak kelihatan bayangan orang, cuma asap dupa mengepul dari hiolo yang terletak di bagian depan meja pemujaan.

Tokoh Besar (Da Renwu) - Gu LongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang