Kadang aku berharap dunia ini hanya mimpi. Kemudian aku akan terbangun di suatu waktu dan menyadari mimpi itu sudah pergi. Aku akan baik-baik saja. Selalu begitu.
Namun itu tidak terjadi.
Bahkan tidak pernah.Namaku Ofra. Panggil saja demikian. Aku tinggal di suatu tempat di salah satu sudut dunia. Aku tidak akan mengatakan itu dimana karena aku tidak ingin kalian pergi kesana. Bukan karena ada peperangan atau wabah penyakit, tapi karena di tempat itu, perempuan tak memiliki ruang untuk dihargai.
Disana, semua peraturan dibuat oleh laki-laki, dan untuk kepentingan laki-laki. Tapi hukuman hanya berlaku bagi perempuan. Laki-laki, sebagai pemimpin, mengklaim dirinya mulia dan menempati kebijaksanaan tertinggi, dan perempuan digambarkan sebagai makhluk setengah manusia. Seorang perempuan akan terus diawasi oleh laki-laki seumur hidupnya. Jika ia seorang gadis, ia akan dihantui oleh ayahnya. Jika ia seorang istri, sang suami yang menjadi monsternya.
Karena mengawasi bukan berarti melindungi. Karena melindungi bukan untuk kehormatan perempuan. Tak ada yang paling ditakuti seluruh lelaki disana selain gerakan perempuan yang meminta kebebasan.
DAN TAK ADA YANG PALING AKU NANTI SELAIN BEBAS! BEBAS! BEBAS!
Aku tinggal di sebuah komplek dekat madrasah. Lantaran perempuan tidak boleh pergi lebih jauh dari 2 kilometer. Maka madrasah itu adalah batas duniaku.
Sempit.
Terpencil.
Terbelakang.
Dan karena aku menderita lupus, aku tidak diizinkan sekolah.
Aku bahkan tidak pernah benar-benar diberi obat untuk penyakitku. Jika seorang perempuan terkena penyakit, mereka berkata itu adalah kutukan. Tetapi ketika lelaki yang sakit, mereka berkata ini dosa perempuan!
Lihatlah, bahkan mereka menentukan dosa kami!
*****
Saat usiaku tiga belas tahun, aku jatuh cinta dengan salah satu murid di madrasah, sebut saja Aurel. Hampir setiap sore kami mencuri waktu untuk duduk bersama di halaman belakang madrasah, di bawah pohon willow, di dekat danau.
Ayah Aurel seorang peternak sapi dan beliau selalu menyuruh Aurel diam-diam pergi ke kampung sebelah untuk menjual susu. Ia tahu bahwa jika petinggi daerah tahu ia pergi jauh, yang dihukum adalah dirinya, bukan ayahnya.
Di halaman belakang madrasah, kami sering bercengkerama dan saling membagi makanan yang kami punya, karena laki-laki juga mengatur porsi makan kami, akhirnya banyak dari kami yang mati kelaparan. Dan kematian kami, tak pula diberkati. Kami dibakar. Jasad kami tak dikenang. Nama kami tak pernah disebut-sebut lagi. Seakan kami tak pernah lahir. Seakan kami tak ada di dunia ini.
*****
Sejak kecil, kami, para perempuan, sudah didoktrin bahwa menjadi istri yang berbakti kepada suami akan mendapat jaminan surga. Maka tak heran, kebanyakan perempuan disini sangat taat dan patuh pada suami, betapa pun suaminya itu selalu bersikap kasar, betapa pun suaminya itu telah memiliki istri lain, betapa pun suaminya itu telah membunuh dirinya sendiri dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EYE OF THE LADY
RomanceDiangkat dari kisah nyata seorang perempuan (sebut saja "Ofra"). Ketika laki-laki dijunjung tinggi dan perempuan dianggap sebagai makhluk 'setengah manusia'. Bahwa perempuan tidak lebih mulia dari laki-laki dan karenanya harus tunduk kepada otoritas...