Pertama-tama adalah perayaan. Di tempat lain, aku melihat kehidupan yang lebih ramai. Orang-orang dengan kesibukan, pesta dan kembang api, uang dan anggur, menara dan cahaya.Pada malam, aku melihat para perempuan dalam rona kelelahan, membias bersama malam, berjalan menyebrangi loncatan-loncatan mimpi. Aku melihat para lelaki merangkul perempuannya, tersenyum dalam diam, memandang penuh pesona. Berdentum-dentum hentakan musik. Senandung opera sabun. Suara-suara lirih dari segala percakapan. Papan-papan billboard. Gerai siap saji. Semua drama ini mengalir bebas. Aku duduk di salah satu bangku taman, menghela napas.
Kosong.
Itulah yang aku rasakan.
Aku merasa separuh hidupku hilang. Ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat daerah itu, aku teringat Aurel, ibuku, saudara" perempuanku. Rasanya aku ingin kembali, setidaknya aku ingin menyelamatkan mereka. Namun sesuatu di jiwaku memberontak. Apakah aku memang ingin menyelamatkan mereka? Apa yang akan aku lakukan setelah itu? Segalanya sungguh muram. Dan disini, di kota yang penuh cahaya, aku merasakan takut yang amat sangat.Saat itu aku tidak bisa berpikir. Aku hanya mencoba menyakini bahwa Aurel dan seluruh perempuan disana akan baik-baik saja. Dengan begitu, mungkin aku bisa melanjutkan hidup. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu bahwa aku hanya berpura-pura, sebab aku telah menyaksikan sendiri bahwa tidak ada perempuan di daerahku yang hidup dengan baik-baik saja. Tidak ada!
Dunia di hadapanku kini sangat meriah. Namun hanya gelap yang aku lihat. Dunia di hadapanku sangat gemerlap. Namun aku jatuh pada kekosongan.
Ah, apa gunanya keramaian dan hiruk pikuk ketika kau tidak mengenal satu pun di antara mereka?Lagi dan lagi, aku merasa sebagai cangkang kosong.
Dan dengan segala kekosongan itu, aku melanjutkan hidup baru. Berharap mendapatkan hal yang lebih baik. Aku bertanya kesana kemari, mencari pekerjaan. Kenyataan bahwa aku menderita lupus dan tidak pernah duduk di bangku sekolah benar-benar membuatku putus asa.
Akhirnya aku buat keputusan. Aku mengirim surat untuk ketua daerah tempat tinggalku dulu. Sebuah surat, yang mampu menyelamatkan hidupku di kota. Sebuah surat yang membuatku menyesali diriku sendiri seumur hidup.
Dengan bekal dari apa yang pernah diajarkan Aurel, aku mulai menulis. Aku katakan pada mereka bahwa ada lembaga perlindungan perempuan di kota, yang tidak segan-segan menghukum lelaki penindas perempuan.
Hukuman favoritnya adalah MEMOTONG KELAMIN LAKI-LAKI SAMPAI MEREKA TIDAK TAHU LAGI BAGAIMANA CARANYA KENCING DAN MASTURBASI!
Aku tegaskan pada para petinggi daerah itu, jika mereka tidak mengirimi aku uang, maka aku akan laporkan segala bentuk penindasan mereka terhadap perempuan.
Aku pastikan juga bahwa aku akan mengubur hidup-hidup jasad mereka bersamaan dengan potongan kelaminnya, seandainya mereka menganggap remeh suratku ini.Gilanya, mereka percaya.
Maka begitulah, sesuai dengan perjanjian, seorang utusan datang. Kami bertemu di jembatan, di perbatasan. Aku kaget melihat laki-laki yang datang adalah lelaki yang dahulu pernah menyelamatkanku keluar dari daerah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EYE OF THE LADY
RomanceDiangkat dari kisah nyata seorang perempuan (sebut saja "Ofra"). Ketika laki-laki dijunjung tinggi dan perempuan dianggap sebagai makhluk 'setengah manusia'. Bahwa perempuan tidak lebih mulia dari laki-laki dan karenanya harus tunduk kepada otoritas...