Aku dan Aurel sepakat untuk bertemu pada tengah malam disini, di halaman belakang madrasah, di bawah pohon weeping willow, di dekat danau. Kami membagi uang yang diberikan Tuan Haredi dan berdoa supaya uang ini tidak cepat habis sebelum kami mendapat pekerjaan dan kehidupan yang layak di tempat yang baru.
Aku sesungguhnya tidak tahu bagaimana harus berbicara dengan Tuhan, apakah aku harus menempatkan diriku sebagai seorang lesbian atau seorang perempuan yang terjerat tirani. Kadang aku berpikir bahwa Tuhan telah membiarkan ini terjadi. Mengapa Tuhan tidak melakukan apapun atas semua kejahatan yang menimpa kaum perempuan? Dan aku, apakah memang aku sedemikian berdosanya karena tidak pernah mencintai laki-laki? Aku lahir, lalu hidup menderita, dan Tuhan diam saja. Ketika aku berpikir bahwa pergi dari tempat ini adalah pilihan yang tepat, sesuatu di dalam jiwaku berteriak bahwa aku tidak sepantasnya pergi hanya karena aku mencintai Aurel. Tuhan telah bereaksi begitu keras atas cintaku saat sebelumnya Ia hanya diam melihat semua kesedihan yang aku lalui.
Aku sampai terlebih dahulu daripada Aurel. Aku meringkuk dibalik mantel merah. Dingin menyakiti kerongkonganku. Dalam kegelapan malam, aku yang hampir jatuh terlelap, menyaksikan bintang-bintang jatuh dalam lengkungan. Tiba-tiba aku menjadi ragu. Bagaimana dengan ibuku? Aku teringat wajahnya. Ia bilang bahwa sebenarnya aku hanya terlalu banyak mengeluh. Air mata mengalir. Di ujung kepergianku, perasaan ragu-ragu terhadap langkah yang kubuat menguat, dan semakin aku menguatkan diriku untuk tetap teguh, semakin aku ragu-ragu.
Aku terus menunggu. Namun hingga menjelang pukul tiga, Aurel belum juga datang. Aku mulai khawatir. Aku terus menunggu. Dari kejauhan, aku melihat kelopak cahaya lentera mendekat, aku pikir itu Aurel. Namun ketika aku mendengar suara teriakan, segalanya jadi berantakan.
"Ofra, pergilah!" teriak Tuan Haredi. Aku tersentak. Aku segera menyadari kehadiran bahaya dari mereka, para lelaki, yang datang dengan lentera di tangan kanan, dan pisau di tangan satunya lagi.
Aku berlari secepat aku dapat berlari.
Aku menceburkan diri ke dalam danau, berharap mereka tidak akan mengejarku sampai ke danau juga.
Namun ketika aku sampai di tepian, aku mendengar teriakan mereka mendekat, aku kembali berlari. Aku berlari menginjak apapun; ranting-ranting pohon, rumput-rumput liar, hingga bebatuan cadas. Kakiku berdarah-darah, tapi aku tetap berlari.
Dalam kegelapan, aku tidak dapat melihat apapun. Tetapi aku bisa mendengar gemuruh teriakan mereka yang memanggil-manggilku dengan sebutan buruk. Aku berlari menerjang hutan. Dingin menusuk tulangku. Aku terus berlari sampai aku merasa kakiku ingin lepas. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku tidak ingin jatuh ditangan mereka. Aku harus menang. Aku bukan perempuan yang dapat diperbudak oleh mereka. Aku harus menang. Menjadi lesbian bukanlah hal buruk. Aku seorang perempuan, dan aku mencintai perempuan sebagai manusia utuh, bukan sebagai makhluk setengah manusia, sebagaimana yang sering mereka khotbahkan. Negeriku harus tahu harga dari seorang perempuan. Negeriku harus tahu harga dari kesetaraan, kebebasan, dan keadilan.
Aku terjatuh. Terengah-engah. Kehabisan nafas. Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku sudah tak mampu lagi. Saat aku dengar langkah kaki mendekat, aku merangkak dan buru-buru bersembunyi dibalik pohon. Langkah kaki itu semakin mendekat. Aku memejamkan mata.
"Jangan bergerak!" teriak seorang laki-laki, keras.
Aku masih terengah-engah, tak mampu melakukan apapun. Lelaki itu menyampirkan lentera di cabang pohon. Lalu dalam sekejap, ia menodongkan pisau ke wajahku. Sesaat aku merasa sangat-amat takut. Aku terkencing-kencing. Air mengalir diantara kedua pahaku.
"Jangan bergerak!" katanya lagi dan lelaki itu menyibak rokku. Ia terdiam.
Aku menangis.
Ia menatapku."Aku tidak membunuh siapapun. Aku tidak menyakiti siapapun. Aku hanya mencintai dan membela hak-hak perempuan," kataku, disela-sela isak.
Lelaki itu diam saja. Tiba-tiba ia menyentuh wajahku. Cukup lama. Akhirnya ia urungkan pisaunya.
"Pergilah," katanya, lembut. Ia mencium pipiku dan menutup kembali rokku. "Aku takkan pernah bisa menyakitimu, Ofra."
Aku tak sempat terkejut ketika lelaki itu bersikap demikian, karena suara teriakan mereka yang hendak menangkapku makin mendekat. Tapi sebelum sampai, lelaki itu telah berlari memperingatkan.
"Dia tidak disini."
"Hah?"
"Dia tidak disini."
"Tapi tadi dia berlari kesini."
"Tapi dia tidak ada disini." Aku menggapai ranting pohon, mencoba berdiri. Lelaki itu kembali. Senyumnya mengembang.
"Hati-hati," katanya. Aku tak menjawab. Aku tahu dia telah menolongku, tapi aku belum bisa melupakan mata pisaunya yang menunjam ke arahku. Aku bahkan tak mengenal siapa dia. Bagaimana pun, aku berterima kasih. Namun aku menolak pertolongannya lebih jauh.Aku pergi. Ia tak mengatakan apa-apa lagi.
Tertatih aku berjalan. Menyebrangi sungai, melintasi pematang sawah. Hingga menjelang subuh, aku tiba di sebuah perkampungan. Hujan mengguyur.
Aku bernafas lega.Satu-satunya yang terlintas di benakku setelah bebas dari daerah itu adalah... BAGAIMANA DENGAN AUREL?
Sepersekian menit aku mencoba berbaik sangka bahwa dirinya mungkin berhasil lolos, dan nanti kami akan bertemu di suatu tempat, seperti pujangga Rumi katakan. Sebuah tempat diantara benar dan salah.
Tetapi detik-detik kemudian, hal itu terasa sulit. Bahkan tak mungkin.
Aku terus berjalan. Subuh membawa sunyi. Hanya ada angin menarikan dedaunan. Hanya ada suara air mengalir dari pegunungan. Aku tak membawa apapun. Tak bersama siapapun. Aku melihat sekeliling. Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu sendirian.
-bersambung-
*Nah bagaimana? Harap vote dan commentnya ya, cheers!
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EYE OF THE LADY
RomanceDiangkat dari kisah nyata seorang perempuan (sebut saja "Ofra"). Ketika laki-laki dijunjung tinggi dan perempuan dianggap sebagai makhluk 'setengah manusia'. Bahwa perempuan tidak lebih mulia dari laki-laki dan karenanya harus tunduk kepada otoritas...