Kepada seseorang berkacamata di seberang sana.
Tepat dua tahun berlalu. Dan aku masih di tempat dengan tapak kaki yang sama, sedang dirimu telah berkelana dengan dua almamater berbeda.
Baru dua tahun berlalu, dan aku masih mampu memutar visualisasimu yang berdurasi beberapa menit. Hanya wajahmu, berwarna, tapi seperti rekaman lama, bisu-tanpa suara.
Sudah dua tahun berlalu, dan aku hanya mengirim sepotong pesan pendek bertuliskan selamat atas almamater biru tua berlambang gajah yang kamu inginkan sejak tahun lalu.
Karena, kita bahkan tidak saling kenal, bukan?
Karena, aku bahkan belum pernah mendengar bagaimana frekuensi suaramu.
Belum pernah melihat dengan jelas apa warna iris matamu.
Apalagi membayangkan aku dan kamu terlibat percakapan yang menyenangkan.
Lihat, sekadar membayangkan saja aku tidak bisa.
Dua tahun telah berlalu dan aku senang karena kamu adalah sesuatu yang pasti. Pasti bagi orang lain, tapi dalam intervalku kamu itu akar negatif satu. Tidak nyata. Irasional.
Namun, jika benar kamu bilangan tidak real, maka aku juga akan berusaha menemukan titik irasionalku. Dimana akan ada i dot i menjadi bilangan bulat. Nyata dan diakui eksistensinya. Meski itu berarti aku menjadi ... imajiner.
Salam secerah petir dan halilintar
Maghfira Aulia