Janji Yang Terikrar

2.1K 174 17
                                    

Berat. Itu yang Myesha rasakan. Menerima persahabatan dengan Rafa entah mengapa melukai hatinya. Kata sahabat tidak nyaman terdengar di telinganya. Dan masa-masa lampau kembali terpatri dipikirannya. Bisakah Myesha hanya sekadar bersahabat dengan Rafa. Atau bahkan ia yang akan duluan menabrak janji yang telah terikrar. Ah-- Myesha bisa gila jika terus memikirkan hal yang akan menguasai sebagian otaknya.

Pagi sekali ia sudah melayang ke rumah sakit karena ada panggilan darurat. Ada pasien yang harus sesegera mungkin ia operasi. Hasil Rontgen menunjukkan bahwa pasien mengalami cidera di bagian bahu kiri hingga menyebabkan patah tulang. Biasanya kasus seperti ini akan diambil tindakkan operasi yang biasa disebut ORIF (Open Reducation Internal Fixation) tujuannya untuk pengembalian tulang yang patah ke tempat semula dan pemasangan pen.

"Dokter Mye."

Sherla lari tergopoh-gopoh mengejar Myesha yang sedang berjalan menuju ruangannya. Sontak, dokter cantik itu menoleh ke asal suara yang terdengar dari arah belakang. Didapatinya Sherla dengan wajah kusut sambil berlari ke arahnya sedikit lebih cepat. Sudah tabiatnya menganggu Myesha setiap hari. Tidak heran, mengingat Sherla satu departemen dengan Myesha sebagai dokter bedah umum, meskipun Sherla masih junior dan hanya menjadi asisten saat operasi berlangsung.

"Dok, soal pasien." Myesha mempersilakan Sherla melanjutkan laporannya dengan anggukkan kepala.

"Selain cidera patah tulang, pasien juga mengalami pendarahan otak. Kita harus bekerja sama dengan departemen bedah syaraf, Dok." Mendengar itu, Myesha menghela napas. Apa hidupnya harus selalu berkaitan dengan Rafa. Bahkan soal pasien saja mereka harus berkerja sama.

"Hubungi mereka. Kita perlu diskusi sebentar untuk menentukan siapa yang akan melakukan operasi duluan."

"Yang akan memimpin operasi Dokter Rafa, Dok. Saya sudah bilang tadi, jadi Dokter ditunggu di ruangannya."

"Sepertinya bicara kita hari ini formal sekali Sherla."

"Lagi tegang Dok."

"Tegang kenapa?"

"Coba aja saya di departemen bedah syaraf. Ah, saya pasti sudah jadi asisten Dokter Rafa. Bisa dibayangin Dok. Selama operasi bukannya jenuh, malah betah liat ketampannya." Tatapan Myesha ke Sherla bagai orang yang ingin memakan manusia bukan lagi mengutuknya jadi kodok. Bisanya ia berkata seperti itu. Hanya karena dokter tampan, Sherla seperti menyesal berada di departemen bedah umum. Keterlaluan.

"Kalau gitu lo jadi asistennya Rafa aja sana. Atau lo kuliah ulang biar bisa jadi asisten dia. Dasar genit."

"Ah ... Dokter."

Myesha sudah tidak menghiraukan ocehan Sherla lagi. Ia berjalan menuju ruangan Rafa. Ini adalah hari kedua Rafa bekerja dan dia mendapat keistimewaan memimpin operasi, sungguh luar biasa. Sepagi ini, Myesha sudah harus melihat wajah yang antara diharapkan dan tidak. Kalau saja ini bukan soal pekerjaan, Myesha pasti sudah menghindar lagi. Myesha tidak ingin jatuh ke lubang yang sama. Dengan mencintai Rafa lagi, ia takut kembali terluka. Trauma masa lalu terus membayang dalam benaknya. Ia benci ditinggalkan.

"Selamat pagi, Dokter Rafa." Wajah tampannya terlihat begitu segar pagi ini. Tatapannya membius bak arjuna pencuri cinta. Myesha tak bisa berkutik ketika Rafa menatapnya seperti itu. Bahkan matanya tak mampu berkedip, ia hanya bisa melongo layaknya orang bodoh.

"Dokter Myesha. Apa anda sebegitu terpesona dengan ketampanan saya hingga tidak bisa berkedip?"

Buru-buru Myesha berpaling ke arah lain, salah tingkah. Kejadian barusan seakan mempermalukan dirinya sendiri. Lihatlah Rafa tersenyum licik seolah penuh kemenangan. Myesha tak menapik, ia kembali terpesona dengan Rafa versi dewasa. Penampilannya yang lebih rapi, dan gayanya yang banyak berubah tak ayal membuatnya terbius. Bodohnya Myesha tak bisa mengontrol diri saat berada di depannya. Seharusnya, Rafa-lah yang terpesona dengan kecantikkannya. Jangan sampai sebaliknya. Myesha akan merasa kalah, walau tak pernah ada lomba sebelumnya.

The Power Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang