KATA PEPATAH

195 3 0
                                    

Aku pernah mendengar bahwa seseorang akan terasa sangat berharga saat kita sudah kehilangannya. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa cinta bisa membuatmu buta. Rasa cinta dan kasih sayang yang berlebih akan membuatmu hanya melihat dia dan mengabaikan sekelilingmu. Dan kalian tahu, aku baru menyadari kedua hal tersebut benar. Kedua pepatah tersebut mampu menggambarkan perasaanku dan juga dia. Akan kuceritakan pada kalian kisah cintaku dengan dia, Pradana Aldrik. Pria yang sangat tulus mencintaiku sekaligus membuatku sadar akan kedua hal tadi.

Pagi itu, cuaca sedang tidak bersahabat. Langit berwarna kelabu. Awan hitam berkumpul membentuk gumpalan raksasa yang siap menurunkan hujan. Gemuruh petir mulai terdengar bersahut-sahut. Para Ibu di kompleks itu keluar rumah hendak mengangkat jemuran mereka agar terhindar dari hujan. Beberapa dari mereka memindahkannya ke teras rumah dan di dalam rumah.

Aku menatap satu persatu bulir air yang jatuh ke tanah. Kian lama semakin deras. Hingga tempiasnya mengenai wajah dan jendela kamarku. Kututup jendela dan beralih menatap langit yang berselimut awan tebal yang menandakan hujan akan awet. Aku berdecak dalam hati, kalau terus seperti ini bagaimana caraku untuk pergi ke kampus.

Dan, ya, aku berani bertaruh jawaban kalian benar. Mobil. Dengan cara itu aku bisa pergi ke kampus. Tetapi perlu kalian tahu, keluargaku tak memiliki kendaraan tersebut. Menunggu hujan ini reda jelas tidak akan mungkin atau aku harus absen mata kuliah hari ini.

Tiba-tiba, satu nama terlintas di pikiranku. Aku tersenyum sungging mengingat wajahnya. Wajah yang selalu memenuhi permintaanku. Wajah yang selalu tak ingin melihatku sedih dan selalu berusaha membuatku bahagia.

Kuambil ponsel di atas nakas dan memulai panggilan. Hanya butuh waktu kurang dari lima detik untuknya menjawab panggilan dariku.

"Halo, Dan. Kamu dimana? Aku ada jadwal kuliah pagi, kamu bisa jemput aku, nggak? Disini hujan deras banget."

Terdengar sedikit kegaduhan di seberang sana, "Kamu bisa nunggu sekitar 20 menit? Aku lagi siapin bekal untuk Citra, nih. Nanti mau antar dia bimba juga."

"Dan, aku cuma punya waktu setengah jam. Kalau harus nunggu kamu aku bakal telat. Belum ke rumahku dan ke kampus, pasti kena macet. Kalo kamu nggak bisa jemput bilang aja nggak usah cari alasan."

"Din, bukan gitu-" Klik. Sambungan terputus karenaku mengakhirinya secara sepihak.
Dasar laki-laki egois. Dia lebih memilih adiknya daripada kekasihnya.

Aku menatap ke luar jendela yang masih diguyur hujan. Jalanan mulai tergenang air banjir. Entah sampai kapan hujan ini akan berakhir. Jika tidak berhenti dalam setengah jam dari sekarang, Mungkin hari ini aku akan absen kuliah. Persetan dengan dosen mata kuliah hari ini yang sangat killer.

"Dinda, sarapan dulu, Nak." Suara Ibu mengejutkanku dari lamunan. Aku menatap Ibu yang sedang berdiri di bingkai pintu. "Aku lagi nggak nafsu makan."

"Kamu nggak kuliah?"

"Gimana cara berangkatnya, Bu. Ngga lihat di luar hujan deras."

"Maafkan Ibu sama Ayah, ya, Nak, yang tidak mampu memberi kendaraan yang kamu inginkan." Aku membuang pandangan ke arah jendela. Enggan menatap Ibu yang memberikan tatapan iba kepadaku. Karena sungguh, aku tidak butuh diberi tatapan seperti itu.

Bunyi klakson terdengar memasuki pekarangan rumahku. Aku mengenali suara mobil tersebut. Ya, siapa lagi kalau bukan pria yang tadi di telepon. Pradana Aldrik. Kekasih yang telah mewarnai hari-hariku selama dua setengah tahun.

Ibu menyuruhku segera keluar karena Pradana sudah menunggu. Dengan segera aku meninggalkan kamar. Kulihat Pradana yang sedang menungguiku di depan pintu. Bajunya sedikit basah. Sepertinya ia tak menggunakan payung saat keluar dari dalam mobil dan berlari ke dalam rumahku.

Cerita Pendek - Separuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang