RAMA DAN SHINTA

324 13 0
                                    

     Tujuh belas tahun lalu. Kamu adalah gadis yang begitu rapuh. Saat sedang diolok-olok oleh teman-teman, kamu hanya diam dan menangis. Membiarkan mereka semua menjadikan kamu bahan tawa canda mereka.

     Suatu hari, saat pulang sekolah. Aku mendengar teriakan beberapa orang di belakang gedung sekolah. Hatiku dilanda rasa penasaran, suara apakah itu? Karena rasa keingintahuanku yang tinggi, aku langsung bergegas menuju sumber suara.

"Dasar, anak pungut!"
"Anak pungut, anak pungut."

     Aku terkejut saat melihat pemandangan yang ada di depanku. Kamu sedang berjongkok dengan tangan menutupi wajah sambil menangis dan dikelilingi oleh mereka.

     "Hei, apa yang kalian lakukan?" Mereka semua seketika diam dan menoleh ke arahku.

     "Kalian semua ingin bubar atau akan kupanggil Bu Guru datang kesini." Aku menggertak mereka semua supaya pergi dengan sedikit ancaman. Dan tanpa kusuruh dua kali, mereka semua berlari dengan pontang-panting.

     "Kamu tidak apa-apa?" Aku memegang bahumu sambil berjongkok di sampingmu. Tetapi kamu hanya diam dan masih terus menangis, tidak mengucap sepatah kata pun.

     "Ibuku bilang, tidak ada yang namanya anak pungut. Semua anak terlahir dari rahim Ibunya. Jadi, jika kamu terus dipanggil dengan sebutan anak pungut, kamu harus melawan mereka. Dan jangan pernah lagi menangis dihadapan mereka, karena itu akan membuat mereka senang. Buktikan pada semuanya bahwa kamu gadis yang kuat, tidak lemah seperti ini."

     Aku mencoba menghibur dan membangkitkan semangat kamu untuk menjadi gadis yang kuat. Agar tidak terus ditindas oleh siapapun. Tangismu seketika berhenti. Hembusan nafasmu yang kasar terdengar di telingaku.

     "A ... ku ... tidak ak ... an ... jadi ga..dis yang ... le ... mah ... lagi." Kamu berkata dengan sesegukkan dan suara yang sumbang. Matamu bengkak dan memerah, serta rambutmu yang terlihat acak-acakkan. Aku sungguh tidak tega melihat kamu dengan keadaan seperti ini.

     Dengan mencoba tersenyum, aku mengangkat jari kelingkingku di udara agar sejajar dengan wajahmu. "Janji?" Kamu mengangguk. Lantas mengaitkan jari kelingkingmu di jari kelingkingku. "Ya ... aku ... janji."

***
     Sejak kamu mengucap janji itu, aku tidak pernah bertemu dengan kamu lagi. Karena pada esok harinya, aku pindah sekolah ke luar kota. Namun, setelah bertahun-tahun kita tidak bertemu. Akhirnya malam ini Tuhan mempertemukan kita kembali, tetapi dengan kondisi yang jauh berbeda.

     Saat itu, aku ingin pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di kantor. Namun, saat aku ingin memasuki mobil, aku melihat kamu yang sedang masuk ke sebuah bar yang ada di depan kantorku. Karena ingin memastikan apa yang baru saja kulihat, aku memutuskan untuk ikut masuk ke dalam bar tersebut.
Bau asap rokok, minuman beralkohol, dan bunyi musik yang amat sangat memekakkan telinga langsung menyambutku saat memasuki pintu loby utama.

     Aku menerobos ratusan orang yang sedang berjoget ria menikmati alunan musik yang dimainkan oleh Disc Jockey, mencoba untuk mencari keberadaan kamu. Sesekali para wanita yang sedang kesepian itu menawarkanku untuk minum dan joget bersamanya, yang kemudian hanya kubalas dengan gelengan kepala.

     Dua puluh menit berlalu, akhirnya aku berhasil menemukan kamu. Kamu sedang duduk seorang diri, memesan segelas vodka pada bartender dan meneguknya dengan sangat cepat. Meminta tambah lagi jika merasa kurang.

     Aku sungguh tidak sanggup melihat kamu yang saat ini terlihat sangat begitu rapuh. Saat aku ingin menghampiri kamu, tiba-tiba seorang pria datang dan membisikkan sesuatu ke telingamu. Kemudian kamu mengangguk, lalu pergi bersama pria itu.

     Aku tahu kemana pria itu akan membawa kamu, maka aku memutuskan untuk mengikuti dari belakang. Dan dugaanku benar. Pria itu akan membawa kamu ke sebuah kamar yang ada di lantai atas. Tanpa babibu lagi, aku segera menarik pergelangan tanganmu lalu mendorong pria itu hingga terjatuh.

     "Siapa kamu?!" Aku tidak langsung menjawab pertanyaan kamu, melainkan langsung menggendong dan membawa kamu ke dalam mobilku. Sepanjang perjalanan kamu terus berteriak dan meminta agar diturunkan. Saat sudah di dalam mobil, kamu langsung menamparku. Kamu diam sejenak dan menatap wajahku, seperti menyadari sesuatu. "Rama?"

     Aku menoleh dan menatap wajahmu, kemudian dengan perlahan aku mengangguk. Air mata langsung mengalir deras di pipimu. Suara tangismu terdengar begitu pilu, membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa iba.

     Jemariku terangkat hendak mengusap butiran kristal yang mengalir di pipimu. "Kamu telah melanggar janjimu sendiri untuk tumbuh menjadi gadis yang kuat, Shinta. Apa yang membuat kamu jadi seperti ini?"

     "Aku minta maaf, Rama. Aku merasa sangat terpukul ketika mengetahui semua yang dikatakan oleh teman-teman bahwa aku adalah anak pungut ternyata benar. Aku telah mendengar semua pengakuan dari orangtua angkatku sendiri. Maka aku memutuskan pergi ke tempat ini untuk melampiaskan semua emosiku. Bahkan aku juga berencana untuk mengakhiri hidupku di tempat ini pula."

     "Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Shinta. Perjalanan hidup kamu masih panjang. Aku akan menemani kamu jika ingin mencari tahu keberadaan orangtua kandungmu sampai berhasil. Mulai saat ini, aku juga berjanji akan selalu menjaga kamu sampai akhir hidupku. Dan berjanjilah untukku, tidak ada kali kedua kejadian seperti ini lagi, ini yang terakhir."

     Aku menatap matamu lamat-lamat. Memegang erat tanganmu seakan memberikan kepercayaan terhadap janjiku. Satu menit menunggu, akhirnya kamu mengangguk. Setelahnya aku langsung memeluk kamu erat, seakan tidak mau dilepas.

Shinta, mungkin Tuhan menakdirkan kita pada pertemuan kedua terbilang buruk. Tetapi, doa yang kusematkan dalam tangkupan tangan Tuhan telah didengar-Nya. Dan aku sangat bersyukur pada Tuhan yang telah mempertemukan kita kembali.

Jakarta, 21 Oktober 2016 [01:32]

Cerita Pendek - Separuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang