Tak ada yang tahu pasti apa yang ada di dalam kepala anak-anak yang ditinggalkan, mungkin mereka sedang mencari-cari alasan sekedar untuk dihargai oleh diri mereka sendiri. Saat otak mereka bekerja dan menemukan rasa malu- perasaan itu jelas tidak boleh ada. Setidaknya mereka tidak boleh merasa malu pada diri mereka sendiri.
Apapun yang terjadi di masa lalu, di masa mendatang, bahkan di masa sekarang- mereka harus mencintai diri mereka apa adanya.
Karena saat dunia membakar mereka seperti ilalang di lahan gambut, melenyapkan mereka diam-diam dengan biaya murah, hanya untuk menggantikan keberadaan mereka dengan pepohonan sawit dengan harga selangit. Mereka, para ilalang itu- akan tetap tumbuh. Banyak kalangan memiliki stigma buruk akan gulma, tapi beberapa mengerti konsep manfaat dibalik setiap keburukan.
Bahkan gulma si perusak pun bisa sedikit berguna untuk mengobati orang-orang yang kesakitan, seburuk apapun keadaan Anna Fisherman, ia harus menyelamatkan anak perempuan itu di dadanya.
"Nila, aku tak punya rumah." Anna Fisherman berjongkok mengelus ujung-ujung helai rambut Nila yang berdiri di sekitar ubun-ubunnya.
"Benarkah?" mata hijau Nila berkilau menatap Anna Fisherman lekat-lekat. "Aku suka tak punya rumah." jawabnya tersenyum sumringah.
"Kau tak suka karena ada wanita itu disana." serunya sembari mendesah menekan punggungnya di atas dinding. "Kau tahu Nila?" tanya Anna Fisherman. "Aku suka rumah. Dan kita membutuhkannya sekarang."
"Hmmm... untuk apa?" dahi Nila mengernyit tak mengerti.
"Agar aku bisa mengobati lebam-lebam keunguan di punggungmu, aku juga bisa menjahit gaun putihmu yang robek, bagaimana?" tanya Anna Fisherman. "Kau mulai sedikit menyukai rumah, Nila?"
"Hmmm, entahlah... jadi maksudmu tanganku tak perlu memegang bandul di gaun ini lagi?"
"Iya, kau bisa lakukan apa saja di rumah kita nanti."
"Apa saja?"
"Tentu! Apa saja."
"Apapun seperti bernyanyi keras-keras, menari dan berlari, atau menggambar wajahmu di dinding?"
"Ya ampun! Wanita itu pasti melarangmu melakukannya yah," jantung Anna Fisherman seperti arang yang meletup-letup di perapian, ia tak pernah semarah ini. "Nila dengar! Kau bisa lakukan apapun yang wanita itu katakan tak boleh kau lakukan, mengerti?"
"Aku suka rumah sekarang, Anna."
Untuk saat ini, Anna Fisherman memutuskan untuk bermalam di teras sebuah pertokoan di jalanan kota Minks. Jalanan terlalu becek untuk berjalan lebih jauh lagi, ia berharap hujan yang menggantikan gerimis menghapus jejak-jejak yang ia tinggalkan dibelakang, agar wanita yang berteriak beberapa jam lalu tak akan muncul di jalanan Minks yang dingin dan kelabu.
Mata Anna Fisherman sudah terasa berat, suara dengkuran Nila yang lembut di pangkuannya sedikit mengganggunya, matanya menutup beberapa lama, lalu menatap hampa ke arah jalanan yang basah kembali, berkali-kali hingga saat mata cokelatnya membuka setelah sekian kalinya, bukan jalanan basah lagi yang mengecil di atas kedua lensa cokelatnya.
Melainkan seorang lelaki yang ia yakini sebaya dengannya. Lelaki itu berlari kecil menghindari hujan, rambut cokelatnya nyaris sehitam aspal tersiram hujan, celana jins ketatnya digulung paksa ke atas, jaket parasut biru yang ia kenakan sangat familiar, sepatu kets yang ia jinjing di kanan dan kiri lengannya mirip milik seseorang yang pernah meminjami Anna Fisherman beberapa hari yang lalu, karena saat itu Serena Yawkin melempar sebelah sepatunya ke atap tertinggi di sekolahnya.
Tidak mungkin. Tidak akan mungkin seorang Edmund Fallon sedang berlarian di jalanan kota Minks selarut ini. Edmund Fallon tidak tinggal di dekat jalanan sebelah sini, rumahnya terlalu jauh hingga ia terjebak di jalanan penuh bau tanah basah menggulung di udara, Edmund Fallon seorang pria sempurna yang digilai seluruh wanita disekolahnya, Edmund Fallon seorang anak dari keluarga Fallon yang kaya raya, Edmund Fallon bukan seseorang yang akan datang pada anak perempuan bernama Anna Fisherman, dan seorang Edmund Fallon tidak akan mungkin berdiri dihadapan Anna Fisherman semanis itu.
Justru itulah, Anna Fisherman membentuk tinju dan mulai menggosok-gosokkannya di kedua matanya. Demi guntur! Dia benar-benar Edmund Fallon. Lelaki yang Anna Fisherman sukai, mungkin saat Nila masih terlilit plasenta di rahim ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjelajah Masa Lalu
RomanceAnna Fisherman seharusnya tak pernah menggendong punggung mungil keunguan itu di dadanya. Edmund Fallon tak seharusnya membuat janji yang semula ia pikir mudah untuk ditepati. Malam itu di jalanan Minks yang basah. Ada sesuatu yang magis merasuki t...