1. Coming Late

70 10 6
                                    



Nandya berjalan mondar-mandir sambil sesekali melihat jam tangannya. Hari ini Nandya bisa saja telat masuk sekolah karena mobil yang kakaknya kendarai mogok di tengah jalanan macet Ibukota.

"Duh kak, gue pasti telat nih", kata Nandya gusar seraya menyamai langkah dengan kakaknya.

"Sama gue juga!! Mana dosen gue killer hari ini.. gimana dong??", Shera menggaruk kepalanya. Berpikir gimana caranya agar bisa masuk kuliah tanpa harus ketinggalan absen. Apalagi hari ini mata kuliah jurusan yang gak bisa di lewati gitu aja cuma karena macet dan mogok.

"Gini aja deh. Mobilnya taroh disini aja ntar biar Pak Juno yang ambil", kata Nandya seenaknya. Ya gapapa kalo Pak Juno—supir Ibu udah sampe rumah. Kalo belum? Kacau urusannya.

"Yakali gila lo ah! Bisa di omelin Papa tau!!", seru Kak Shera tanda tidak setuju dengan ide adiknya yang mulai putus asa.

Lalu mereka berdua hening. Nggak tau lagi harus berbuat apa. Jalanan macet, bengkel gak ada yang bisa dijangkau, ponsel Nandya ketinggalan di rumah, dan kak Shera gak punya pulsa. Lengkap.

Nandya berpikir keras gimana caranya dia harus sampai ke sekolah. Tanpa harus melewati rapat pagi klub teater karena sebentar lagi akan ada event besar disekolahnya. Nandya itu ketua klub teater, jadi ia mengurus dari A sampai Z masalah pementasan nanti. Ditambah lagi ia yang menyuruh anggota klub teater untuk datang lebih pagi buat rapat. Masa Nandya sendiri yang telat? atau parahnya tidak hadir sama sekali.

Entah ada angin apa, tiba-tiba Nandya melihat seseorang naik motor sendirian dengan seragam SMA Pavilun. Seorang cowok.

"Eh kak, ada anak Pavilun tuh! Gue bareng dia aja kali ya?? Bye kak Sher!!", tanpa pikir panjang Nandya menghampiri siswa SMA Pavilun yang ia lihat. Motornya terhenti beberapa meter di depan mobil kak Shera karena jalanan yang masih tersendat. Kak Shera hanya bisa diam melihat adiknya yang sudah menemukan cara pergi ke sekolah dan tinggal ia sendirian dengan mobil malangnya itu. Nandya berlari kecil lalu menepuk pundak si-empunya motor.

"Anak SMA Pavilun kan??"

Cowok itu membuka kaca helmnya dan wajahnya terlihat bingung dan agak kaget. "Iya, kenapa??"

"Gue boleh bareng gak? Soalnya mobil gue mogok dan gue gatau harus gimana dan bentar lagi masuk dan gue ada rapat teater, terus—"

"Yaudah naik aja", jawab cowok itu tanpa peduli kalau mereka belum saling mengenal. Yang penting, identitas cewek itu jelas alias satu sekolah.

"Bener nih??", Nandya memastikan. "Iya..", cowok itu mengangguk dan diikuti Nandya yang duduk di jok motor. Dari belakang, Nandya bisa menghirup aroma khas dari jaket cowok itu. Ia seperti baru mandi 10 menit yang lalu.

Ketika lampu merah berganti hijau, motor itu melaju menuju ke SMA Pavilun. Dengan cepat, Nandya dan cowok sang penyelamat sampai di sekolah. Saat motor yang Nandya tumpangi melewati pintu gerbang sekolah, beberapa pasang mata memerhatikan Nandya dengan tatapan dengan—siapa—Nandya—datang karena tidak biasanya Nandya berangkat naik motor. Apalagi dibonceng dengan cowok.

"Kelas 11 juga ya?", tanya Nandya saat motor itu diparkir di deretan motor-motor anak kelas 11 lainnya. Nandya turun dari motor dan berpegangan pada pundak si cowok kemudian melepas helm dari kepalanya.

Cowok itu mengangguk dan mengambil helm yang sudah dilepas Nandya. Rambut gelombang coklatnya yang tadinya tertata rapi sekarang jadi berantakan karena angin dan helm, "Iya, gue kelas 11 IPA 1."

"Oh anak ipa 1, gue Nandya..11 IPS 2", kata Nandya menjulurkan tangannya.

Menjabat tangan Nandya, cowok itu menjawab "Gue Aga. Gausah ngenalin diri lagi, Nan, semua orang tau lo kok", Aga tersenyum dan berjalan meninggalkan parkiran. Begitu juga Nandya.

When I Met YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang