Merpati Putih di Milan

280 27 5
                                    

   Rintik hujan terdengar nyaring seakan tak pernah mau berhenti. Petir pun saling bersahutan hingga sinarnya terlihat membelah langit malam yang begitu dingin. Seorang gadis kecil meringkuk kedinginan di dalam sebuah kamar apartemen yang luas. Tubuhnya menggigil dan terbungkus selimut tebal, rambutnya terurai acak-acakan dan wajah manisnya pucat pasi. Tak sampai disitu saja, ia pun kini menangis karena sambaran kilat kini membentur jendela kamarnya yang terbuat dari kaca. Ia berteriak namun tak seorang pun yang dapat mendengar maupun menolongnya.
“Ibu..., Ibu... tolong aku. Aku ingin pulang”, gadis itu bergumam lirih.

                                                                                                                         ***
Sudah satu tahun sejak Virae mendaratkan kakinya di Bandara Leonardo Da Vinci, kini telah dua semester Virae menjalani study nya di salah satu kota besar di Milan, Italia.
Virae, gadis cantik asli Indonesia yang mempunyai dua lesung pipi di wajahnya, sekaligus di anugrahi tubuh tinggi semampai serta gigi gingsul dan kulit eksotis ini terlihat sangat manis. Kacamata fashionable yang bertengger di hidungnya yang mancung pun memberi kesan pintar dan berkelas bagi dirinya. Disini ia memutuskan mengambil jurusan fashion designer di salah satu sekolah fashion di Milan. Ya, Milan. Sebuah kota di Eropa, kota yang penuh cinta, kota yang mempunyai aura magis dan romantis. Kota yang mengingatkan Virae pada mimpi-mimpinya, pada kebahagiaan 'happily ever after' yang selalu didambakan dan dipercayainya.
Berbagai sudut kota ini telah habis dijelajahinya selama hampir setahun ini, dan ia selalu merasa puas setelahnya. Tiba-tiba sudut matanya menangkap pemandangan yang begitu menarik. Virae melihat seorang bapak tua sedang melukis di pinggir tempat wisata yang ia kunjungi. Dengan jari-jari keriput dan rentanya, bapak itu masih bersemangat untuk terus melukis. Lukisan nya pun terbilang sangat bagus, peradaban di kota ini tentang arsitektur dan kesenian sungguh dijunjung tinggi, hingga membuat bulu kuduk Virae merinding.
Namun sekali lagi mata nya menangkap sesuatu. Sebuah lukisan dua ekor burung merpati. Ia pun penasaran dengan lukisan yang menurutnya sangat unik dan bagus itu.

“Maaf, apakah arti dari lukisan ini ya, Pak?”, tanya Virae
“Itu adalah simbol keabadian, kasih sayang dan kedamaian. Anda tertarik? Harganya sepuluh juta.”
“Hah? Tidak jadi deh, Pak. Terimakasih.”, ternyata bapak itu mengerti bahasa Indonesia pikirnya.

Virae menghela nafas. Lukisan itu benar-benar membuatnya jatuh cinta. Lukisan yang dituangkan menggunakan cat dan kanvas minyak itu pun benar-benar terasa hidup dan memberi sebuah harapan bagi siapapun yang melihatnya. Tak terkecuali Virae.

“Tapi, sepertinya anda adalah turis? Saya akan beri anda potongan harga. Saya turunkan menjadi tujuh puluh persen diskon. Anda cukup membelinya seharga tiga juta. Tetapi dengan satu syarat.”

Virae hanya bisa terkejut mendengarnya.

“Apa benar? Apa itu syaratnya?”
“Saya serius. Syaratnya, tolong bantu istri saya, sempurnakan doa untuk mendiang istri saya yang meninggal tahun lalu karena terkena kanker. Nama istri saya Kyra Wijaya, ia orang Indonesia. Dan juga, jika anda menjadi seseorang yang bisa muncul di televisi, saya titip pesan untuk cucu saya yang berada di Indonesia dan anak saya yang berada di Verona. Saya sudah terlalu renta untuk mencari nya seorang diri. Ia anak saya satu-satunya tetapi ia sangat sibuk sehingga jarang sekali mengabari saya.”, mata pria tua itu terlihat berkaca-kaca.

Virae kembali tertegun. Betapa malangnya pria renta ini. ‘apa anaknya tidak pernah memikirkannya? begitu pikirnya. Kini ia jadi teringat kedua orang tuanya di Indonesia dan ia berinisiatif untuk menelepon mereka sehabis ini.

“Bagaimana, Nak? Anda setuju?”
“Ah... ya, tentu saja, Pak. Saya akan menolong bapak sebisa mungkin. Pantas saja sejak tadi saya heran mengapa bapak bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia, ternyata keluarga anda juga ada yang orang Indonesia, hahaha...”
“Ya, meskipun saya orang Milan, tetapi saya suka sekali orang Indonesia.” Ia pun tertawa sambil memperlihatkan gigi nya yang telah tanggal beberapa buah.
“Saya ambil lukisan ini ya, Pak? Maaf, saya tidak bisa membelinya dengan harga sepuluh juta. Saya hanya seorang pelajar jadi saya tidak bisa membayarnya sebanyak itu.”
“Tidak apa-apa, Nak. Tadi kan, saya sudah bilang. Anda bisa membelinya dengan harga tiga juta saja.”
“Sekali lagi terimakasih ya, Pak. Grazie.”

        Ia membayar lukisan itu dan senyum bahagia pun terpancar di wajahnya. Namun, ia masih teringat cerita kakek tadi. Sungguh malang, dan hari ini ia pun mengucapkan kata syukur yang sedalam-dalamnya karena diberikan keluarga yang peduli dengan dirinya yang bahkan selalu menelepon dirinya setiap lima jam sekali.
Hari ini ia tidak ada kelas sehingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan disekitar bangunan-bangunan bersejarah di Milan. Ia mulai dengan mengambil beberapa foto selfie dan membaca ilmu PPKN dari gadget nya agar ia tidak melupakan hukum dan tata krama di tanah kelahirannya, Indonesia. Meski gaya nya terkesan sangat modern, namun jiwa nasionalisme nya sangat tinggi, ia bahkan pernah mengikuti seminar tentang ilmu dan hukum Indonesia di Milan. Dulu cita-citanya adalah menjadi duta besar di salah satu negara di Eropa, namun ia sadar bahwa untuk masuk jurusan HI di salah satu Universitas tersohor di Indonesia ia harus berebut dengan banyak orang, dan saat itu, ia juga mendapat beasiswa dan berhasil diterima di University of fashion di Milan. Virae tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Disinilah ia akhirnya, di negeri yang jauh dari kampung halaman, di negeri orang yang begitu bebas dan bergaya hidup mewah, di Milan, Italia. Ia pun siap untuk merasakan sensasi hidup di negeri orang selama menjadi pelajar disini tentunya.

Merpati Putih di MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang