Angklung Edition

136 21 2
                                    

Setelah beberapa menit mengamati gadget nya, akhirnya ia menemukan satu kenyataan. Ternyata Indonesia tidak banyak berubah. Ya, tidak ada yang berubah selain habisnya lahan di Indonesia untuk kepentingan pihak-pihak asing maupun para pejabat negara. Virae mengerucutkan bibirnya, tangannya mulai meraba-raba dagunya yang lancip khas orang asia. Ia sedang berpikir.

"Andai aku kuliah di Indonesia, aku pasti bisa lihat sendiri bagaimana kejadian-kejadian ini terjadi.", ia bergumam sendiri dengan posisi yang masih sama seperti tadi.

Setelah berpikir cukup lama, akhirnya ia pun menutup gadget nya dan melanjutkan niatnya tadi saat berjalan-jalan disekitar sini. Seorang pria melambaikan tangannya dari kejauhan. Ia nampak tampan dengan menggunakan syal berwarna biru tua ditambah jaket parka berwarna hitam yang senada dengan celananya. Sepatu pantofel pun tak lupa dipakainya. Pria itu berjalan mendekat ke arah Virae. Setelah mereka berdampingan, baju mereka tampak kontras sekali. Disisi sebelah kanan ada Virae yang memakai baju berwarna cerah sekali, sedang disisi
kirinya ada si Pria berbusana serba kelabu.

"Hai Mathew! Akhirnya kita bertemu juga, ya?"
"Ya Virae! Sudah lama sekali tidak berjumpa dengan kamu."

Mathew pun memeluk Virae hangat sebagai ucapan selamat datang pada sahabatnya itu.

"Lama apanya? Kita hanya tidak berjumpa selama enam bulan sejak kamu pergi untuk menemani ibumu di Indonesia hahaha..... ohya, bagaimana kondisi ibumu sekarang?"
"Bagiku itu waktu yang lama untuk tidak melihatmu dan dijahili olehmu, Virae. Ya, ibuku sekarang sudah lebih baik dari kondisi terakhir nya."
"Syukurlah, aku sangat bahagia mendengarnya Mathew!"
"Terimakasih, ya. Nah, mumpung kamu ada disini dan kelihatannya sedang free, bagaimana kalau sekarang kita pergi ke Verona? Ada acara festival dan seminar kebudayaan. Acaranya sudah mau dimulai beberapa jam lagi. Kalau kamu tidak lupa, Verona itu lumayan jauh dari sini loh Vir."
"Baiklah."

Tentu ia masih ingat perjalanan terakhirnya kemarin ke Verona, kota kelahiran dan berkembangnya kisah romantis Romeo dan Juliet karya William Shakespeare sehingga ia pun mengikuti saran yang diberikan Mathew. Dua sahabat itu pun berlari kecil untuk mencari bus yang dapat mengantar mereka ke Verona. Mereka akan menghadiri festival dan seminar tentang kebudayaan Indonesia disana. Berbekal sepatu butut dan informasi yang telah di dapatnya tentang Indonesia, Virae melangkahkan kakinya dengan percaya diri.
Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang dan memakan waku hampir tiga jam, akhirnya Virae dan Mathew pun sampai di Verona. Mereka langsung mengambil GPS yang ada di handphone mereka. Ternyata tempat seminar kebudayaan itu tidak jauh dari tempat mereka berdiri sehingga mereka memutuskan untuk berjalan kaki saja.

"Kali ini budaya Indonesia yang mana ya kira-kira yang akan di bahas?", rasa penasaran Virae mulai keluar.
"Aku lihat kemarin dari brosur sih, akan membahas tentang kesenian angklung, kalau tidak salah kesenian itu kesenian musik dari Jawa Barat ya, Vir?"
"Wah angklung! Iya Math, kesenian dari daerahku! Hebat kan?", Virae pun berlagak sombong di hadapan Mathew.
"Milan juga banyak kesenian keren kok, Vir!", ucap Mathew tak mau kalah.
"Tapi di Milan gak ada angklung Math. Indonesia punya tuh dan gak bisa di klaim oleh negara m-a-n-a-p-u-n!", Virae mengatakannya sambil mengeja kata 'manapun' dengan keras.
Mathew hanya bisa tertawa melihat bagaimana keras kepalanya seorang Virae Tanjung.
Akhirnya mereka tiba di depan pintu Casa di Giulietta atau yang sering disebut rumah dari Juliet. Seminar kesenian itu sengaja diadakan disini agar lebih banyak menarik pengunjung. Virae sekali lagi dibuat jatuh cinta oleh salah satu kota di Eropa ini. Berulang kali ia mengucapkan kata 'wow' dan 'wah' pada setiap bangunan yang dilewatinya seakan-akan bangunan itu akan mendengar pujian dari Virae.
Pintu masuk Casa di Giulietta sudah penuh oleh lautan manusia yang kebanyakan berwajah asia seperti Virae. Mereka ada yang hadir sendirian, dengan keluarga, kekasih dan juga sahabat seperti Virae dan Mathew. Virae memegang jaket Mathew dengan erat, ia takut kalau-kalau nanti ia terpisah dengan Math dan tersasar di Verona. Itu sangat tidak lucu pikir Virae. Setelah berjuang cukup keras, akhirnya mereka dapat duduk di posisi paling depan.

"Kalau begini terus setiap ada seminar kebudayaan, lain kali aku harus bawa tabung oksigen deh sepertinya. Ini membuatku capek dan sesak.", ungkap Virae terang-terangan sambil mengelap keringat di dahinya.
"Masa baru segini sudah lelah? Hahaha"
"Eh, Math, jangan meragukan aku ya. Aku masih kuat kok, cuma sedikit sesak saja."
Lima belas menit kemudian seminar sekaligus unjuk kebudayaan itu pun dimulai. Dua sahabat itu terlihat sangat menikmati pertunjukkan yang di suguhkan tersebut.
"Ya, sekarang kami akan mengajak salah satu dari penonton untuk mencoba memainkan angklung. Mungkin wanita cantik yang ada disana, yang memakai baju berwarna merah bisa bergabung dengan kami disini!"
Wanita yang ditunjuk tadi ternyata Virae. Ia hanya melongo ketika namanya di panggil.
"Hah? Aku? Aku?", ia berkata berulang-ulang untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Iya Vir, beruntung banget kamu. Udah cepetan maju, gih!", Mathew pun menarik Virae agar maju mendekat ke arah panggung.
Virae yang ditarik tangan nya hanya bisa mengikuti Mathew.
Disinilah ia akhirnya. Di atas panggung di Casa di Giulietta, Verona. Ia berdiri dengan memegang angklung yang tadi pagi dibangga-banggakannya kepada Mathew. Disaksikan oleh ribuan orang yang memenuhi Casa di Giulietta. Jantungnya berdetak sangat kencang, keringat dingin menjalari tubuhnya. Takdirnya lah yang membawa nya kesini, saat ini. Ia menutup matanya untuk menenangkan dirinya sendiri.

'Tak apa Virae. Kamu pernah main angklung waktu di SMA dulu.', ia berbisik di dalam hati. Ia masih menutup matanya untuk mengingat kira-kira lagu apa yang dapat dimainkannya dan yang masih mampu dia ingat sampai saat ini. Penonton hening menunggu apa yang akan dilakukan Virae diatas sana. Tiba-tiba satu suara getaran angklung memecah kesunyian yang baru saja terjadi. Virae berhasil mencapai nada pertama dari lagu yang akan dia mainkan. Ia pun melanjutkan lagu khas dari daerah Jawa Barat, apalagi kalau bukan Manuk dadali. Virae mulai percaya diri untuk memainkannya. Hatinya sungguh bahagia. Ia dapat memperkenalkan alat musik dan lagu asli Indonesia, dari tanah kelahiran yang sangat ia cintai. Beberapa menit kemudian lagu pun berhenti. Hening sejenak. Kemudian, suara tepuk tangan riuh rendah menggema di Casa di Giulietta. Ia tersenyum puas. Ini adalah sore yang begitu hangat bagi hati Virae.

Merpati Putih di MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang