Kabar Untuk Virae

115 21 1
                                    

     Makan malam kali ini terasa berbeda untuk Virae dan Mathew. Sepulangnya dari Casa di Giulietta mereka menyantap makan malam di sebuah restoran bintang lima. Wajah Virae berseri-seri sejak tadi. Ia masih membayangkan betapa keren dirinya saat bermain angklung tadi.

“Vir, kamu kenapa dari senyum-senyum terus?”
“Hah? Oh, tidak apa-apa kok, Math. Aku hanya masih tidak percaya tadi aku bisa memainkan angklung yang aku banggakan itu.”

Senyum manis menghiasi wajahnya yang manis itu. Aura Virae benar-benar keluar malam ini, wajahnya yang tertimpa cahaya lampu dan berseri bagaikan kecantikan yang bahkan mengalahkan bulan yang sedang menatap mereka dari luar kaca restoran. Mathew pun terperangkap olehnya tanpa sepengetahuan Virae.

   Tak terasa sudah hampir empat tahun Virae menginjakkan kakinya di negeri fashion tesebut. Sudah hampir dekat pula kelulusannya di University of Milan. Namun, musibah datang ke dunia kecilnya yang sebelumnya berlangsung damai.

Vir, sepertinya kamu harus pulang ke Indonesia tahun ini. Ayahmu terkena stroke, nak. Usahanya pun bangkrut karena kami tidak dapat memuaskan para konsumen.”
“Apa? Tapi Bu, aku sudah hampir lulus disini. Tinggal tiga bulan waktuku menunggu wisuda. Kenapa ayah bisa terkena stroke?”
“Ibu pun tidak tahu. Tapi nak, ibu dan ayah sudah tidak mampu mengirim uang saku untuk biaya hidupmu disana bahkan untuk satu bulan yang akan datang! Pulanglah nak, untuk apa lagi kamu disana? Toh pulang-pulang ke Indonesia kamu bakal jadi tukang jahit juga!”
“Mengapa ibu bisa berpikir begitu? Aku disini dapat beasiswa dan aku sudah menjalani empat tahun belajar disini, tapi kenapa ibu tidak menghargai itu semua? Aku bahkan tidak pernah membuat masalah disini. Tidak bisakah ayah dan ibu juga berusaha disana untuk tiga bulan saja? Aku akan membuktikan pada kalian kalau aku, anak yang ayah dan ibu ragukan juga bisa sukses dan bahkan lulus cum laude. Semoga ayah cepat sembuh.”
Virae pun meutup teleponnya dan menangis sejadi-jadinya, meratapi takdir yang enggan berbuat baik kepadanya.

Malam itu begitu kelam dalam ingatannya. Lagi-lagi bulir bening itu jatuh membasahi pipinya yang eksotis. Ia pun belajar dan bekerja sambilan mati-matian untuk segera menuntaskan studinya. Ia bekerja di sebuah boutique kecil di tengah kota Milan.
Buongiorno~ Virae. Kamu sedang apa?”, tanya seorang Madame pada Virae yang tengah asik menggambar.
Buongiorno Madame. Saya hanya sedang menggambar baju.”
“boleh saya lihat?”

Virae pun dengan ragu-ragu menyerahkan hasil gambarnya kepada wanita berbadan langsing itu.

Oh My Gosh! Gambarmu bagus sekali! Ini dapat dijual kepada orang-orang!”
“ah, Madame bisa saja. Itu hanya gambar yang sederhana.”
“Apa kamu siswa di University Fashion of Milan?”
“Ya, bagaimana Madame bisa tahu?”
“Terlihat dari gaya dan gambarmu ini!”

Sudut bibirnya terangkat ke atas perlahan. Wajahnya menjadi merah karena senang dan sedikit malu.

“Bagaimana kalau saya merekomendasikan kamu pada teman saya? Saya rasa bakat kamu sungguh luar biasa dan patut untuk di kembangkan!”
“Terimakasih, tetapi saya rasa anda berlebihan. Gambar saya masih jauh dari kata sempurna. Tetapi kalau anda memaksa boleh juga. Hehehe.”
“Sudah saya duga. Baiklah nanti akan saya kabari lagi, ya. Selamat bekerja kembali.”
“Baik, Madam.”

Virae melamun untuk sejenak. Sedetik kemudian ia pun loncat kegirangan. Ternyata Tuhan masih berkenan menolong nasibnya. Tetapi entah mengapa hatinya sedikit ragu.

     Virae sedang terduduk di kursi di dalam apartemennya di Milan. Ia membuka e-mail yang baru saja ia terima. Ia terkejut bahwa ternyata Madame pemilik boutique itu benar-benar menepati perkataannya. Dan luar biasa nya lagi, temannya setuju dan meminta Virae untuk segera datang ke kediamannya. Ia pun membaca alamat yang diberikan kepadanya.

“Italy Corso di Porta Romana, 108 20123 Milano, Italy.”

Virae pun terdiam dengan posisi andalannya, yaitu mengelus dagu. Ia mencoba berpikir dan mencoba mengingat-ingat alamat itu. Akhirnya ia pun tersadar.

“Hah?! Ini kan alamat kedutaan Indonesia di Italy! Aku akan menanyakan nya kembali, barangkali ia salah ketik.”

Virae pun mengirim balasan pada alamat e-mail itu, dan ia mencoba bertanya kembali tentang alamat yang diberikan. Lima menit kemudian e-mail balasan itu pun sampai kepada Virae. Ia mencoba membacanya sekali lagi.

“Italy Corso di Porta Romana, 108 20123 Milano, Italy.”, Virae membacanya tidak percaya.

Tidak lama e-mail balasan susulan pun datang. Virae terkejut kembali. Ternyata tempat itu memang kedutaan Indonesia di Italy. Lagi-lagi hatinya merasa ragu, untuk apa ia dipanggil kesana.

Merpati Putih di MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang