Takdir atau kata hati?

158 22 3
                                    

     Keesokan harinya ia pun datang ke kedutaan tersebut. Dengan senyum yang lebar Virae melangkahkan kakinya dengan percaya diri.
“Selamat siang, Virae.”
“Selamat siang. Ada perlu apa saya dipanggil kesini?”
“Saya sudah melihat gambar anda kemarin dari Madam Pomfrey. Saya sangat tertarik pada gambar desain tersebut. Apa anda membawa baju karya anda sendiri?”
“Ya. Saya membawanya. Ini baju karya saya.”

Virae pun memberikan baju indah tersebut pada istri dari Duta Besar itu. Ia terlihat puas melihat baju tersebut. Senyuman puas terlihat dengan jelas membuat hati Virae berdetak cepat. Tangannya sudah basah oleh keringat.

“Bagus. Saya rasa saya dapat mempekerjakanmu disini.”
“Benarkah?”, Virae melotot tak percaya.
“Dengan satu syarat. Saya ingin anda tetap di Milan, karena pekerjaan ini hanya untuk orang-orang yang bersedia menetap.”
“Maksud anda?”, Virae mempunyai firasat buruk tentang ini.
“Saya ingin anda profesional. Syaratnya anda harus melepas kewarganegaraan anda dan menggantinya dengan kewarganegaraan Italy. Jika anda ingin tahu alasannya, akan saya jelaskan. Pertama, saya harus memiliki fashion designer resmi dan berkewarganegaraan Italy, kedua, saya tidak ingin anda repot-repot memperpanjang visa mu untuk menetap disini.”

Virae sungguh terkejut mendengarnya.

“Apa tidak ada syarat lain saja Nyonya?”, Virae berkata sambil menahan tangisnya.
“Tidak ada. Tapi anda tenang saja. Keluarga anda di Indonesia akan sangat terbantu. Saya akan memberikan anda gaji sebesar enam milyar, dalam satu tahun.”

Virae mematung mendengarnya. matanya sudah berkaca-kaca. Ia pun menggigit bibir bawahnya menahan tangis.

"Saya... saya akan memikirkannya terlebih dahulu. Terimakasih. saya mohon pamit dulu nyonya."

Virae pun meninggalkan kantor megah itu dengan perasaan yang berkecamuk di hatinya. ia kembali menyusut air mata yang terus mendesak keluar dari matanya. Ia tak tahu mana yang harus ia pilih. Di satu sisi ia sedang sangat butuh banyak uang dan disisi yang lain ia enggan untuk melepas jati dirinya, kewarganegaraan nya begitu saja.
Malam pun datang menjelang, sunyi menyusup kedalam kamar seorang Virae Tanjung. Bunyi telepon terus menggema membuat suasana semakin suram di apartemen Virae.
     Rintik hujan terdengar nyaring seakan tak pernah mau berhenti. Petir pun saling bersahutan hingga sinarnya terlihat membelah langit malam yang begitu dingin. Seorang gadis kecil meringkuk kedinginan di dalam sebuah kamar apartemen yang luas. Tubuhnya menggigil dan terbungkus selimut tebal, rambutnya terurai acak-acakan dan wajah manisnya pucat pasi. Tak sampai disitu saja, ia pun kini menangis karena sambaran kilat kini membentur jendela kamarnya yang terbuat dari kaca. Ia berteriak namun tak seorang pun yang dapat mendengar maupun menolongnya.

“Ibu..., Ibu... tolong aku. Aku ingin pulang”, gadis itu bergumam lirih.

Gadis itu Virae. ia terlihat sangat depresi. Hal yang selama ini ia khawatirkan ternyata terjadi juga. Mungkin benar kata orang tuanya. jika saja saat itu ia menuruti permintaan ibunya, mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. ia hanya dapat menghabiskan malam yang dingin itu dengan meringkuk di balik selimutnya.
Pintu kamarnya terbuka, suara langkah kaki menggema di apartemen Virae. Dilihatnya Mathew di bawah sinar rembulan, yang masuk dari celah-celah jendelanya. Ia tak yakin dengan apa yang dilihatnya sampai akhirnya ia jatuh pingsan.
    Pagi itu Virae terbangun dan ia telah berada di sebuah kamar rumah sakit. Ia melihat Mathew yang sedang berbincang dengan seorang suster disana.

"Mathew? apa yang terjadi?"
"Kamu sudah sadar? ah, syukurlah. Kamu tidak ingat kejadian semalam?"
"Tidak. Aku hanya ingat malam itu sangat gelap dan banyak suara petir."
"Kamu pingsan, Virae. Aku sangat khawatir. Tapi aku lega kamu tidak apa-apa. Kamu harus segera menghubungi kedua orang tuamu."
"Jangan! aku... aku telah berjanji pada diriku. Aku tidak akan menelepon mereka sampai aku bisa membuktikan aku bisa menjadi orang yang sukses dan mematahkan prasangka mereka."
"Jangan kekanakan Virae. Ayo telepon mereka."
"Tidak, Mathew Sanjaya."

Baru kali ini Virae menyebutnya dengan nama panjangnya.  Akhirnya ia mengalah. Mathew mendengar ada suara e-mail masuk dari laptop Virae. Ia pun membukanya setelah menerima izin dari Virae. Mathew tersenyum lebar.

"Virae, kamu dapat tawaran pekerjaan!"
"Kalau tawaran pekerjaan itu, ya baiklah sepertinya aku akan mengambilnya."
"Yang dari sebuah boutique terkenal di Indonesia?"
"Eh?"
"Yang itu, kan?"

Virae tidak menjawab, ia malah bangkit dari tempat tidurnya. Ia terkejut setengah mati.

"Wah, berapa gajinya?"
"Kamu langsung menanyakan gajinya?", Mathew menatap Virae tak percaya.
"Gajinya dua puluh lima juta perbulan. berarti setahun tiga ratus juta rupiah."
"Lumayan, tapi jauh dengan yang di Milan."
"Yang di Milan?"
"Iya. Enam milyar setahun."

Setelah percakapan dirumah sakit itu, Virae pergi ke kantor duta besar untuk menerima tawaran itu hingga ia mendapat pencerahan dari sebuah buku Odyssey yang menceritakan tentang perjalanannya mengelilingi dunia dengan tetap mempertahankan jati dirinya. Virae menitikkan air mata saat membacanya. Kini ia sadar. Ia telah keliru.

     Tiga tahun berlalu. Disinilah Virae sekarang. Di Milan, Italia. Dia bukan bekerja di kantor boutique dan fashion dari istri duta besar itu, tetapi ia menjadi wakil leader fashion designer dari Indonesia yang sedang ditugaskan di Milan, Italia. Setelah ia mengambil keputusan untuk bekerja di boutique terkenal di Indonesia, ia menerima kenyataan bahwa pemilik boutique tersebut adalah cucu dari Kakek yang ditemuinya saat di Milan. Sebagai rasa terimakasih dari sang cucu, ia mempekerjakan Virae dengan sangat baik. Virae pun mengemban amanat dengan baik sehingga ia meraih kesuksesannya dengan cepat. Sejak awal ia yakin bahwa lukisan dua ekor merpati tersebut memiliki kesan dan aura yang sangat kuat bagi dirinya. Kini, ia menjadi wanita karir yang sukses. Ia dapat memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial keluarganya. Semuanya begitu indah bagi Virae sekarang. Tekad dan kata hati nya lah yang membawanya sejauh ini. Semua ini Virae persembahkan untuk keluarganya, untuk Mathew sahabatnya, untuk kakek tua dan keluarganya dan yang pasti untuk negara tercintanya, Indonesia.

Merpati Putih di MilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang