Ardi kecil pernah bertanya pada Nenek, "Mama sama Papa sebenernya sayang sama Ardi nggak sih, Nek?"
Nenek mengelus kepala Ardi dengan sayang. Bagi wanita renta itu, Ardi kecil yang masih berusia tujuh tahun begitu menyedihkan. Dia kasihan, tapi apa lah daya yang dia miliki. Nenek cuma seorang wanita tua yang tinggal jauh dari kota, hidup tenang di rumah mungilnya, ditemani seekor maine-coon yang kelebihan berat badan.
"Mama sama Papa sayang kamu, kok." Nenek menjawab sebijaksana mungkin. Bagaimana bisa dia sanggup mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada bocah sekecil Ardi.
"Kalo gitu... Kenapa mereka bercerai, Nek?" Ardi bertanya dengan suara bergetar. Hidungnya merah. Dia mengerjap dengan lucu, walau pelupuk matanya dipenuhi air mata.
"Mereka..." Nenek tercekat. Bagaimana caranya dia menjelaskan pada Ardi yang definisi jatuh cinta saja dia masih belum tahu, masih meraba-raba. Cuma tahu kalau cinta itu sebatas cinta anak pada Ayah dan Ibunya atau Neneknya, pada keluarganya.
"Ardi nggak mau mereka cerai! Kenapa mereka minta Ardi milih salah satunya, Nek? A-apa nggak bisa mereka tetap tinggal aja kayak biasa? A-ardi janji, Ardi nggak bakal bandel lagi, Ardi b-bakal turutin..." Ardi kecil mulai sesenggukan. Air mata mengalir deras di pipinya yang gembil, "...se-semua kata-kata Mama sama Papa."
Nenek merengkuh tubuh Ardi kedalam pelukan.
Ardi kecil tidak seharusnya merasakan penderitaan semacam ini di usia begini muda. Seharusnya di usia ini, dia sedang tertawa, bermain sepuasnya bersama teman-temannya, mungkin juga belajar menaiki sepeda, main gundu atau kejar-kejaran. Dan yang pastinya dikelilingi kasih sayang utuh dari Papa dan Mamanya. Sayangnya, yang diterima Ardi kecil malah kabar perceraian orang tuanya.
Ardi masih terlalu kecil untuk menerima rasa pahit dunia.
Nenek ingin sekali membahagiakan Ardi, mengembalikan tawa polos milik cucunya. Tapi bagaimana dia sanggup saat kebahagian cucunya yang berusia tujuh tahun ini adalah orang tuanya sendiri. Papa dan Mamanya. Papa dan Mama yang justru memutuskan untuk bercerai setelah membina rumah tangga selama sepuluh tahun. Bahkan Nenek pun tidak bisa menghentikan keputusan anak-anaknya itu.
Kami sudah bulat pada keputusan ini, begitu kata mereka saat Nenek mendatangi pasangan itu, mencoba membujuk agar rujuk. Tapi sia-sia saja. Anak perempuannya—Ibu Ardi, mirip seperti Almarhum suaminya. Keras kepala. Sekali dia membuat keputusan, tidak ada seorang pun yang sanggup merayu untuk mengubah keputusan itu.
Jadi, malam itu Nenek membiarkan Ardi menangis sepuasnya.
"Menangislah, sayang, menangislah sepuasmu hari ini. Tapi, jangan pernah menangis lagi saat hari esok datang."
Paginya, Ardi bangun dengan mata bengkak. Dan Nenek sengaja memasakkan nasi goreng favorit Ardi. Untuk sejenak, Ardi bisa tersenyum. Khas anak kecil sebenarnya, disogok makanan langsung ceria.
Nenek tersenyum melihat Ardi yang berbinar-binar melihat nasi goreng dengan udang yang gemuk dan besar-besar.
Walau Nenek tetap tahu, itu hanya kebahagiaan sesaat karena kesedihan tetap ada didalam hati Ardi. Tapi biarlah, sebentar saja... meski sebentar saja, dia ingin melihat senyum cucu kesayangannya.
"Ardi..." Nenek memanggil. Suaranya layaknya seorang wanita yang sudah pernah merasakan asam garam kehidupan, pahit dan manisnya dunia.
Ardi menoleh pada Nenek. Mulutnya penuh nasi, jadi dia mengunyah dengan cepat.
"Iya, Nek?" Ardi kecil selalu diajarkan sopan santun. Menyahut saat orang tua memanggil. Ardi kecil sangat menggemaskan. Iya dong, Ardi pernah kecil kok, pernah jadi menggemaskan begini. Jadi, kalian jangan cuma ingat Ardi yang jadi pentolan geng preman itu doang. Meski Ardi yang jadi ketua geng preman itu rada-rada hot.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nerd and Mr. Bully
Roman pour AdolescentsDamar? Damar itu cuma sasaran bully Ardi saja kok. Nggak tahu kenapa, Ardi suka sekali melihat ekspresi Damar tiap dia ditindas. Apalagi tatapan matanya. Bikin Ardi merinding dengan pikiran maso!