Damar berjalan terseok-seok. Tubuhnya bergoyang tak seimbang ke kanan dan ke kiri. Seragam sekolahnya sobek disana-sini, beberapa bercak tanah mengotori beberapa bagian. Berkali-kali Damar membetulkan letak tas selempang yang menggantung di bahunya yang kini melorot letih.
Gagang kacamatanya copot sebelah, sementara kacanya hilang satu. Dia sedang berpikir sekarang. Dia harus bilang apa kalau Bunda tanya nanti kenapa kacamatanya rusak lagi? Ini sudah yang ketiga kalinya bulan ini dia minta ganti kacamata pada Bunda. Sementara dia belum mendapatkan gaji part time-nya.Masih lima hari lagi. Damar tidak bisa menunggu lima hari itu. Bagaimana nanti dia belajar? Tapi kalau dia minta dibelikan lagi, bisa-bisa Bunda curiga. Damar nggak mau bikin Bunda curiga. Sudah cukup berat dia di-bully di sekolah tiap hari. Damar nggak sanggup kalau Bunda sampai tahu. Beliau pasti akan menangis mengetahui anak satu-satunya—yang dia banggakan, yang dia jaga selama ini—menerima kekerasan fisik dan verbal dari geng preman di sekolahnya.
Damar nggak mau menyiksa Bunda. Bunda sudah cukup lelah bekerja dari pagi sampai malam untuk menafkahi keluarga kecil mereka. Damar cuma tinggal berdua dengan Bunda, cuma Bunda satu-satunya keluarga Damar, tempatnya bergantung. Karena itu, dia nggak akan sanggup mengadukan nasibnya yang tiap hari di bully di sekolah. Bunda pasti akan kepikiran. Dan kalau Bunda kepikiran, beliau pasti akan jatuh sakit. Damar nggak mau lihat Bunda sakit. Itu hal terakhir yang ingin dia lihat. Dia nggak akan sanggup kalau Bunda sampai sakit! Cukup Damar saja yang sakit karena di bully.
Selama ini, Damar sukses mengelabui Bunda dari luka-luka lecet di tubuhnya. Dia cukup menyembunyikannya dengan memakai baju kaos berlengan panjang berikut celana panjangnya, dan voila! Semua luka-lukanya tersembunyi dengan rapi. Tapi kalau lukanya berada di wajah... Itu yang paling sulit disembunyikan.
Alhasil suatu hari dia iseng pergi ke toko kosmetik, bertanya pada si mbak-mbak SPG benda ajaib mana yang bisa menutupi dengan sempurna luka atau memar di wajah. Si mbak SPG waktu itu menatap dia dengan geli lalu menyerahkan kosmetik paling ajaib yang pernah Damar tahu. Concealer namanya, yang kemudian menjadi barang wajib buatnya. Walau Damar harus mati-matian menyembunyikan benda itu. Dia tidak mau Bunda menemukannya lalu bertanya macam-macam, dan mencurigai Damar menggunakan benda itu untuk berdandan. Bayangkan saja ekspresi Bunda yang mempertanyakan kejantanan Damar sebagai laki-laki sambil mengacungkan-acungkan tube kosmetik itu. Duh! Amit-amit! Damar itu cowok macho. Bukan cowok metroseksual yang hobi dandan!
Damar membanting tubuhnya keatas sofa ruang tamu begitu dia tiba di rumah. Rumah sepi kalau jam segini. Tak ada teriakan-teriakan melengking Bunda yang penuh sayang. Jam pada dinding menunjukkan pukul tiga. Bunda pasti masih bekerja.
Damar menaikkan kakinya keatas meja yang tingginya cuma setinggi dudukan sofa. Lututnya sakit, perih dan terasa menusuk-nusuk. Ada noda darah yang meresap di celana abu-abunya itu. Belum lagi punggungnya yang berdenyut sejak tadi. Damar tidak ingat siapa yang menendang punggungnya tadi dengan keras sampai dia terjerembab ke tanah.
Selalu seperti itu hampir setiap hari.
Pernah suatu kali, bukan hanya dihajar tapi Damar menemukan buku-bukunya dijejalkan kedalam tong sampah dengan paksa. Beberapa basah, sepertinya ada yang sengaja menyiramnya dengan air, karena Damar juga menemukan botol air mineral yang hampir kosong disana.
Damar pernah ingin melaporkan tindakan penindasan ini pada guru, tapi dia diancam akan dikeluarkan dari sekolah kalau berani mengadu. Damar menciut di tempat saat itu. Nggak berani bersuara atau membantah.
"Berani lo ngadu, jangan harap bisa nginjakin kaki lagi disini!" Ardi menarik rambut Damar dengan paksa. Membuat pemuda berkacamata yang sedang berlutut di tanah terpaksa mendongak. Bibir Damar berkali-kali mengeluarkan ringisan tiap Ardi menjambaknya makin keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Nerd and Mr. Bully
Ficção AdolescenteDamar? Damar itu cuma sasaran bully Ardi saja kok. Nggak tahu kenapa, Ardi suka sekali melihat ekspresi Damar tiap dia ditindas. Apalagi tatapan matanya. Bikin Ardi merinding dengan pikiran maso!