R

251 13 0
                                    

05.30 am

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Hidungku menangkap bau yang tidak asing lagi.

"Petrichor," pikirku, lalu menggosokkan kedua tangan, menghalau dingin, dan bangkit.

Kubuka tirai putih pintu geser yang memisahkan ruang kamar dengan taman belakang rumah. Hujan sudah datang.

Aku mengambil selimut dan menggeser pintu kaca itu, duduk diam menikmati hujan. Aku mempererat dekapan selimut pada tubuhku, sambil sesekali menghirup napas dalam-dalam.

Dapat kurasakan udara sejuk mengisi rongga dadaku. Menenangkan sekali. Aku tersenyum kecil, masih tetap memandangi hujan yang turun rintik-rintik.

Aku suka hujan.

Selalu.

Bagiku dia selalu tampak indah.

Aku sungguh jatuh sepenuhnya pada hujan.

Seringkali aku hanya duduk diam, mendekap tubuhku dengan selimut, dan menikmati hujan yang turun.

Namun terkadang, kami bercinta.

Ia akan turun dengan deras, dan aku akan tertawa, menghambur padanya lalu membiarkan tetes air membasahi sekujur tubuhku.

Dingin, tentu.

Tapi aku suka.

Hujan terkadang berbincang denganku.

"Bagaimana kabarmu, Raina?"

Lalu aku akan menceritakan segala permasalahanku pada hujan. Ia selalu mengerti apa yang kutakutkan. Selalu paham apa yang sedang kuhadapi.

Aku sekali lagi menghirup udara dalam-dalam, lalu berbisik,

"Apa kabar, Ray?"

"Aku merindukanmu, Raina,"

Dan dengan jawaban itu, aku tersenyum lalu masuk ke dalam pelukannya.

***

"Raina!"

Aku merasakan tubuhku terangkat.

"Uhuk," sebuah batuk kecil meluncur keluar dari mulutku.

"Raina?!"

Sebuah tangan mengusap pipiku. Terasa hangat. Aku mengernyit, mataku masih terpejam rapat seolah tidak ingin terbuka.

"Ssshh," suara itu melembut seiring dengan usapannya yang menenangkan.

Untuk sekali lagi. Aku tidak sadarkan diri.

***

Kepalaku terasa pusing.

Aku tidak bisa bergerak.

Seseorang mendekapku.

Aku berusaha melepaskan diri. Sulit karena ia terus memelukku erat hingga aku menyingkirkan tangannya dengan paksa. Membuat kedua mata coklat hangat itu bertemu dengan sepasang mata hitam pekatku.

"Raina.." desahnya, lalu tersenyum.

Aku masih terdiam dan tidak merespon apapun.

"Bagaimana keadaanmu? Baikan?" Ia tersenyum lega.

Aku hanya bisa mengangguk lemah. Rasanya semua sekujur tubuhku sakit dan sepertinya aku kena demam setelah terguyur hujan deras.

"Gilang," panggilku.

"Iya?" Gilang menatapku lembut.

"Kenapa?"

Dahinya berkerut mendengar pertanyaanku.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa masih bertahan?" Aku menatap kedua mata coklat hangatnya.

Gilang menghela napas lalu tersenyum lagi. Tangannya membelai kepalaku, "Kenapa bertanya, Raina? Bukannya sudah jelas?"

Aku hanya menatapnya tidak mengerti. Apanya yang jelas?

Gilang tampaknya mengetahui ketidaktahuanku, ia pun meraih tanganku, meletakkan itu di dada kirinya.

"Itu karena Raina sudah ada di dalam sini, dalam hati dari kelas tujuh," Gilang lalu tersenyum dan mengecup puncak kepalaku.

"Tapi, Gilang..."

"Ssshh. Sudahlah. Sekarang kamu butuh istirahat. Aku pergi dulu ya. Jika butuh apapun, panggil aku," ia memelukku sekali lagi lalu beranjak dari kasurku. Keluar dan menutup pintu kamar.

Di mana Ray?

Aku melirik pintu kaca besar di sampingku, hujan sudah reda menyisakan bau basah tanah yang cukup menusuk. Pantas saja Ray menghilang.

Otakku memutar kejadian tadi. Saat hujan bertambah deras, dan Ray kembali. Padaku. Hanya beberapa menit. Aku tersenyum kecil.

Rasa rindu itu mulai menjalar ke seluruh tubuhku. Aku mulai merindukan Ray lagi sekarang, seperti yang sudah kulakukan jutaan kali sebelumnya.

Ray dan Raina.

Kedengaran serasi bukan?

Aku terkikik pelan. Lalu kembali memandangi taman belakang rumah yang ditumbuhi rerumputan hijau, nampak segar setelah hujan datang menghampiri.

Ah, hujan.

Selalu dapat membawa kenangan terkasih. Hingga kadang aku dibuat bingung. Mana asli mana ilusi.

Dan halo.

Aku Raina.

Pecinta hujan.

Serta Raynaldi Novala.

RAIN(A) [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang