Aku mulai terlelap, di keheningan malam. Tanpa ada suara televisi, atau suara ketikan di komputer ayah, ataupun suara jangkrik. Hanya ada aku, dan jam dinding yang terus bernyanyi setiap detik. Aku sendiri, tak ada seorangpun yang berniat menyempurnakan lagi nyawanya untuk ber-aktivitas menemaniku. Tak pernah ada yang mau menceritakan kisah seorang puteri kerajaan disaat jam sembilan malam ketika aku terlelap. Namun kini, aku kembali membuka mata di tengah malam. Baru kali ini aku merasakan sulitnya tertidur di tengah tengah kegelapan. Aku pikir aku tersesat karena sesuatu, oh atau mungkin seseorang, tapi entahlah mengapa pemikiranku sampai kepada gadis berambut merah yang aku mimpikan malam kemarin?
Tiba tiba kaca jendelaku terbentur sangat keras. Deg! Jantungku berdebar sangat kencang, aku harap ayah atau ibuku mendengar suara keras itu dan mereka bisa menghampiriku.
Aku bersembunyi di balik selimut merahku, sungguh aku sangat penasaran. Siapa yang mau menjahiliku dengan benturan keras di malam yang sepi ini? Apakah mungkin burung gagak? Ah itu sama sekali tidak masuk akal. Atau mungkin ada yang mengetuk dari luar? Ah mana mungkin, kamarku berada di loteng paling atas. Atau mungkin gadis itu? Ah aku harus berpikiran positif.
Aku terus memejamkan mata dan mulai mengkosongkan pikiran agar bisa terlelap di bawah selimut merahku.Tok... Tok...
Ketukan itu kembali terdengar, aku mulai menahan napasku dan berdoa sebisa mungkin agar suara itu hilang, dan tak pernah menggangguku lagi.
Aku bersumpah, esok hari aku akan tidur bersama ibu dan ayahku di kamar mereka. Aku tak peduli apa yang akan mereka katakan.
"Hallo Maria, mau bermain denganku?" Terdengar suara bisikan di telingaku.
Keringat dinginku terserap banyak oleh selimut merah yang sedikit demi sedikit tertarik oleh tangan mungilnya itu.Dan mengapa dia bisa tahu bahwa namaku adalah Maria?
Aku tak berani melihatnya dan aku terus memejamkan mataku dan air mata mulai turun dari bak mataku.
"Apa yang kamu mau? Siapa kamu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya sambil memejamkan mataku.
"Hallo, aku Abigail. Kau tak ingat aku? Akulah teman lamamu yang menantimu dari jauh jauh hari,"
Apa maksudnya teman lama? Aku masih tidak mengerti. Setahuku, aku adalah wanita yang sangat pendiam dan tidak memiliki banyak teman. Tapi aku teringat sejenak, aku pernah mengalami lupa ingatan dari sejak umurku delapan tahun hingga sekarang, saat umurku lima belas tahun.
"Baiklah. Apa maumu? Tolong jangan ganggu aku lagi," Aku berbicara padanya dengan terbata bata.
"Aku hanya ingin kau melihatku sebelum ketukan ketiga terdengar. Karena itu bisa membahayakan nyawamu sendiri," Dia meminta.
Ah, sial! Dia memintaku untuk ku lihat wajahnya. Jujur saja, mendengar suaranya saja aku sudah tak sanggup apalagi harus melihat wajahnya.Pelan pelan aku membuka mataku dengan ragu ragu. Tapi aku pikir, dari pada aku harus mendengar ketukan ketiga yang membahayakan nyawaku itu, lebih baik aku melihat wajahnya. Dan yang ku harapkan tak akan ada darah yang akan menetes ke wajahku.
Ku buka mataku..
Dan, astaga!
Bukan darah kental yang setiap detiknya menetes. Tapi wajahnya sangat datar, jahitan di bagian matanya tampak terlihat jelas dan belatung belatung kecil tampak di bagian telinganya. Mulutnya bergerak dengan pelan seperti membacakan mantra.Ternyata, dia-lah gadis dalam mimpiku yang selalu aku pikirkan. Dia memiringkan kepalanya, dia tersenyum tapi tanpa ekpresi sama sekali.
Aku menatapnya dengan terengah engah, ketakutan. Ingin rasanya aku pergi namun aku tahu ini tak akan mudah.
"Tolong, pergilah," Aku berbisik kepadanya.
"Tatap mataku Marie," Suaranya sangat menggetarkan jiwa dan aku tak bisa berkata apa apa lagi selain meneteskan air mata ke-dua ku.
Aku berpikir, bagaimana aku bisa menatap matanya, bahkan matanya terjahit. Namun aku tak peduli, yang penting aku menatap bagian yang seharusnya jadi mata.
Ku tatap, dan bola mata putih yang kecil muncul menembus kulit wajahnya. Aku terus menatap matanya, sehingga matanya muncul dan Abigail berubah memiliki paras indah nan cantik seperti gadis berambut merah di mimpiku, percis.
Dia menghelakan napasnya dan pergi dengan langkah mundur menuju pintu balkon yang terbuka,
"Terimakasih Marie," Ucapan terakhirnya yang membuatku merasa lega, dan aku ingin segera menceritakannya kepada ayah dan ibu bahwa siapakah teman kecilku yang bernama Abigail itu?
YOU ARE READING
Abigail.
HorrorJangan sampai kau memberanikan diri membaca cerpen ini sendiri, di malam hari. Atau gadis berambut merah itu kembali dan mengetuk pintu jendelamu selama tiga kali. Itu berbahaya.