Aku itu penakut. Jujur saja, meski siang masih memenjarai separuh dari jiwa bumi, bila sendiri menyelimuti diri, aku enggak akan berani untuk melangkah. Di rumah sendiri pun, aku enggak berani ke lantai dasar sendirian. Ini serius.
Rumah ini mama sewa satu tahun yang lalu dari seorang teman yang (katanya) murah hati. Dapat murah, setahun hanya enam juta. Awalnya aku senang, tetapi lama kelamaan aku sadar, kalau enggak semua barang murah itu punya kualitas yang menjanjikan.
Ada sebuah ruangan di lantai dasar. Sebuah kamar tamu untuk para saudara yang ingin mampir. Aku enggak pernah masuk ke dalam ruangan itu sendirian. Aku enggak suka berada di sebuah ruangan asing yang seperti tengah menelanjangiku. Ruangan yang bahkan selalu memaksaku untuk menatapnya dalam-dalam.
Sekali pun aku diminta mama untuk mengambil barang-barang mama di kamar itu (mama selalu menaruh barang-barangnya yang tidak terpakai di ruangan itu), aku pasti mengajak sepupuku untuk menemani. Meski itu di siang hari.
Mama tahu akan ketakutanku. Tahu sangat bahwa aku enggak bisa berada ditempat asing tanpa asal-usul yang jelas (kebetulan ruangan itu enggak diketahui bekas untuk apa.) Namun waktu itu tiba-tiba saja mama memintaku untuk membersihkan ruangan itu bersama sepupuku. Enggak seperti biasanya. Sebab Mama memiliki kebiasaan untuk membersihkan gudang atau ruangan di hari biasa, karena akan ada banyak pegawai yang membantu.
Hari itu hari Minggu, ketika aku membiarkan ruangan itu menarikku. Di depan cermin, kala itu aku terpaku. Menegang semua sarafku. Ada seorang lelaki disana. Matanya besar, berdarah-darah. Mata itu melotot seperti sebuah linggis sedang berusaha menyongkelnya. Bibir tersenyum mengejek. Kepala terangkat angkuh bak raja menyombongkan jahitan menghiasi garis pipinya.
Orang itu, lelaki dalam cermin itu, membuka mulutnya perlahan. Aku segara menoleh pada sekelilingku. Teriakan, hujatan, dan cacian seakan terdengar sangat keras. Satu keluarga saling beteriak, "Berengsek! Mati saja kau!" dan kemudian, seseorang berlari ke arahku dengan membawa aquarium. Tangannya terangkat. Raut wajahnya sama seperti pria dalam cermin. Tersenyum sinis dengan mata melotot yang membedakan adalah, wajah pria itu. Aku mengenalnya.
Kemudian, semua menjadi gelap.
****
"Li, bangun, Li!" Suara seseorang mengusikku.
Perlahan, aku membuka mataku. Wajah mama yang pertama menyapa. Segera aku menegakkan badan. Terduduk pada lantai yang sekelilingnya tersebar pecahan kaca. Di belakang mama, sepupuku membersihkan pecahan kaca. Aku melihat ke sekeliling. Ternyata cermin yang ada di kamar itu jatuh. Tidak ada orang-orang yang saling menghujat. Oh, hanya mimpi. Batinku.
"Kamu 'nggak kenapa-kenapa 'kan? Kamu 'nggak sadar apa tiba-tiba pingsan waktu kacanya jatuh?" Mama mulai khawatir. Aku menggeleng
"'Nggak sadar. 'Tapi aku baik-baik aja kok. Gapapa."
Sepupuku berdiri setelah selesai membersihkan pecahan kaca itu. Ia mengajak kami untuk segera pergi dari ruangan itu setelah menanyakan keadaanku.
Kemudian kami beranjak dari sana. Sepupuku berjalan paling akhir menuju lantai dua. Aku masih terpikir soal kejadian tadi. Ditambah lagi, aku masih memikirkan sesuatu.
Mengapa seorang lelaki berjalan mengikuti sepupuku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Monthly Osmness: Real Icktober
Short Story"Oktober itu rumahnya horor! Halloween gitu, lho! Jadi, aku mau tanya pertanyaan favoritku. Pengalaman apa yang paling menyeramkan dalam hidup kamu?" Monthly Osmness: Real Icktober Kumcer horor (Kover oleh @Ayutien)