Part 2

73 6 1
                                    

Langit mulai gelap. Embun menyalakan lampu kamar dan mulai membuka bukunya. Baru saja ia akan mengambil pulpen dari tempat pensil cokelatnya, tiba-tiba ia mendengar suara pecahan kaca dari arah lantai bawah.

"Kamu pikir kamu doang yang capek? Saya juga capek, Mas! Kamu pulang telat terus, pergi sama wanita lain. Itu yang kamu maksud?"

Teriakkan itu terus terdengar di telinga Embun. Menghentikan detak jantungnya sesaat di waktu yang sangat tepat.

"Kamu gak sadar diri? Kamu yang terus-terusan pulang malem. Saya gak abis pikir ya. Kamu pikir Embun gak sedih punya Ibu yang gak pernah ngurusin dia, dan cuma mikirin dirinya sendiri?"

Embun merasakan hatinya tertohok oleh ribuan pedang. Tiba-tiba saja setetes cairan bening mengalir kembali di pipi gadis itu.

"Dari awal memang saya tidak mengharapkan kehadiran Embun. Kamu yang selalu memaksa saya. Puas kamu?!" ucap Dina sambil menghentakkan kaki ke luar dan membanting pintu rumah, meninggalkan Satya yang masih dengan emosi membaranya.

Embun tak kuasa mendengar pertengkaran kedua orang tua nya. Emosi, sedih, kecewa dan hampanya hidup bercampur lebur menjadi satu.

Sebuah benda tajam telah berada di tangan kirinya. Sudah menjadi kebiasaan bagi Embun melakukan tindakan yang bisa membahayakan dirinya sendiri. Menggores tangan kanannya dengan silet kecil itu. Melampiaskan rasa kesalnya kepada dirinya sendiri. Menahan rasa sakit yang ada pada tangan maupun hatinya.

Embun segera beranjak keluar rumah dengan tetesan darah yang mengalir di balik baju panjangnya. Tak peduli lagi akan penampilannya yang sudah sangat berantakan kali ini. Tatapannya lurus ke depan, kosong. Kehampaan terlihat dari kedua bola mata hitam itu.

Gadis itu berlari menuju taman perbukitan kota, menangis sekencang-kencangnya. Terdiam di atas bangku taman dengan rasa tersiksa. Menumpahkan semua air matanya di tempat tersebut. Embun hanya ingin mendapat perhatian kedua orang tuanya.

Ia hanya mengharapkan pelukan hangat dari seorang ibu, ingin merasakan halusnya tangan sang ayah mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang, itu saja.

Di tengah tangisan kencangnya, Embun merasakan sebuah jaket tertengger di pundaknya dengan aroma maskulin yang menyebar. Embun terpaksa menghentikan tangisannya dan menoleh ke belakang.

"Senyum," ucap si pemberi jaket itu.

Embun terdiam dan bingung. Tatapannya tetap tidak berpaling dari lelaki itu.

"Senyum, Embun,"

Embun semakin merasa terkejut begitu lelaki itu menyebutkan nama panggilannya.

Tanpa dipersilahkan, lelaki itu duduk di samping Embun.

"Saya Sani," ucap lelaki itu. "Saya temennya Flora yang ketemu kamu di ruang musik, kalau kamu lupa," lanjut lelaki itu sambil mengulurkan tangannya.

Embun tetap tidak bergeming dan hanya menatap Sani dengan tatapan bingung.

"Kasian loh tangan saya udah pegel nungguin uluran tangan kamu," ucap Sani tiba-tiba, membuat Embun tersadar dari lamunannya.

"Eh, iya maaf. Saya Embun," ucap Embun sembari membalas uluran tangan Sani.

Sani tersenyum tipis. Lesung pipi nya bermunculan di kedua sisi wajahnya.

"Iya, saya udah tau kok," ujar Sani.

Tepat sebelum melepaskan genggaman canggung mereka, Sani melihat warna merah darah di lengan baju yang Embun kenakan. Merah darah tersebut sangat kontras dengan baju putih milik Embun. Sedikit luka sayatan terlihat pula oleh bola mata hitam legam itu. Sani mengeratkan genggaman tangan mereka, menarik tangan Embun.
Menyadari darah yang menembus di balik lengan bajunya, Embun melawan, mencoba untuk melepas genggaman serekat lem itu. Namun, tarikan kuat yang diciptakan oleh Sani memang tak bisa dielakkan. Embun akhirnya mengalah dan pasrah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 01, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

EmbunWhere stories live. Discover now