3. Senyum Pertama Untukku

216 41 11
                                    

Kamu sudah tahu aku
Kamu bilang tidak pernah melihatku
Wajar, Aku terlalu biasa untuk di kenal

Temanku bilang metafora kita terlalu jauh
Bumi dan langit tidak cukup
Mungkin Bumi dan pluto lebih tepat

Aku terlalu biasa untuk mendapat senyummu.
Kala itu kau tersenyum layaknya sabit padaku.
Seketika aku terbang ke langit ke tujuh.

Senyum pertamamu
02 Januari 2016

***

Orang-orang bilang aku cupu. Hell, aku tidak berkacamata tebal, aku juga tidak di kepang dua. Lalu kenapa aku di bilang cupu?

Aku mendengar segelintir orang berkata kalo aku terlalu polos lebih cenderung ke bego. Aku masih bisa terima dengan kata polos. Tapi, bego? Mereka terlalu berlebihan. Sudahlah, lagi pula aku hidup bukan untuk membuat mereka terkesan.

"Tita!" seseorang memanggilku yang sedang fokus membaca novel di kelas. Dia nampaknya datang dengan setengah berlari mendengar nafasnya yang terengah-engah.

"Kenapa Mala?" Mala itu teman sebangkuku, dan satu-satunya teman yang ku miliki di sekolah ini. Ku pikir untuk apa punya banyak teman kalau fake semua.

"Kamu dipanggil Bu Dina ke ruang guru. Katanya kertas ulangan kamu gak di kasih nama. Soalnya pas di cek cuma punya kamu aja yang gak ada."

"Ya ampun, aku lupa kali Mal, makasih ya."

Aku segera pergi ke ruang guru. Kenapa aku bisa sampe lupa ngasih nama di kertas ulangan ku. Untung ini ulangan harian biasa, coba kalo ujian nasional, sudah mati aku.

"Thalita, coba cek, ini tulisan kamu atau bukan?"

"Iya Bu, benar ini tulisan saya."

"Lain kali kamu yang teliti ya. Untung ini cuma ulangan biasa, bukan ujian nasional."

"Maaf Bu."

"Baiklah kamu bisa ke kelas lagi. Tapi sebelumnya Ibu minta tolong untuk mengembalikan buku paket ini ke perpustakaan. Sepertinya Ibu salah ngambil buku, ini KTSP 2006 bukan kurtilas."

"Oh iya Bu."

***

Aku berjalan menuju perpustakaan dengan riang. Aku memang selalu semangat jika pergi ke tempat gudang buku itu. Aku bahkan bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sana jika sudah berjibaku dengan yang namanya buku. Ketahuilah dengan membaca maka kita bisa menggenggam dunia.

Aku mengembalikan buku paket tersebut. Tiba-tiba saja ekor mataku menangkap kamu-dengan setumpuk buku ditanganmu-sedang berbincang-bincang dengan salah satu petugas perpustakaan. Mataku sudah seperti magnet yang otomatis tertarik untuk melihat ke arahmu.

Aku berusaha keras untuk tidak memperhatikanmu dengan kembali fokus pada rak dan mencari-cari buku fiksi.

Aku mengambil asal novel fiksi tanpa membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Lalu bergegas meninggalkan perpustakaan. Untuk pertama kalinya aku tidak betah berada di perpustakaan karena ada kamu dan setelah insiden kejar-kejaran kemarin. Jujur, aku malu.

Aku berjalan menunduk dan tidak melihat jalan hingga akhirnya aku menabrak seseorang, eh atau dia menabrak ku? Entahlah yang jelas kami bertubrukan dan buku-buku yang dibawanya terjatuh.

Aku refleks berjongkok dan memunguti buku-bukunya yang berserakan.

"Maaf aku tidak lihat," kataku sambil menyerahkan bukunya. Aku melotot seketika saat menyadari orang yang aku tabrak adalah kamu.

"Hai," kamu menyapaku dan tersenyum. Jika boleh, aku ingin terbang sekarang juga.

"Lo si dua puluh yang kemaren malah lari kan? setelah dipikir-pikir, gue asing sama muka lo. Anak pindahan dari mana?"

Aku masih terpaku. Aku setengah percaya mendengar kamu sempat memikirkan aku. Kamu dan aku berada dalam jarak kurang dari satu meter, dan itu membuat kaki ku gemetar hebat.

"Woi, lo kok bengong sih?"

Kamu bersuara lagi. Please, jangan berbicara lagi atau aku akan meleleh sekarang juga.

"Ma-af aku harus ke kelas." aku berlari meninggalkan kamu. Bodoh, kenapa aku lari?

Kamu memang selalu sukses membuat aku terlihat bodoh Rey.

***

Unseen [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang