~Juni 2005~
Makam itu masih baru. Penghuninya adalah wanita paling baik yang pernah kukenal: bulikku. Ibuku? Aku tidak pernah mengenalnya karena Ibu sudah dipanggil Tuhan sejak aku balita. Sejak itu, Bulik yang mengurusku. Namun sekarang ia juga sudah menyusul Ibu. Dadaku rasanya begitu kosong. Kekosongan yang menyakitkan.
Selain aku dan Bapak, hanya ada satu orang lagi yang rutin mengunjungi makam itu. Dan laki-laki itu tengah berjongkok tepat di sisi makam untuk membersihkannya. Tak peduli meski gerimis perlahan mengguyurinya.
Aku lantas berjalan cepat melewati beberapa nisan, menghampiri laki-laki sebayaku itu dan menyorongkan payung yang kubawa agar meneduhi kami berdua. Menyadari kehadiranku, laki-laki itu menengadah. Aku seolah sedang menatap diriku sendiri beberapa hari yang lalu, saat kedukaan yang sama menggelayutiku.
Meski ia tak mengatakan apa pun, aku bisa menangkap duka dalam sorot matanya. Hal itu membuat mataku menghangat. Aku pun ikut berjongkok di samping makam dan turut membersihkannya. Sambil menahan mati-matian agar air mataku tidak jatuh. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu.
Seusai berdoa, aku bangkit dan mengulurkan tanganku, "Topan, pulang yuk."
"Duluan aja, Ran. Aku masih mau nemenin Ibu."
Topan memaksa dirinya sendiri untuk tegar, aku tahu itu. Maka aku tak beranjak selangkah pun.
Hujan reda bertepatan dengan matahari yang mulai terbenam. Pada saat itulah kami baru bisa beranjak pulang. Aku meliriknya sesekali. Pakaiannya yang basah membuat tubuhnya gemetar. Sedangkan aku, dihangatkan oleh celana training yang tebal, jilbab kaos, dan sweater yang didobeli jaket. Ini tidak adil.
Aku lalu berhenti dan menyodorkan payung yang sudah tertangkup itu kepadanya. Topan menerimanya dengan sebelah alis terangkat. Tak menanggapi, aku hanya melepas jaket dan merebut payung itu kembali. Topan hanya diam ketika melihat jaket yang terulur. Ia menatapku lama, dengan tatapan menyerah yang tak pernah kulihat sebelum ini. Topan menyerah kalah? Pada apa?
Namun ia kemudian menerima jaketku sebelum aku sempat menanyakan apa pun. Kami kembali berjalan dalam diam.
Tempat tinggal kami hanya berjarak beberapa rumah lagi, tapi Topan tiba-tiba berhenti. "Besok pengumuman, kan?" tanyanya begitu saja.
Aku tidak mengerti. Kenapa ia seketika menyinggung soal itu? Namun aku hanya mengiakan. "Kenapa? Kamu nggak pesimis, kan?"
"Aku...."
Topan terdiam lagi, dan aku tak berani mendengarkan sisa perkataannya. Biar saja ia melanjutkannya di dalam hati. Jadi aku menyahut, "Kamu sudah berjuang keras, Pan. Semuanya pasti beres."
Tak menjawab, Topan hanya tersenyum. Senyum ganjil yang membuatku benci setengah mati. Senyum ganjil yang bertambah aneh begitu kami menemukan kehadiran sebuah motor bebek beserta helmnya di halaman rumah. Tiba-tiba saja aku takut. Mungkin karena aku tahu milik siapa motor itu.
Entah kenapa, Topan hanya tertawa getir. "Bener, kan? Itu motor Pak Hari."
Topan bodoh! Kenapa ia harus mengucapkan apa yang menjadi ketakutanku tadi?
Pak Hari adalah wali kelas Topan. Hanya ada satu alasan kenapa guru wali kelas mendatangi rumah siswanya di H-1 menjelang pengumuman ujian nasional. Alasan yang bahkan tak berani kukatakan keras-keras.
Ketika Topan beranjak menuju rumah, aku hanya diam di tempat, memandangi punggungnya yang mulai layu. Pundak yang dulu selalu diangkatnya tinggi-tinggi ketika berjalan, sekarang melorot begitu saja. Seumur hidup aku tak pernah melihatnya begini. Seumur hidup aku tak pernah menyaksikannya bertekuk lutut pada apa pun, kecuali kepada Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream On
Teen FictionKirana baru saja lulus ujian nasional, tapi dia tidak tahu harus kuliah di jurusan apa. Akhirnya dia mengikuti saran Bapak untuk mendalami fisika. Di tengah kegalauannya dalam memutuskan apakah setimpal atau tidak memperjuangkan sesuatu yang tidak b...