Bab 2 - Dilema

134 13 0
                                    

Belakangan ini aku mulai suka menulis cerita. Itu terjadi sejak Topan menyodorkankan novel Sherlock Holmes: A Study in Scarlet edisi Bahasa Inggris sebagai hadiah karena aku berhasil masuk 15 besar paralel pada pengumuman ujian nasional minggu lalu. Aku tak pernah menerima hadiah buku sebelumnya. Jadi ketika seseorang memberiku buku, aku sangat senang. Aku tak peduli meskipun novel yang dihadiahkan itu terbitan lama dan bekas.

Di bawah lampu yang remang-remang, aku menulis kelanjutan ide yang pernah mampir ke benakku segera setelah novel itu kutamatkan. Kutulis apa yang kupikirkan tentang cerita rekaan yang tiba-tiba saja menguasai otakku. Lalu mencorat-coret di halaman yang sama ilustrasi para karakternya. Aku tidak tahu berapa lama kulakukan semua itu. Begitu disadarkan adzan Subuh yang bergema dari pengeras suara masjid, berlembar-lembar catatanku sudah habis terpakai.

Aku bangkit dan bergegas menuju kamar sebelah untuk membangunkan saudaraku. Baru aku hendak mengetuk pintu, terdengar suara aliran air dari keran di dekat dapur. Kutinggalkan pintu kamar Topan dan menghampiri sumber suara. Kulihat Bapak di sana, baru selesai berwudhu.

"Kirana," panggil Bapak dengan suara lembut, mau tak mau membuatku tersenyum lebar. "Kamu nggak tidur? Tadi Bapak lihat lampu kamar kamu nyala kecil, Nduk."

"Tadi jam 2 kebangun, terus nggak bisa tidur lagi, Pak."

Bapak lalu mengajakku ke masjid, tapi aku menggeleng pelan. "Aku jama'ah di rumah aja bareng Topan."

Bapak tidak bereaksi mendengar jawabanku. Ia hanya mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar Topan. Ada sorot kepiluan dalam mata Bapak. Aku mengerti alasannya.

Kami tinggal di desa kecil di pinggiran kota, jadi kabar apa pun dengan cepat menyebar seperti api melalui mulut para juru gosip. Apalagi jika melibatkan profesi guru yang masih dipandang terhormat di wilayah tempat tinggalku. Maka beberapa hari ini, setiap Topan keluar rumah, tak ada yang tidak membicarakannya. Aku pun ikut jengah saat mereka mulai membanding-bandingkan kami. Aku bisa membayangkan pertanyaan macam apa yang akan mereka ajukan jika subuh ini aku ikut ke masjid. Bapak sepertinya mengerti itu karena beliau tak membujukku lebih jauh.

"Kamu harusnya ikut Pakde," kata Topan setelah Bapak keluar rumah. "Kamu pikir aku bakal kenapa-napa kalau ditinggal sendirian?"

Aku tak mengindahkan kata-katanya yang sok dingin itu. Saat ini perhatianku tersita oleh lingkaran hitam di bawah matanya dan selembar kertas di tangannya. Dari logo sekolah kami di kepala surat, aku langsung tahu kertas apa itu.

"Kamu semalaman melototin itu, Pan?"

Tak menjawab, Topan hanya mengalihkan pandangan ke arah kertas dalam genggamannya. Refleks, ia mengangkat kertas itu hingga bisa dibacanya. Hal itu membuat isinya bisa terbaca olehku juga. Tiga nilai tertera di sana: nilai nyaris sempurna untuk Matematika, nilai Bahasa Indonesia yang bahkan lebih bagus dari nilaiku, dan Bahasa Inggris yang hanya empat seperempat. Terpaut 0,01 lebih rendah dari standar kelulusan. Gara-gara satu nilai buruk di pelajaran yang dibencinya, mimpi ke ITB itu terkubur begitu saja.

Topan seolah kehilangan harapan. Aku saja sampai bosan memintanya untuk tak menyerah karena pasti ada jalan lain. Tapi belakangan ini, meski ia tak mengatakan apa pun, aku bisa merasakan bahwa ia sudah memutuskan berhenti mendengarkanku. Meski begitu, aku tak menyalahkannya.

Matahari selalu muncul lebih cepat ketika tidak dikehendaki. Terkadang itu menyebalkan, karena aku harus menyiapkan sarapan di saat aku masih betah di kamar membaca Robohnya Surau Kami karangan A.A. Navis. Walaupun sudah puluhan kali kubaca, rasa bosan itu masih belum muncul. Buku itu selalu berhasil membuatku merenungkan tujuan hidup yang sampai detik ini belum juga kutemukan.

Begitu selesai menyajikan sarapan di meja dengan bantuan Topan—ia sedang sibuk menonton TV ketika kuseret untuk membantuku—kami bertiga justru makan sambil lesehan di depan televisi yang tengah menyiarkan berita tentang penangkapan calo jawaban ujian nasional. Aku seketika menyadari bahwa Topan menghentikan kegiatannya dengan pegangan yang terlampau keras pada gagang sendok. Bapak buru-buru mencari remote dan memindah saluran ke berita olahraga. Kami diam setelahnya, bahkan aku tak memperhatikan klasemen sementara Liga Inggris yang sedang dipampangkan. Pikiranku terlalu sibuk dengan ekspresi Topan yang tak bisa kubaca.

Selesai makan, aku hendak menyusul Topan yang sudah lebih dulu ke dapur menaruh piring kotor. Namun Bapak menahan tanganku. Beliau lantas menanyakan hal yang tak bisa diutarakan dengan kehadiran Topan.

"Apa pendaftaran kolektif buat SPMB sudah dibuka sekolah?"

Aku mengangguk. Kuberitahu Bapak soal biayanya. Bapak balik bertanya padaku soal jurusan yang mau kuambil. Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Lalu pertanyaan yang selalu muncul di benakku ketika membaca buku A.A. Navis tiba-tiba menyeruak begitu saja: "Apa kau akan seperti sufi yang berjuang sendirian dalam ibadahnya atau seperti manusia-seimbang (itu istilah bikinanku sendiri) yang berjuang demi orang lain dengan tak melupakan diri sendiri?"

Pertanyaan itu memang beda konteks, tetapi bagiku itu gambaran yang cukup untuk mendeskripsikan dilemaku. Terutama setelah Bapak menyarankanku mengambil Pendidikan Fisika. Jujur saja, kalau aku punya mimpi seperti Topan, aku akan mengejarnya mati-matian. Tetapi aku bahkan tidak tahu apa yang ingin kulakukan kelak. Setimpalkah berjuang di bidang yang tak kusukai demi Bapak? Aku tidak tahu.

Dream OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang