Aku tidak berusaha bangun pagi hari ini. Selain karena tamu bulanan yang rutin berkunjung hingga membuatku tak perlu terjaga subuh-subuh untuk sembahyang, aku pun malas ke sekolah demi menyerahkan formulir pendaftaran SPMB yang sudah kuisi untuk kemudian dikirim oleh pihak sekolah kepada panitia. Tetapi Topan memaksaku bangun sambil mengataiku "kerbau". Mungkin karena masih mengumpulkan nyawa, aku tidak merasa tersinggung.
Alhasil, aku melakukan segalanya pagi ini dengan setengah hati. Namun ketika Topan sudah mengeluarkan motor dan mengatakan akan mengantarku, aku hanya bisa memelototinya tanpa berani berkedip. Secepat inikah ia mampu mengatasi keengganannya bertemu orang lain? Aku bahkan tidak tahu proses bagaimana semua itu bisa teratasi. Tetapi saudaraku itu hanya menggeleng pelan ketika kutanyakan. "Itu cuma gara-gara kamu ngehabisin duit buat beli buku bank soal. Sekarang pasti cuma cukup buat ngebis, kan? Mending kuanterin sekalian."
Aku terdiam karenanya. Topan hanya memikirkan kepentinganku belakangan ini. Bukannya senang, aku justru merasa sedih. Seharusnya ia juga mendapat kesempatan yang sama saat ini.
Setelah mengunci rumah karena Bapak pun sedang berada di SD tempatnya mengajar, aku membonceng miring lantaran rok panjangku. Topan memacu motor dengan kecepatan tinggi, memaksaku harus berpegangan erat pada pegangan belakang jok motor. Bisa sampai di sekolah dengan selamat saja merupakan keajaiban.
Topan menghentikan motor di depan gerbang sekolah. Aku mengajaknya masuk dan memarkir di dalam saja, tetapi ia ragu. Aku tahu itu bukan lantaran dirinya yang tak mengenakan seragam sekolah.
Kulepas helm dan menyerahkan padanya. Belum sempat menggantungkan helm pada kaitan motor, ia merenggut lenganku hingga membuat keseimbanganku goyah dan terjatuh ke jangkauan tangan satunya. Suara helm jatuh terdengar kemudian, disertai keberadaan bola basket yang seolah menempel pada telapak tangan yang sedang menopangku.
Setelah Topan membantuku berdiri normal, aku baru sadar sedari jatuh tadi menahan napas. Aku kaget setengah mati, lalu bertambah intensitasnya saat Topan mulai melancarkan sumpah serapah.
Aku baru tahu siapa pelakunya ketika Topan melemparkan kembali bola itu yang ditangkap dengan sempurna oleh sesosok cowok yang berpostur tubuh seperti tiang listrik. Aku hanya tahu bahwa nama panggilannya Adam dan ia teman sekelas Topan. Tidak lebih.
"Sori, Pan. Kirain siapa. Tadi nggak sengaja."
Topan tak menanggapi. Tetapi tatapan tajam di bawah kedua alisnya yang menyatu itu seolah mengatakan: "Aku tahu kamu bohong."
"Kirain kamu nggak berani ke sekolah, Pan."
"Kalau tadi kena Kirana, aku bakalan slam dunk di kepalamu."
Adam tertawa, lalu menoleh padaku. Diangkatnya sebelah tangannya yang bebas. "Sori."
Karena tidak terjadi apa-apa selain kekagetan tadi, aku menggeleng sambil memaksakan diri tersenyum. Setelah mengambil helm yang terjatuh dan menyerahkannya pada Topan, aku meninggalkan mereka berdua. Lapangan basket memang sedang dipakai anak-anak cowok kelas XII untuk bermain. Ada dua bola menganggur termasuk satu yang sedang terpakai, jadi ketiadaan bola yang tadi hampir mengenaiku tak berdampak pada permainan. Menggeleng pelan, aku langsung menuju kantor dadakan di dekat musala yang dipakai khusus untuk mengurus berkas SPMB. Sebelum menyerahkan berkas, aku meneliti ulang berkas yang sudah kuisi. Mataku berhenti pada pilihan jurusan: pilihan pertama adalah Pendidikan Matematika dan saran Bapak kujadikan pilihan kedua. Seketika itu juga aku dilanda kekalutan yang tak kumengerti.
Aku ingat pernah mengatakan kepada Topan bahwa aku tidak terlalu tertarik mengikuti SPMB. Aku pernah membaca brosur tentang Jurusan Film Kartun di Amikom, dan seketika itu juga merasa seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutku. Namun di sisi lain, aku sangat menyukai sastra dan seni rupa, dan ingin mendalami bidang itu di perguruan tinggi. Ketika saudaraku itu bertanya aku lebih cenderung ke mana, aku tidak bisa menjawab. Topan marah besar karenanya. Puncaknya, ia mengatakan hal-hal yang tak ingin kudengar: tentang aku yang plin-plan, tentang mimpi yang tak pernah kupunyai, hingga tentang Bapak. Tapi tak sedetik pun ia menyinggung tentang kegagalannya. Membuatku marah untuk alasan yang benar-benar berbeda. Kenapa ia selalu berpura-pura kuat dan tegar di hadapanku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream On
Teen FictionKirana baru saja lulus ujian nasional, tapi dia tidak tahu harus kuliah di jurusan apa. Akhirnya dia mengikuti saran Bapak untuk mendalami fisika. Di tengah kegalauannya dalam memutuskan apakah setimpal atau tidak memperjuangkan sesuatu yang tidak b...