Bab 6 - Awal Baru

106 7 2
                                    

Saat hari H tiba, Topan melarangku datang ke sekolah. Aku protes, tentu saja. Namun ia mengabaikanku dan meninggalkanku di rumah. Tak kehabisan akal, aku memburu ke dalam kamar dan memeriksa dompetku yang ternyata sedang mengalami kekeringan. Aku lupa kalau uang sakuku minggu ini habis untuk membeli buku. Akhirnya kusambar celengan ayam di atas rak buku dan memecahkannya. Tak ada uang kertas, dan membayar bus dengan uang receh pasti akan membuatku tampak menyedihkan. Yah, memangnya aku punya pilihan lain?

Kuambil selotip bening di meja, lantas meraup sepuluh koin uang seratusan untuk kusatukan dengan selotip. Kulakukan hal yang sama untuk uang logam seratusan yang lain. Sisa tujuh koin langsung kumasukkan ke dalam laci meja. Beberapa grup uang logam yang masing-masing bernilai seribu rupiah itu kumasukkan ke dalam pouch handphone yang dulu pernah dirajutkan oleh Bulik. Sejenak kupandangi pouch itu sembari tersenyum. Dalam hati aku berdoa agar Bulik bahagia bersama Ibu di sisi Tuhan. Lantas berlanjut dengan doa untuk Topan.

Seusai berganti seragam sekolah, kumasukkan pouch tadi ke dalam tas lalu keluar dan mengunci pintu rumah. Aku harus dua kali naik bus untuk bisa sampai sekolah. Bus pertama menuju terminal, untuk kemudian berganti dengan bus yang lebih besar untuk menuju sekolah. Aku melirik pouch di dalam tasku. Mengingat isinya yang pas-pasan, rasanya aku ingin menangis.

Sesampainya di terminal, rupanya bus yang menuju sekolahku sudah tiba, bahkan hendak berangkat. Aku terpaksa berlari, karena bus berikutnya baru akan datang setengah jam lagi. Kesulitan berlari dengan rok panjangku, kujinjing rok itu hingga pertengahan betis. Untung aku mengenakan celana panjang di dalam rok, jadi kakiku takkan terlihat orang.

Melihatku berlari, kondektur bus melambaikan tangan sambil menyuruhku cepat-cepat. Begitu naik, aku langsung memilih bagian bus yang hanya berisi satu bangku di dekat jendela dan duduk di sana, lantas merapikan jilbabku yang agak berantakan setelah tadi berlari. Tak lama, bus sudah melaju kencang di sepanjang Jalan Magelang.

"Kirana."

Tersentak karena suara berbisik yang terdengar dekat itu, aku menoleh pada sumber suara. Sesosok cowok kurus dengan postur tubuh menjulang tinggi yang duduk di belakangku tampak sedang duduk miring sambil mencondongkan tubuh ke arahku sambil menyengir. Tudung jaketnya masih terpasang di kepala, jadi wajar saja aku tidak mengenalinya tadi.

"Kirana, kan?"

Aku mengangguk cepat.

"Kok naik bus? Nggak bareng Topan?"

Aku menggeleng.

Masih tersenyum, ia segera berpindah duduk ke bangku kosong di seberang kananku. Dibukanya tudung jaket, seolah ingin memamerkan rambutnya yang berantakan seolah baru saja bangun tidur. Namun bukannya merapikan rambut, ia justru mengacak-acaknya hingga tampak lebih berantakan. Melihat ekspresi wajah bangga itu, seakan-akan ia merasa baru saja jadi orang paling keren sedunia. Aku hanya memutar bola mata, lantas memalingkan wajah keluar jendela.

"Topan ujian ulang hari ini, kan?"

Aku menoleh sejenak dan mengangguk, lalu berpaling kembali.

"Bukannya kalau bareng Topan malah lebih praktis, nggak perlu bayar?"

Tanpa menoleh, aku bergumam kecil. "Hmm."

"Kalian juga selalu bareng, kan? Kenapa hari ini nggak?"

"Hmm."

"'Hmm' apa?"

Aku memutar bola mata. Lagi.

Berhentilah mengajakku bicara. Dua kali bergumam artinya aku sedang tidak menginginkan percakapan. Apa kamu tidak mengerti kode sederhana seperti itu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dream OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang