2

201 13 0
                                    

“Clarissa Wulan!” Teriakan cempreng Sena seketika mendengung ditelingaku. Aku menoleh dan mendapatinya tengah berlari kecil kearahku dengan senyum yang terus mengembang. Biar aku tebak, bocah ini pasti tengah bahagia. Ia tidak pernah tersenyum dan tertawa selebar itu, apalagi di pagi hari seperti ini. Biasanya Ia akan bertingkah seperti itu apabila Ia mendengar bahwa aku akan mentraktirnya makanan sampai perutnya membuncit kekenyangan.

“Ada apa?” Tanyaku cuek lalu kembali melanjutkan perjalananku menuju kelas. Hari ini aku ada kelas pagi dari Mr. Josh dan itu artinya aku sudah rela untuk membuang jam istirahatku hanya untuk bertemu dengan dosen galak itu, “Kau ada kelas pagi?” Tanyaku lagi, karena Sena tak menjawab pertanyaan yang ku ajukan sebelumnya.

“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri, “Aku tidak ada kelas pagi.” Jawabnya santai dan seketika membuatku melongo.

“Lalu untuk apa kau datang kesini?!!” Tanyaku hampir berteriak. Aku tidak habis pikir dengan Sena, untuk apa Ia datang kesini kalau Ia tak mempunyai kelas pagi hari ini? Kelewat rajin atau apa?!

“Santai dong, baby,” Ia mengedipkan sebelah matanya, “Aku hanya ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang ingin ku ceritakan.”

“Penting?” Tanyaku curiga dengan alis berkerut. Sudah sering kali aku mendengarkan cerita absurd dari mulut Sena, dan sebelum menceritakan cerita absurdnya, Sena selalu memiliki wajah ceria seperti tadi. Kau pikir saja, apa kucingmu mau mandi denganmu itu adalah hal yang patut untuk diceritakan kepada orang lain? Atau cerita seperti ketika kucingmu melahirkan banyak anak? Kurang kerjaan sekali, bukan?

Sena mengangguk, “Penting dan sangat-sangat penting. Ini bukan cerita tentang kucingku melahirkan lagi, kok. Kau tenang saja, soalnya suami kucingku sedang merantau jauh. Dan aku yakin kau akan terkejut mendengar ceritanya nanti, aku jamin.”

Aku mencebikkan bibirku, “Ku tunggu kau nanti siang di café. Okay?” Pesanku padanya. Sena mengangguk semangat kemudian meninggalkanku sendirian di koridor. Ia melangkahkan kakinya kearah café kampus dengan riang. Aku tersenyum samar, gadis itu pasti belum sarapan. Ckckck. Suka sekali Ia mencari penyakit.

Aku kembali melanjutkan langkahku menuju kelas.

**

Oh, god… Apa yang sebenarnya kau rencanakan untukku? Kenapa hal yang membuat kepalaku sakit dan hatiku berdenyut perih selalu datang padaku? Hatiku terasa sakit sekali, bagaikan ditusuk beribu-ribu jarum. Aku tidak menyangka bahwa Ia akan secepat ini melupakan hubungan yang telah kami berdua bangun bersama hampir lima tahun lamanya. Apakah semuanya hanya angin lalu baginya? Tidak ada satupun kenangan yang melekat dalam otaknya? Tidak ada satupun? Aku meringis sedih.

Aku ingin sekali menangis, mengeluarkan beban dan sesak didalam hatiku. Dan berharap rasa sakitnya akan luntur bersama turunnya air mataku dan menghilang tanpa bekas. Sungguh, aku tak bisa untuk menanggung rasa sakit ini sendirian. Namun, aku tak mampu menangis, aku tak bisa menangis. Sesakit dan semenyedihkan apapun keadaanku, aku tak mampu mengeluarkan air mataku walau aku menginginkannya, sangat-sangat menginginkannya.

Aku teringat kembali dengan perkataan Sena tadi siang,

“Minggu depan Jeremy akan menyelenggarakan pernikahannya dengan Anna.”

Yah, Jeremy akan menikah dengan Anna. Gadis yang kulihat menggandeng Jeremy dengan mesra minggu lalu. Mereka menikah disaat aku masih mengharapkan Jeremy akan datang padaku dan membayangkan Ia memintaku untuk kembali ke dalam kehidupannya. Aku tertawa hambar, itu semua hanya harapan konyol yang ku buat secara sepihak. Tentu saja Jeremy lebih memilih Anna, karena gadis itu jauh lebih cantik dariku.

Dan sialnya, kenapa Jeremy harus MENGUNDANGKU ke acara pernikahannya? Brengsek! Dia kira aku sekuat apa sampai aku tahan melihat orang yang ku cintai menikah dengan orang lain didepan mata kepalaku sendiri? Sungguh menyedihkan.

“Aku mendapatkan undangan ini dari Jeremy. Ia mengantarnya ke rumahku dan menyuruhku untuk menyerahkannya padamu.”

See? Pemuda itu sepertinya dengan sengaja ingin membuatku semakin hancur. Hahaha, apa aku terlalu jahat sehingga aku harus dihancurkan? Apa aku terlalu kejam sehingga aku harus dihancurkan dengan perlahan-lahan? Apa banyak orang yang tidak menginginkan kehadiranku dimuka bumi ini? Atau aku memang tidak pantas untuk hidup?

Aku menatap undangan pernikahan yang baru saja ku terima. Aku tidak ingin munafik, ku akui, Jeremy sangat pantas bersanding dengan Anna. Jeremy yang tampan dan juga Anna yang sangat cantik. Mereka berdua bagaikan pasangan yang ada dalam negeri dongeng. Sungguh membuat iri. Dan aku memang benar-benar iri. Seharusnya aku yang bersanding dengan Jeremy, bukan gadis itu!

Biarkanlah untuk hari ini saja aku menjadi gadis yang sangat menyedihkan.

Karena kau belum tahu siapa aku yang sebenarnya.

**

Author’s POV

“Kau masih melakukan ritualmu, huh?” Gina mendengus. Ia menatap kakak laki-lakinya dengan tatapan jengkel sekaligus kesal, “Bukankah aku sudah mengatakan bahwa lebih baik kau hentikan kebiasaanmu itu? Kau pasti tahu, kalau karma itu masih berlaku.”

“Berhenti menceramahiku, Gina,” Spencer menatap adiknya dengan tajam, “Lebih baik kau mengurusi kehidupanmu sendiri daripada kau harus mengurusiku.” Ujarnya datar.

“Aku tidak menceramahimu. Tapi aku mengingatkanmu, kak.” Gina menyandarkan tubuhnya dan menghela napas pasrah. Ia sama sekali tidak peduli dengan tatapan menusuk yang diberikan oleh Spencer, karena Ia lebih tahu bagaimana kakaknya dari pemilik tubuh itu sendiri, “Sampai kapan kau akan begini?”

“Sampai aku puas.” Jawab Spencer tegas, “Aku senang bermain-main dengan mereka. Mereka layaknya boneka yang memang pantas untuk ku mainkan.” Ia mengangkat sebelah sudut bibirnya, “Dan mereka memang pantas untuk ku sakiti.”

Gina tahu persis apa yang membuat kakaknya menjadi seperti ini. Berubah menjadi sosok yang sungguh tidak Ia kenali. Ia sendiri saja terkejut ketika Ia pulang kembali ke London dan melihat kakaknya bergandengan mesra dengan wanita paruh baya, yang bisa dikatakan cocok menjadi Ibu untuk mereka. Ancaman yang diberikan oleh Spencer dulu, disaat Ia ingin berangkat ke Jepang—untuk melanjutkan kuliahnya—benar-benar ditepati oleh kakaknya. Ia sungguh tidak main-main pada setiap perkataan yang dilontarkan keluar dari mulutnya.

Kaum wanita memang pantas untuk disakiti.

“Apa ucapanmu juga berlaku untukku?” Tanya Gina yang langsung membuat Spencer menoleh. Pemuda itu mengernyit, Ia sudah tahu kemana arah perkataan gadis itu.

“Tidak,” Spencer menatap adiknya dengan tatapan berbeda dengan tatapan sebelumnya, “Kau adikku dan aku sayang padamu.” Ujarnya terdengar lembut dan tulus. Kedua matanya juga memancarkan perasaan yang sama.

Gina menatap Spencer dengan sedih, “Tapi aku juga seorang wanita dan mom juga seorang wanita… Apa kau juga membenci kami?”

“Dengarkan perkataanku, Gina,” Spencer menegakkan tubuhnya dan menatap Gina tajam, “Kalian berdua adalah sesuatu yang sangat berharga untukku. Kalian bagaikan oksigen dalam kehidupanku, aku tak akan bisa hidup jika tanpa kalian. Kau dan mom adalah harta yang paling ku sayang di dunia ini. Dan kalian berdua berbeda, karena kalian menyayangiku dengan tulus tidak seperti yang lainnya.”

Dan itu pula yang menjadi alasan kenapa aku seperti ini.

**

Vomment, guys! ^^

JustFairy © Copyright – 21 Desember 2013.

Broken AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang