Sebongkar Takdir Mbah

293 11 0
                                    

Masih cerpen tugasa kuliah ya...

*****

Aku menatap barisan angkutan yang ada di jalan dari balik kaca jendela bis yang aku tumpangi. Melihat betapa sibuknya orang-orang. Bis yang aku tumpangi berhenti untuk mencari sejak dua menit yang lalu di depan pasar. Dari sini aku depan melihat pasar dengan jelas, orang-orang tampak sibuk berlalu lalang. Saat aku sedak hanyut dalam lamunanku tiba-tiba aku dikejutkan oleh seorang nenek yang menepuk pundakku pelan. Dengan senyum tulus aku menggeser tempat dudukku. Aku melirik sekilas ke sampingku, memperhatikan nenek yang sudah nampak lelah dengan keriput di wajahnya. Tiba-tiba aku teringat Mbah Ronah atau biasa dipanggil Mbah Nah oleh warga desaku. Dulu dia tergolong wanita yang kaya, mempunyai beberapa petak sawah yang sangat luas, rumanya besar dan halamannya luas. Dia tidak mempunyai seorang anakpun.

Saat itu Mbah Nah masih dalam suasana berkabung karena suaminya telah tiada. Dua, tiga bulan ia lalui sendiri di gubuk istananya. Malam-malam yang biasanya dilaluinya dengan berbagi keluh kesah dengan suami kini ia lalui dengan kesunyian. Nyanyian jangkrik dan rengekan katak yang senatiasa memeriahkan malamnya itu. Ia berbikir hidup ini harus maju, sawahpun tak tau harus ia apakan karena biasanya Mbah Pardi, suaminya yang mengurusinya.

Tiga bulan yang ia lalui membuat hidupnya berubah. Tumpukan gabah hasil panen yang menjulang tinggi kini hanya tersisa satu karung karena ia menjualnya setiap hari untuk biaya makannya. Sawah yang dahulunya lebat dengan berbagai tanaman kini gersang, tubuh yang dahulu segar bugar kini perlahan-lahan terlihat lelah. Sampai suatu hari Pak Luwik mendatanginya malam-malam. Dia berkata dia sangat prihatin dengan keadaan Mbah Nah. Mbah Nah yang susah tentu senang melihat kedatangan si juragan sawah ini.

"Mbah saya ingin membantu Mbah merawat sawah. Saya kasihan melihat Mbah kesusahan begini. Bagaimana kalau sawah yang ada dipinggir lapangan aku yang nggarap mbah. Nanti hasilnya kita bagi dua," begitulah kata Pak Luwik

Mbah Nah tentu saja senang mendapat bantuan itu dan setuju dengan usulan Pak Luwik. Setelah itu terjadilah kerja sama. Pada musim panen padi Mbah Nah di beri 25 karung gabah kering oleh Pak Luwik sedangkan Pak Luwik mendapat 20 karung. Memang sawah Mbah Nah yang ada di pinggir lapangan itu sangat luas. Mbah tentu saja senang karena ia tak perlu bersusah-susah lagi. Pada musim selanjutnya rencannya akan ditanami jagung dan ternyata hasil panen jagungnya sangat berlimpah. Mbah tentu sangat senang karena hasil panen yang berlimpah dari sawahnya. Mbah tidak perlu lag khawatir karena ia mempunyai gabah dan jagung banyak jadi tak perlu kesusahan lagi

Tiga tahun kemudian semuanya berubah dulu, Mbah yang selalu mendapat setengah dari hasil panen kini hanya mendapat beberapa karung saja itupun hasil protes tetangga yang merasa kasihan ke Mbah Nah. Janji Pak Luwik dulu hanyalah janji angin semata, sawah yang dulu digarabnya kini ia minta sebagai upahnya selama ini. Kehidupan Mbah jauh dari kata sederhana, sawah yang dulu berjajar dimana-mana kini habis ia jual untuk menyambung hidupnya. Kini ia hanya mempunyai gubuk istana dan halamnya yang luas saja. Orang-orang desa yang melihat merasa iba dan kasihan kepada Mbah Nah, tapi mereka hanya diam saja karena takut kepada Pak Luwik yang terkenal licik dan kejam. Para tetangga hanya bisa membantu memberikan makannnya atupun cuma selembar uang untuk membantu.

Saat aku berjalan menyusuri jalan setapak desa, aku melihat Mbah Nah sedang duduk termenung di beranda rumahnya. Matanya sangat sayu dengan keriput di wajahnya, badannya kurus tak bersemangat lalu aku berjalan menghampiri Mbah Nah.

"Asalamualaikum Mbah," ucapku ketika sampai di depan beranda rumah Mbah

"Waalaikumsalam," jawab Mbah dengan pelan dan mencoba tersenyum

"lagi ngapain Mbah?" tanyaku sambil duduk di lantai karena di beranda Mbah Nah hanya ada satu kursi yang di tempati Mbah.

"Duduk," jawab Mbah sambil tertawa pelan, aku yang mendengarnya pun ikut tertawa. Setelah itu kami sama-sama terdiam. Mata Mbah melihat jauh ke depan seakan menerawang kehidupannnya dahulu.

"Mbah, Mbah kalau malam ngapain?" tanyaku pelan. Mabah Nah melirikku sebentar lalu tersenyum tipis.

"Sholat cu," jawab Mbah kalem. Memang Mbah Nah ini dulu sangat rajin pergi ke masjid dengan suaminya tapi karena sekarang fisik Mbah yang mulai melemah jadi ia tidak pernah ke masjid lagi.

"Selain sholat?" tanyaku lagi

"Berdoa," sumgguh Mbah Nah ini orang baik dan taat beragama tapi kenapa Pak Luwik tega sekali melakukan semua itu. Tidakkah ia berpikir bagaimana keadaan Mbah Nah.

"Mbah, Mbah kenapa tidak melaporkan perbuatan Pak Luwik?" saat aku bertanya seperti itu kontan saja Mbah tertawa, bukan tertawa lepas tapi tertawa lirih.

"Orang kaya Mbah ini mana mungkin bisa melapor cu, nanti yang ada malah Mbah yang di penjara. Kamu kaya gak tau negara ini aja to cu," ucap Mbah Nah. Memang benar yang dikatakan Mbah Nah. Orang tak punya uang seperti kami ini hanya akan kalah apabila mau maelawan orang yang mempunyai uang. Seperti istilah yang sering kita dengar hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, negara seakan lupa dengan undang-undang yang menyatakan semua orang sama dimata hukum.

"Benar Mbah, tapi masa Mbah rela begitu saja sawahnya di ambil?"

"Rela gak rela cu, hitung-hitung sedekah. Yang penting Mbah masih dikasih hasilnya walaupun sedikit," ucap Mbah. Aku diam dalam hati aku mengumpati Pak Luwik yang tega sekali menyakiti orang sebaik Mbah Nah.

"Mbah aku balik dulu ya, takut ibu nyariin,"

"Hati-hati cu,"

Seminggu setelah pertemuanku dengan Mbah, aku belum lagi melihatnya. Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan ujian di sekolah jadi aku tak sempat melihat Mbah. Saat ini aku kembali mengunjungi Mbah pagi-pagi. Aku heran rumahnya tampak sangat sepi, walaupun biasanya sepi tapi biasanya aku selalu mendengar Mbah Nah mengaji pagi-pagi. Aku ketuk pintunya berulang-ulang tak ada jawaban. Dengan hati yang penasaran aku membuka pintu rumahnya yang tak dikunci.

"Mbah," panggilku. Tak ada yang menyahuti. Aku berjalan menuju kamar Mbah tapi kosong. Lalu aku melihat ke tempat salat Mbah yang ada di samping kamarnya. Aku tersentak kaget melihat Mbah yang tergeletak di bawah masih menggunkan mukena dan di sampingnya ada Al-quran dan tasbih yang masih ia pegang. Aku berlari ke halaman Mbah dan berteriak minta tolong. Warga desa pun berbondong-bondong ke rumah Mbah begitupun Pak Luwik dengan wajah sombongnya.

"Mbah Nah sudah tiada," ucap salah satu warga. Cairan bening yang dari tadi kutahan akhirnya keluar juga. Siang itu juga Mbah di makamkan dengan damai. Sementara itu Pak luwik makin senang karena ia tak harus membagi hasil panennya lagi. Aku begitu jengah melihat kesombongan dan kekejaman Pak Luwik.

ME & YOU (Story Idola Cilik)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang