Andai hari itu tak gerimis, mungkin saat ini adalah hari paling bahagia bagi Ryan. Gerimis tak ubahnya seperti kabut, keduanya adalah kesedihan.
***
Ryan duduk di teras sebuah masjid kecil, dengan pekarangan yang hijau dan pepohonan yang teduh. Bocah itu menatap ke arah halaman yang basah oleh beberapa genangan air. Semalam hujan turun cukup deras. Dan hari itu sisanya masih terlihat bersama gerimis ringan. Seperti embun bercampur kabut di pagi buta. Harusnya matahari sudah cukup tinggi, karena pagi itu sudah pukul 8 lebih sedikit.Ryan tak peduli lalu lalang undangan yang mulai memasuki masjid. Hari ini Ryan akan memulai sebuah kisah baru dalam hidupnya. Dia akan punya Papa baru. Cindy, Mamanya, menikah lagi dengan Erland, laki laki yang begitu hangat dan menyayangi mereka berdua.
Tapi kenapa gerimis harus turun ? Padahal gerimis itu tidak mengganggu, hanya sedikit mengusik kebahagian Ryan. Gerimis itu mengingatkan kembali pada kejadian paling pedih dalam hidupnya. Lima tahun lalu, Ryan kehilangan Papanya, saat mereka sedang berlibur ke Puncak. Kejadian itu menyisakan trauma yang masih mengayun ayun di pikiran Ryan.
Saat itu, Ryan baru berumur 5 tahun.Erwin mengajak Cindy dan Ryan berlibur dua malam di Puncak. Liburan itu seharusnya akan menjadi hadiah paling istimewa untuk merayakan ulang tahun Ryan, yang jatuh sehari sebelumnya. Erwin sengaja mengundur liburan itu ke hari Sabtu, karena kesibukannya. Meski masih kecil, Ryan bisa memaklumi kesibukan papanya. Mungkin karena sudah terbiasa.
Bayangan bayangan itu melintas sangat jelas di pikiran Ryan. Matanya seketika berkaca kaca, mematung menatap gerimis, sementara tamu tamu semakin banyak yang berdatangan. Tak sadar, bibir Ryan bergetar, berbisik.
"Papa...?? " Suara Ryan sedikit serak. Tidak ada yang mendengarnya.
Lima tahun berlalu tak cukup untuk menghapus peristiwa naas itu dari pikirannya. Ryan mencoba membawa kembali ingatannya ke masa itu. Matanya menerawang, ke arah gerimis yang masih juga belum reda.***
Ciiiiiiiitttt.........
Terdengar suara decit ban mobil, saat menikung. Jalan menuju Puncak, tidak begitu ramai, sedikit berkabut, ditambah gerimis lembut melayang seperti bulir bulir air terbawa angin. Kebun-kebun teh di kiri kanan, hampir tak terlihat. Wiper bergerak sesekali, mengusap kaca mobil dari air yang menempel, sementara di bagian dalam, kaca tampak mengembun. Bekas telapak tangan mungil Ryan terlukis oleh uap air di kaca itu, kemudian hilang."Ryan mau duduk di pangku sama Papa... Ryan mau nyetir," Ryan mulai merengek.
"Ryan, papa lagi konsen nyetir... Nggak boleh sayang," Terdengar suara Cindy dari di jok belakang.
"Nggak mau Ryan mau dipangku Papa," Ryan semakin merengek. Kalau sudah begini biasanya Erwin dan Cindy sudah sulit menghalangi keinginan Ryan.
"Ryaan...!!!," Kali ini suara Cindy meninggi.Ryan ngambek, duduk dengan wajah cemberut di jok sebelah papanya. Erwin akhirnya mengalah, Erwin menarik tangan Ryan, sembari membujuk.
"Ya udah, ya udah... Ryan boleh duduk di pangku papa," Erwin menarik nafas, mengalah. Tak terlihat kesal di wajah Erwin demi anak kesayangannya.
"Horeee...!!!" teriak Ryan. Wajahnya berubah sumringah.
"Tapi jangan lama lama yah," kata Erwin.
"Iya Pa... " Ryan girang, bersemangat.
"Pa... hati hati, Pa..." Cindy tampak was was, saat Ryan mulai berdiri di atas jok sebelah kiri.Erwin baru saja akan mengangkat tubuh Ryan. Tiba tiba, Ciiittttt.... Kaca mobil bagian depan dan kanan terkena cipratan air berlumpur disusul suara klakson truk, panjang dan memekakkan telinga. Lalu suara decit ban susul menyusul.
Ciiiit... Ciiiitt...
Suara ban itu berpadu dengan pasir dan aspal yang tergerus, membuat mobil itu berguncang cukup keras. Kerikil kerikil kecil terpental ke tepi jalan. Asap mengepul dari bawah, karena ban yang direm bergesekan dengan aspal.
"Pa... Paaaa... " Cindy menjerit ketakutan. Suasana berubah jadi tegang dan menakutkan.
"Papaaa... Maaaaa... Ryan takut Ma..." Ryan mulai menangis. Tangan kecilnya mencoba menggapai memegang sandaran jok. Ryan hampir saja terjatuh ke kolong dasboard.
Cindy berusaha meraih tangan Ryan. Tapi mobil SUV setengah butut itu terlalu oleng, sementara Erwin masih berusaha mengendalikan laju mobil. Cindy sibuk menahan dorongan ke tubuhnya, agar tidak terhempas. Tangan Cindy sempat menyentuh jari jari Ryan.
"Ryan pegangan yang kuat... Cindy, ambil Ryan ke belakang," teriak Erwin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Pernah Salah
Teen FictionGerimis tak ubahnya seperti kabut. Keduanya adalah kesedihan...