"...Kehadiran Cinta membuat Ryan sadar, bahwa gerimis tak selamanya menggoreskan kesedihan di hatinya. Mereka seperti langit yang sedang mendung, menyelimuti tanah retak yang resah menanti hujan..."
Satu persatu, para tamu mulai meninggalkan tempat berlangsungnya akad nikah. Acara itu terbilang sederhana, maklum Erland bukanlah orang kaya. Dia hanya karyawan biasa di sebuah Perusahaan Swasta. Beda sama Papa dulu, walaupun belum cukup untuk dibilang kaya, tapi Cindy dan Ryan tidak pernah kekurangan.
Ryan tersenyum melihat Mamanya. Ryan bisa merasakan, betapa bahagianya wanita yang melahirkannya itu. Cindy mengenal Erland sebenarnya belum lama. Sekitar dua tahun lalu. Itu juga dikenalkan oleh salah satu teman kerja Erwin, Radian, yang tidak tega melihat Ryan dan Cindy hanya hidup berdua. Sebenarnya, Radian mengetahui ada sesuatu yang disembunyikan Cindy, tapi dia tidak memberi tahu Erland, karena takut Erland membatalkan niatnya menikahi Cindy.
Sekarang Mama tidak lagi sendiri. Mama sudah ada teman, pengganti Papa. Meski ada sedikit cemburu di hati Ryan, karena harus kehilangan sebagian perhatian Cindy.
Tapi, bagi Ryan, kebahagiaan Mama jauh lebih berarti. Toh sekarang, dia sudah cukup besar untuk mengurus dirinya sendiri. Sudah 10 tahun lebih usianya. Apalagi mulai hari ini, dia juga tidak sendiri, ada adik barunya, Cinta, yang mungkin akan mengalihkan perhatiannya dari Mama."Ryan, ayo kita pulang, Sayang," Suara itu membuyarkan lamunan Ryan. Ryan menoleh dan Cindy sudah ada disitu.
"Kita pulang ke rumah kita," Cindy mengulurkan tangannya.
Ryan menyambut tangan Cindy, yang menunduk sedikit agar bisa menggapai tangan Ryan yang dalam posisi duduk. Tiba tiba Cindy merasakan sakit diperutnya. Cindy diam sebentar agar rasa sakit itu berkurang.
"Mama sakit lagi ?," Ryan tampak cemas.
"Ssssttt... Mama nggak apa apa Sayang," Entah kenapa Mama berbicara sedikit berbisik. Wajah Ryan, tahu betul, kalau Mamanya sedang menahan rasa sakit, persis yang pernah dilihatnya beberapa kali di rumah.Tidak jauh dari Ryan dan Cindy, Erland sedang bicara serius dengan Cinta. Ryan sempat melirik ke arah ayah dan anak itu.
"Jadi sekarang kita tinggal sama Kak Ryan ya Pa?," Cinta tampak senang.
"Iya... sekarang kan Ryan sudah jadi kakak Cinta,"
"Yeey... Asyiikkk...," Cinta spontan, girang.
Erland tersenyum melihat respon Cinta.
"Cinta boleh main sama Kak Ryan dong Pa?," Cinta tidak sabar.
"Boleh," Erland menjawab lembut.
"Makasih,Pa,"
"Sekarang ajak Ryan pulang, kita pulang sama sama,"
"Iya Pa," Cinta langsung bergegas pergi.
Erland hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah Cindy. Erland sempat bertatapan dengan Cindy sebentar, sebelum kemudian Cindy bergeser sedikit ke samping tubuh Erland.Sementara tidak jauh dari situ, Cinta juga sudah berdiri di dekat Ryan. Hanya berjarak sejengkal. Ryan menunduk malu, kemudian mengangkat lagi wajahnya, menatap Cinta, yang sebenarnya ingin mengucapkan sesuatu.
"Kata Papa aku boleh main sama Kakak sekarang,"Kata Cinta, polos.
"Oooh Iya boleh, sekarang kan kita tinggal sama sama, jadi kita juga bisa main sama sama," Kali ini Ryan sudah mulai tenang.
"Dekat rumah aku ada sungai, airnya bening banget," Ryan kali ini yang semangat.
"Hah serius Kak?," Cinta penaran.
Ryan mengangguk sebelum menjawab. "Iya serius,"
"Jadi nggak sabar," ucap Cinta.
"Ryan... Cinta, ayo pulang," terdengar suara Cindy. Keduanya menoleh ke arah Cindy yang ternyata sudah berjalan keluar dari masjid.
Rupanya Cinta dan Ryan, larut dalam obrolan yang mulai hangat. Ryan dan Cinta bergegas menyusul Papa dan Mama mereka.***
Tante Dinda, baru saja pulang. Wajahnya terlihat kesal, sangat berbeda dengan sikapnya yang ramah pada Ryan dan Cinta saat di Masjid pagi tadi. Kakak Erwin ini perangainya agak sulit ditebak, kadang baik, kadang tiba tiba berubah menyebalkan.Saat Dinda membuka pintu, di dalam rumah sudah berdiri Salwa, anak semata wayang Dinda. Salwa tidak datang ke pernikahan itu. Gadis cilik yang usianya hanya terpaut beberapa bulan dengan Ryan itu memang pemalas. Bangun pagi saja susahnya minta ampun.
"Kok Mama udah pulang," Salwa menatap ibunya, sambil garuk garuk kepala, mengantuk.
"Udah kelar acaranya," Jawaban Dinda terdengar datar.
"Ambilin Mama minum," Dinda langsung duduk di sofa tua di ruang tamu.
"Aaaahhh Mama... baru juga datang udah nyuruh nyuruh," Salwa langsung masuk, dengan muka bete dan kesal.
Dinda paham banget karakter anak semata wayangnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Pernah Salah
Teen FictionGerimis tak ubahnya seperti kabut. Keduanya adalah kesedihan...