Part 1

374 9 4
                                    


Aku mengembus napas dalam-dalam, sebelum bibir ini mengeluarkan suara. Satu keputusan penting harus segera kuambil. Dua wajah yang menatapku saat ini menampakkan kecemasan, banyak harapan menggantung di wajah mereka. Aku tak mungkin lagi menimpahkan kekecewaan pada kedua orang tuaku.

"Baiklah. Syifa terima." Kuangkat wajahku. Dua pasang mata tua yang menatapku langsung berbinar, serta merta mereka memelukku. Kualihkan pandangan ke luar jendela, nampak lukisan alam sudah berganti warna, hari mulai gelap.

Ah, semoga ini keputusan yang benar.

Dua minggu kemudian, rombongan keluarga dari calon suamiku datang mengkhitbah. Dan inilah kali pertama aku face to face dengan calon imamku. Namanya Satria, pekerjaan wiraswasta. Hanya itu yang aku tahu ketika ibu menyerahkan selembar fotonya beberapa waktu lalu. Facenya biasa saja, yang menonjol mungkin kekayaan dia. Dari barang seserahan yang dibawa, semua serba mewah. Aku berhusnudhon pada orang tuaku, bahwa mereka memilih Satria karena agamanya, bukan karena kekayaan yang melimpah.

Perjodohan. Memandang sekilas lalu bertemu di pelaminan, itu yang terjadi dengan kelima kakakku. Mereka juga menikah karena dijodohkan. 

Tidak ada istilah pacaran dalam keluarga kami. Semua menikah dengan proses ta'aruf yang super singkat, hanya disodori foto dan info yang sangat minim tentang calon pendamping kami. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah aku siapkan untuk calon imamku akhirnya hanya menjadi file yang tersave di bilik hati. Orang tua tak memberi aku ijin untuk berbicara dengan Satria. 

"Dulu kakak-kakakmu juga hanya melihat foto saja. Toh, mereka langgeng sampai sekarang," kilah bapak. 

Aku pasrah, menyerahkan semuanya pada sang penulis takdir. Jika memang perkara ini baik untukku, dalam agama dan penghidupanku, semoga ditetapkan perkara ini untukku. Pun sebaliknya, jika perkara ini jelek bagiku, dalam agama dan penghidupanku, kumohon pada-Nya untuk menjauhkanku dari perkara ini.

*** 

Tiga bulan setelah khitbah, tanpa sengaja aku bertemu Satria di toko buku yang berada di sebuah mall. Dan aku tak bisa menolak ketika dia mengajak makan siang di court food, katanya ada hal serius yang ingin dibicarakan, yang berhubungan dengan walimah kami.

Gemetar. Itu yang aku rasakan. Ini untuk pertama kalinya aku duduk semeja dengan lelaki yang bukan mahramku. Padahal kami tidak berdua, ada Tanti yang menemaniku. Tentu saja aku tidak mau berkhalwat dengan Satria, meski dia adalah calon suamiku. 

Dari cerita Satria, baru aku tahu kalau pertemuan ini sudah diatur oleh orang tuaku. Mereka yang memberitahu Satria kalau hari ini aku menemani sahabatku Tanti mencari buku untuk tugas kuliahnya. Karena memang Satria yang memaksa ingin bertemu dengan aku.

Pantesan! Terlalu kebetulan jika semua ini tanpa disengaja.

Empat puluh menit, kulirik monol di pergelangan tangan kiriku, belum sempurna satu jam, tapi cukup bagiku mengenal sosok lelaki yang duapuluh hari lagi akan menjadi suamiku. Satria tipe lelaki yang banyak omong, kalau istilah jawa gedabrus. Tidak ada satu kalimat pun yang bermakna, dari semua hal yang dia tuturkan, aku menangkap sikap sombong atas harta orang tuanya. Tak ada kalimat yang mengarah pada visi dan misi ke depan dalam berumah tangga. Semua pembicaraan hanya seputar pesta yang ingin ia gelar dengan mewah.

Satu hal lagi, aku tidak suka dengan sorot matanya. Terlihat liar.

Ah, mendadak aku merasa menyesal menerima perjodohan ini, dia jauh dari kriteria lelaki yang aku inginkan untuk menjadi pemimpin hidupku. 

Tiba-tiba perut Tanti mules, dia ijin pergi ke toilet, meninggalkan aku berdua dengan Satria. Dan sepeninggal Tanti, tanpa sungkan Satria menggeser duduknya mendekat padaku.

"Mas, kok duduknya pindah?" protesku.

"Kenapa? Masak duduk berdekatan saja tidak boleh, kita kan sudah bertunangan?" Bibirnya menyungging senyum

Dan matanya ... 

Sungguh! Aku tak suka dengan tatapan itu.

"Masih tunangan, belum suami istri." Aku menarik kursi, agak menjauhinya. 

"Ternyata, semakin dipandang kamu terlihat semakin manis." Satria ikut menggeser kursinya, makin mendekat padaku. Pujiannya tak membuatku tersipu, aku sangat tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini.

"Mas, tolong duduknya agak menjauh." 

"Kenapa say?" Tanganku diraih, dia berusaha menggenggam jemariku. 

"Ya Allah, bukan lelaki seperti ini yang aku inginkan untuk menjadi imamku," jeritku dalam hati. Panggilan sayang itu membuat telingaku panas, dadaku tersengal menahan amarah. Aku bangkit dari dudukku dan menghempaskan tangannya.

"Mas! Tolong hormati aku, hormati hijabku." Aku marah dengan sikapnya. Benar-benar marah.

"Ayolah, tak usah malu-malu."

Kalimatnya itu sungguh melecehkan aku.

"Banyak kok yang berjilbab tapi berpegangan tangan, bahkan berpelukan di tempat umum." Matanya semakin terlihat nakal. Tangannya bergerilya di pinggangku, berusaha memeluk. Aku merasa sesak, dilecehkan oleh calon suamiku. 

"Astaghfirullah. Kamu salah, Mas! Aku bukan mereka." Kujauhkan tubuhku darinya. Allah! Mana mungkin aku memilihkan ayah seperti ini untuk anak-anakku kelak. Kurasakan kelopak mataku yang perlahan menghangat.

Melihat Tanti keluar dari toilet, segera kuraih tasku dan menyeret Tanti pergi meninggalkan Satria. Tak kupedulikan tatapan Tanti yang kebingungan, juga teriakan-teriakan Satria yang terus memanggilku.

*** 

Mata bapak merah, menahan amarah. Ibu masih sesenggukan di pojokan kursi, tubuh kurusnya meringkuk sambil memeluk bantal yang sudah kumal. Sesekali tangan keriput itu mengusap kelopak matanya yang bengkak. Semua saudaraku yang hadir hanya diam membisu. 

"Tidak bisa, pokoknya pernikahan ini harus dilanjutkan." Suara bapak menggelegar, jauh menakutkan dari suara geledek.

"Pak, Syifa mohon," tangisku.

Hari ini akhirnya aku punya keberanian untuk mengutarakan kegelisahanku. Empat hari setelah kejadian itu, terjadi perang hebat dalam batinku. Dulu aku menerima perjodohan ini, pasrah begitu saja pada pilihan orang tuaku. Tapi setelah tahu siapa sosok lelaki yang akan menjadi imamku, aku merasa tidak ikhlas dan ridho dengan pernikahan ini.

"Dua minggu lagi, mana bisa kita membatalkannya, kamu jangan menginjak kehormatan orang tuamu." Mata bapak tajam menghunusku.

Aku mengerti kemarahan bapak, undangan telah dicetak, semua persiapan akad nikah sampai resepsi sudah sembilan puluh persen selesai. Belum lagi menghadapi keluarga Satria yang pasti akan sangat marah, jika pernikahan ini dibatalkan sepihak.

"Tolong pahami Syifa, Pak. Syifa tidak bisa menikah dengan lelaki yang telah melecehkan Syifa," ucapku patah-patah.

"Sudahlah Dek, tidak usah berlebihan menanggapi sikap Satria," Mas Samsul, kakak tertuaku buka suara. Ucapannya bak belati tajam yang mengiris ulu hatiku, perih sekali.

"Berlebihan?" Pandanganku beralih pada Mas Samsul. "jadi menurut Mas Samsul, sikap Satria itu wajar?"

"Maksudku. Apapun dia, Satria adalah calon suamimu, kamu harus terima. Pernikahan kalian sudah di depan mata. Tidak mungkin dibatalkan. Apalagi keluarga Satria sudah menyiapkan rumah yang gede untuk kamu."

"Kalian memilih Satria bukan karena hartanya, kan?" kuberanikan menatap berpasang-pasang mata diruang ini, bergantian.

"Kamu ini perempuan Nduk, bagaimana mungkin membatalkan pernikahan ini, nanti kamu jadi perawan tua." Ibu yang dari tadi diam, ikut mengungkapkan kegelisahannya.

Aku mendekati ibu, bersimpuh di kakinya, "Ibu, Syifa membatalkan karena ada alasannya."

"Ini soal kehormatan keluarga. Kalau kamu tidak mau melanjutkan pernikahan ini, Langkahi dulu mayatku." Bapak bangkit dari duduknya dan meninggalkan kami, amarah menggelayut jelas di wajahnya. 

Dunia seolah runtuh di pangkuanku, aku tidak menyangka bapak akan bereaksi seperti ini. "Allah, tolong aku," rintihku dalam-dalam.

TBC

Jodoh Tak Akan TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang