Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa sudah sebelas bulan aku mengabdikan diriku di pesantren. Di sini dari bangun tidur sampai mata kembali menuntut haknya untuk beristirahat, semua kegiatan terjadwal dengan baik. Tidak ada lagi waktu bagi otakku mengingat kejadian yang menjadikan malam-malamku terbangun karena mimpi buruk.
Aku sudah bisa melalui hari-hariku dengan tenang.Sampai suatu siang, usai mengisi kelas tahfidz, hati yang semula tenang ini dibuat berdebar tidak keruan. Tiba-tiba aku dipanggil keluarga ndalem. Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menanyakan kesediaanku untuk ta’aruf, katanya ada kenalan Gus Mahrus yang ingin mengkhitbahku.
Bukan hanya kebahagiaan yang menyelimuti hati, namun rasa gemetar tak kalah bertahta di sana. Bagiku ini terlalu mendadak. Nanti malam, kata Gus Mahrus aku dan dia akan dipertemukan. Perutku terasa diaduk-aduk memikirkannya.
Dan waktu berjalan begitu cepat bagiku, semburat jingga di ufuk barat telah berganti warna. Sekarang aku sudah berdiri di depan pintu ndalem.
Ambil napas.
Buang.
Dua kali tanganku mengetuk pintu.
“Silakan masuk, Ustadzah!” Istri Gus Mahrus menyambutku dengan ramah. Beliau mengajakku masuk ke ruang utama Ndalem. Di sana sudah ada ... ah, entahlah, aku tidak berani mengangkat wajahku. Sejak duduk tadi mataku hanya menekuri karpet motif bunga yang sekarang dalam pijakanku. Jemariku saling meremas.
Sungguh! Ini lebih sulit dari yang kubayangkan.
“Ini Muiz Abdullah.” Gus Mahrus mengenalkan orang yang duduk di sebelahnya. Aku masih menunduk, menentramkan degup jantungku yang bertalu cepat.
“Akhy. Ini yang namanya Ustadzah Syifaul Qulub.” Meski kepalaku tak terangkat, aku merasakan tatapan Gus Mahrus pindah ke arahku. “Saya hanya membantu ikhtiar kalian untuk mengikuti sunnah Rasulullah, menggenapkan separuh agama kalian. Selanjutnya segala keputusan ada di tangan kalian.”
Suasana hening sesaat.
“Ummah, kita tinggalkan mereka sebentar, beri kesempatan mereka untuk saling bertanya.” Gus Mahruz mengajak istrinya ke dalam.
Sekarang kami hanya berdua. Allah, detak jantungku semakin kacau, tanganku sekarang memilin-milin ujung jilbabku untuk mengusir gemetar ini.
Cukup lama kami saling diam.
“Bertanyalah, apa-apa yang ingin ukhty ketahui tentang saya lebih lanjut.” Sebuah suara yang terdengar lembut dan mantap, membuat bibirku tercekat. Tiba-tiba saja aku tidak punya kalimat yang ingin kutanyakan. Segalanya menguar begitu saja. Padahal dulu saat taaruf dengan Satria, aku punya banyak sekali stok pertanyaan.
“Saya percaya sepenuhnya dengan pilihan Gus Mahrus. Insya allah tidak ada lagi yang ingin saya tanyakan.” jawabku dengan suara gemetar. Tadi siang Ummah sudah menceritan sedikit profilenya.
Dia bukanlah seorang hafidz bukan pula ustadz. Dia santri yang sering ikut kajian kitab Bulughul Maram yang diadakan setiap jumat siang di pesantren. Dan dia sedang mencari pendamping dari pesantren sini.
Sungguh, hanya itu. Dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa semua itu sudah cukup.
Hening. Lagi-lagi kebisuan hadir diantara kami.
“Akhy, silakan! Jika ada yang ingin ditanyakan?” Akhirnya aku punya keberanian menyalin pertanyaannya.
“Saya juga percaya pilihan Gus Mahrus untuk saya.” Dia juga meng-copy paste jawabanku.
Kami kembali tanpa kata. Lalu ...“Apakah itu berarti Ukhty menerima khitbah saya?” Suaranya terdengar sedikit bergetar.
Pertanyaannya membuatku terkesiap. Dalam sekejab khitbah datang padaku. Dan secepat ini dipertanyakan kesediaanku.
“Insya allah. Baiknya masing-masing kita istikharah dulu, kita libatkan Allah dalam perkara ini.”
“Iya. Tentu saja.” Sahutnya cepat.
Terdengar deheman dari belakang. Gus Mahrus dan isterinya kembali hadir di tengah-tengah kami.
“Bagaimana? Sudah sama-sama cocok?” suara Gus Mahrus dibarengi dengan tawa yang menggodo. “Istikharahlah. Saya tunggu jawaban kalian satu minggu lagi.”
***
Dan setelah satu minggu, kami sudah memberi keputusan. Aku menerima khitbahnya setelah dia hadir dalam istikharah cintaku. Pun demikian dengan dia, kami sama-sama saling menerima perjodohan dari Gus Mahrus.
Mendapat karunia yang begitu besar dari Allah, tentu saja aku tak dapat menahan air mataku, kubiarkan saja ketika pelan-pelan menitik dari sudut mataku. Memoriku masih merekam dengan jelas segala kutukan yang ditimpakan padaku beberapa waktu lalu. Dan lihatlah, jika Allah berkehendak, bahkan ribuan kutukan tidak akan merubah apa-apa yang telah ditulis di langit.
Setelah perkenalan dua keluarga, akhirnya tanggal pernikahanku ditentukan. Dua minggu lagi, terlalu singkat memang, itupun tanpa didahului lamaran seperti adat yang biasa di desaku. Aku pasrah penuh pada keluarga ndalem, lebih tepatnya pasrah pada ketetapan Allah.
Hari pernikahanku.
Iring-iringan mobil mewah mengantar mempelai pria, turut pula santriwan dan santriwati dari pesantren yang menghadiri akad nikah kami, dress code putih yang mereka kenakan merubah desaku menjadi lautan putih.
Berpasang-pasang mata warga desa tercengang dengan pemandangan yang tak biasa ini, ada begitu banyak orang yang menghadiri pernikahanku.
Saat menuju pelaminan, kudengar bisik-bisik.
“Syifa beruntung ya?”
Suara yang lain menimpali, “Sepertinya yang ini lebih kaya, lihat aja barang seserahanya, begitu banyak dan bagus-bagus. Yang ngantar mobilnya mewah semua, mereka sepertinya dari keluarga yang sangat kaya.”
“Sudah kaya, tampan lagi, Satria sih nggak ada apa-apanya.”
Mereka mulai membanding-bandingkan.
“Yang ini kayaknya lebih cocok dengan Syifa, sama-sama dari pesantren.”
“Aku pikir dia akan jadi perawan tua, ternyata wangi juga.”
Bahkan kalimat seperti itu pun sampai tertangkap pendengaranku. Orang-orang ini selalu berkomentar, dan mungkin akan selamanya seperti itu. Sampai acara walimah selesai, aku terus melihat tatapan kagum orang-orang kampungku, tak luput juga bisik-bisik mereka.
Semua mata memandang takjub pada lelaki yang sekarang bersanding denganku di pelamina. Wajar saja, karena memang allah memberinya karunia berupa ketampanan yang luar biasa. Wajahnya bak orang-orang keturuan arab, memiliki mata sendu yang dibingkai sepasang alis tebal dengan bulu mata yang lebat. Hidungnya mancung dengan rahang yang tegas serta kulit putihnya semakin menyempurnakan ketampanannya.
Dan wajah menawan itu baru aku tahu ketika dia masuk ke kamar untuk menyerahkan mahar usai mengucapkan ijab kabul tadi. Karena saat nadhor dulu, aku sama sekali tidak mampu mengangkat kepalaku untuk sekadar melirik wajah orang yang mengkhitbahku. Untuk sesaat tadi, aku merasa tidak cukup pantas bersanding dengan rupa menawan itu. Tapi perasaan itu segera hilang saat dia mengecup keningku dan membisikkan kalimat indah di telingaku.Uhibbuki fillah. Terima kasih sudah memilihku untuk menjadi partner hidupmu, semoga kita bisa bersama-sama meniti jannah-Nya.
Allah ... tentu saja aku tidak dapat menahan laju air mataku, semua ini terlalu indah untukku.
***
TBC