Sudah dua hari bapak masih mengunci mulutnya rapat-rapat, tidak mau bersapa denganku. Tak satupun saudara yang memihakku, kondisi rumah penuh ketegangan. Untuk sementara aku diam, tak berani merajuk lagi.
Aku harus sedikit bersabar, menunggu emosi orang-orang di rumah ini mereda. Yang bisa aku lakukan saat ini hanya berdoa, mengurung diri di kamar dengan memperpanjang sujud-sujudku. Aku yakin Allah selalu bersamaku dan akan menyelesaikan masalah ini dengan kasih-Nya.
"Makanlah, nanti kamu sakit." Tiba-tiba ibu sudah di belakangku, membawa sepiring nasi.
Aku segera menutup mushafku, mencium sebentar lalu meletakkan di meja. Kulihat wajah ibu pucat, kelopak matanya juga masih tebal. Aku merasa bersalah telah menimpahkan kesedihan di wajahnya.
Tanpa melepas mukena, kupeluk tubuh renta didepanku, "Ibu, maafkan Syifa," isakku. Ibu membalas pelukanku, kurasakan tubuhnya berguncang pelan, ibu juga menangis. Cukup lama kami berpelukan.
"Makan dulu, Nduk." Ibu melepas pelukannya.
Aku menggeleng, sejak kemarahan bapak, mulutku tak mampu mengunyah apapun, hanya air putih saja yang bisa menerobos tenggorokanku.
"Bapak masih marah, ya, Bu?" tanyaku dengan suara serak.
"Kamu mengalah saja Nduk, mungkin ini sudah jalan takdirmu." Tangan ibu mengusap lembut wajahku.
"Apa ibu masih menyimpan ketakutan, Syifa akan menjadi perawan tua, jika pernikahan ini digagalkan?" Ibu diam. Bibirnya bergetar menahan isak.
"Bukankah jodoh itu urusan yang sudah diatur Allah, Bu. Datangnya cepat atau lambat itu sudah ketentuan-Nya. Kenapa harus dirisaukan? Ibu harus yakin jika penolakan ini tidak akan menjadi penyebab tertundahnya jodoh Syifa." Kutatap matanya yang basah.
"Tujuh tahun Syifa berjuang menghafal Al-qur'an dipesantren, mewujudkan keinginan bapak dan ibu untuk menjadi seorang Hafidzah. Apa menurut ibu, lelaki seperti Satria itu, yang telah melecehkan putri ibu ini, bisa membantu menjaga hafalanku?"
Mendengar kalimat itu, mata ibu makin menderai.
"Ibu tidak bisa membayangkan kemarahan keluarga Satria, Nduk. Ini pasti akan menjadi petaka besar buat keluarga kita." Tangan ibu mengusap air mata yang menghalangi pandangannya.
"Ini memang ujian untuk kita, Bu. Allah sudah memberi petunjuk atas istikharahku. Meski mungkin datangnya terlambat. Tapi Allah telah menunjukkan kalau Satria bukan jodoh yang baik untuk Syifa. Tolong, bu! Bujuk bapak." Aku mulai merajuk.
"Tidak perlu menyuruh ibumu untuk membujukku." Suara bapak mengejutkan kami berdua. Kami sontak menoleh ke belakang. Entah sudah berapa lama bapak berdiri di pintu kamarku. Sudah berapa banyak pula pembicaraan kami yang di dengarnya.
"Bapak sudah putuskan." Suaranya terhenti, bapak mengatur nafasnya. Jantungku berpacu lebih cepat menunggu suara Bapak.
"Bapak tidak akan menyerahkan putriku yang shalehah ini pada Satria." Bapak merengkuh aku dalam pelukannya.
"Benarkah?" tanyaku terbata. Hampir tak percaya dengan keajaiban ini. Bapak mengangguk, tangannya mengelus pucuk kepalaku. "Bapak akan urus semuanya."
"Maafkan Syifa. Sudah membuat keluarga kita dalam prahara." Aku mengeratkan pelukanku di tubuh bapak.
"Bapak yang seharusnya minta maaf karena terlalu mementingkan kehormatan daripada masa depan putrinya. Kamu benar, Nduk! Kejadian kemarin itu adalah petunjuk dari Allah, kalau sesungguhnya bapak salah memilihkan jodoh untukmu. Maafkan bapak, ya?"
Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku, banyak yang ingin kukatakan pada bapak dan ibu, sayangnya bibirku keluh untuk mengeluarkan semuanya, yang kulakukan hanya memeluk ibu dan bapak dengan erat, lega kurasakan, beban yang menghimpitku sudah terangkat, meski belum semuanya. Ada keluarga Satria yang harus kami hadapi.
***
Bukanlah perkara yang mudah membatalkan pernikahan ini. Dugaan kami benar, keluarga Satria tidak menerima keputusan ini dengan hati lapang. Ada amarah yang begitu tinggi, dan emosi yang meletup-letup.
Dan kami memahami hal itu.
"Siapa kamu? Berani-beraninya berbuat ini pada keluarga kami?" Telunjuk Budhe Satria hampir mengenai mataku.
"Maaf!" suaraku berbarengan dengan isakan.
"Simpan saja maafmu. Kamu akan menyesal. Lihat saja, kamu akan menjadi perawan tua, tidak akan ada laki-laki yang datang melamarmu." Sumpah serapah pun keluar dari hati yang dipenuhi nafsu syetan.
Aku terus beristighfar dalam hati, mohon ampunan-Nya untuk diri dan keluargaku, juga keluarga Satria.
"Jangan begitu, Jeng! Mungkin memang mereka berdua tidak berjodoh. Saya doakan semoga Satria cepat mendapat jodoh yang lebih baik dari anak saya." Ibu memegang tangan Budhe Satria, berusaha menenangkannya.
"Oh! Tentu saja," ucap Budhe Satria dengan sinis. Dia menepis tangan ibu. "banyak gadis di luar sana yang antri dipinang oleh keponakanku."
Ibu tersenyum mendengar ucapan BudheSatria, meski aku tahu wajahnya menyimpan kegelisahan, sumpah serapah Budhe Satria sangat mempengaruhinya, aku lihat kilat di mata ibu, saat Budhe Satria menyumpahiku tadi.
"Yang harus kamu khawatirkan itu anak gadismu ini." Budhe Satria memegang lenganku, menekan agak kuat. Aku meringis menahan sakit.
"Kamu akan jadi perawan tua. Ingat, itu."
"Jangan keterlaluan," Bapak melepas tangan Budhe Satria yang mencengkram lenganku. Tangan bapak sudah naik ke atas untuk menampar Budhe Satria, beruntung ibu cepat menangkapnya.
"Sudah, Pak! Istighfar." Ibu terisak, lalu membimbing bapak untuk duduk. Menenangkan amarahnya. Budhe Satria yang masih tak dapat mengendalikan emosinya langsung ditarik keluar oleh suaminya, mereka pulang tanpa berpamitan.
Demi harga diri, meski bukan aku mempelainya, mereka tetap ingin melanjutkan pernikahan pada tanggal yang sudah tercetak di undangan dan harus dengan mempelai wanita yang sekampung denganku, itu sumpah mereka.
Dan Allah maha berkehendak, keinginan mereka pun terkabul. Dengan pesona kekayaan mereka, ternyata tidak sulit mencari gadis yang bersedia menggantikan aku sebagai mempelai Satria.
Di hari pernikahan itu ...
Semua tetangga menggunjingku, mencemoohkan aku. Bahkan ada yang terang-terangan mengatai aku akan menjadi perawan tua. Mereka menyesalkan aku yang telah melewatkan kesempatan emas,menjadi menantu orang kaya.
Perawan tua ... Perawan tua...
Apa yang ada dipikiran orang-orang ini. Kenapa tiba-tiba mereka merasa punya hak untuk mengutukku. Tidakkah mereka memahami penderitaanku atas perlakuan Satria padaku. Aku merasa tidak nyaman berada di kampungku sendiri. Meski aku berusaha tak menghiraukan gunjingan mereka, tetap saja hatiku perih setiap mendengar kalimat-kalimat yang pedas dari tetanggaku.
Lagi-lagi aku hanya bisa menangis, menumpahkan segala unek-unekku pada Sang Pemilik Skenario di sepertiga malam yang agung. Aku memohon pertolongan-Nya, aku meminta Allah memberiku keluasan hati menerima comoohan ini.
Dan doaku diijabah langsung oleh Allah dengan mengirim ustadzah Habibah, guruku di pesantren bertamu ke rumah. Beliau menawari aku mengajar di pesantren.
Aku bersyukur. Allah memberi pertolongan di saat yang tepat. Dengan restu kedua orang tuaku, aku kembali ke pesantren untuk berkhidmah.
TBC