[2]

825 64 1
                                    

Misha Pov

Aku menyusuri buku-buku yang berjejeran begitu rapi dalam rak raksasa perpustakaan pagi ini. Kadang sebuah buku menarik perhatianku hingga kutarik dari tempat asalnya lalu sejurus kemudian aku meletakkannya kembali. Terus begitu hingga sadar aku telah berada di ujung rak tersebut.

Aku menghela napas.

Sejak perintah paksa Afif beberapa hari yang lalu, hatiku dilanda rasa tidak nyaman dan was-was yang berarti. Entah karena tidak tahu harus memulai dari mana atau aku hanya terlalu cemas keluar dari zona nyamanku selama ini. Lagi pula tema yang ditawarkan Afif sudah sedikit berani.

Saat itu aku memutuskan untuk duduk di kursi yang letaknya tidak jauh dari tempatku kini berada. Biasanya ada beberapa mahasiswa yang terlihat tengah mengisi waktu dengan membaca buku mereka di jejeran kursi kayu tersebut tapi pagi ini aku nyaris tak menemui satupun.

"Astaga, so-sorry!" seruku segera menoleh pada seseorang yang sepertinya kakinya telah terinjak olehku ketika ingin menarik salah satu kursi.

"Iya, gak papa." katanya.

Rasanya seolah detak jantungku berhenti beberapa detik ketika mengetahui pemilik suara. Yah, dia, senior yang tengah kutaksir itu duduk sambil menatapku dengan senyumnya.

"Maaf kak, tadi gak sengaja." kataku canggung.

"It's okey, baca buku?" Kulihat ia mengangkat buku yang digenggamnya.

"Eh, iya, kak." Tanganku bergerak merapikan rambutku. Lalu, "Tapi tadi udah. Kalo gitu duluan, kak." Aku segera berlalu dengan langkah besar-besar. Jika aku masih berada di sana, laki-laki itu bisa saja menebak perasaanku selama ini padanya.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku merogoh tas selempangku dan mengeluarkannya.

Afif. Begitulah yang terpampang di layar.

Kubuka pesannya.

From Afif
Apa kabar idenya aku?

Oh, shit!

Dia benar-benar laki-laki yang berambisius dan aku menyukai sifatnya tersebut meski untuk beberapa kondisi sifatnya itu malah begitu menjengkelkan.

To Afif
Kak, bisa ketemuan?

From Afif
Aku nunggu di base, ok?

To Afif
Otw ke sana

Akan lebih baik jika aku mengatakan keberatanku padanya. Setidaknya siapa yang tahu jika tiba-tiba Afif membatalkan perintahnya setelah pertemuan nanti.

Sebelum tiba di base yang dimaksud, aku harus melewati area parkiran fakultas. Beberapa kendaraan mencoba keluar sementara yang lain berusaha memarkir kendaraan mereka. Lalu seorang perempuan berpenampilan cukup berbeda dan nampak mencolok berdiri sambil membicarakan sesuatu dengan ibu berbadan gemuk--jika tidak salah kerap kali kudapati di kantin kampus--dengan serius.

Aku mengabaikannya dan tetap melangkah hingga sebuah ingatan melintas begitu saja.

Aku berhenti, memandang perempuan tersebut dengan mata menyipit karena mataku sedikit minus kemudian seolah tersadar segera kukeluarkan ponselku dan kuarahkan padanya.

******

"Kenapa ngajak ketemuan, Sha?" ucap Afif sesaat kami bertemu.

"Rencana kemarin bisa dicancel, kak? Aku pikir ini udah agak berani."

Afif menatapku untuk beberapa saat, lalu. "Kenapa? Berat, ya? Aku gak tahu loh kamu ternyata gak seambisius yang aku kira."

Jadi selama ini dia mikir aku perempuan ambisius? That's why...

"Kak, jangan gitu dong. Aku cuma gak nyaman. Aku takut..." Suaraku sengaja kupelankan.

Afif tak berkata apa-apa ketika beranjak berdiri dan menuju meja kayu yang polesan catnya sudah terkelupas di sana-sini. Dan melihat sikapnya yang demikian aku dapat menyimpulkan bahwa laki-laki tersebut kecewa pada ucapanku.

"Okey, aku lakuin. Aku bisa atasin. Tapi kak, Harry ikut jugakan, ya?"

Akhirnya Afif berbalik padaku. Wajahnya kembali ceria. "Gampanglah kalo itu."

Usai membicarakan beberapa hal dengan Afif, Harry menghampiriku. Kusodorkan ponselku padanya yang tengah menampilkan foto seorang perempuan muda.

"Ini targetnya."

******

Harry berkata padaku bahwa ia akan mendapat persetujuan perempuan itu hanya dalam hitungan beberapa menit saja. Tapi nyatanya aku sudah berdiri lebih dari sepuluh menit di tepi jalan kecil dengan pandangan sesekali ke arah mereka berdua. Entah apa saja yang Harry dan perempuan asing itu perdebatkan.

Sesaat kemudian Harry menghampiriku dan tersenyum simpul.

"Dia gak mau diinterview di sini, kita ikut ke rumahnya."

"Beneran? Gak bahaya, Ry?" tanyaku sungguh-sungguh tidak nyaman.

"Kamu pikir dia bandit kelas kakap sampe ditakutin segitunya. Tenang, ada gue, Sha." Harry tersenyum berusaha menenangkanku. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan tanpa dirinya saat ini.

Kemudian kami terus mengekori perempuan itu. Beberapa kali aku menyadari melewati belokan dan sebuah tempat tongkrongan yang dipenuhi beberapa anak muda dan lelaki yang lebih berumur. Mereka memandangi kami seolah kami adalah mangsa yang siap terkam dan satu-dua kali aku mendengar panggilan mereka padaku dan Harry. Aku semakin was-was.

"Sha, sini deketan." panggil Harry tiba-tiba dan segera kuturuti.

Akhirnya kami tiba di depan sebuah rumah satu tingkat sederhana--bahkan begitu sederhana. Dindingnya tidak bercat sama seperti sebagian besar rumah di sebelah kanan dan kirinya. Hanya ada pintu kayu tua dan sebuah jendela model lama yang membuatnya terlihat sebagai tempat tinggal.

Beberapa perempuan yang sepertinya sudah paruh baya berseliweran berpenampilan layaknya remaja gadis.

Aku dan Harry memasuki rumah tersebut.

Pengap dan tidak cukup penerangan.

"Okey, sekarang bisa kita mulai interview?" Harry membuka suara.

Perempuan itu berbalik, lalu. "Tanpa cowok."

"Kenapa? Dia partner kerja aku." kataku sedikit terkejut dengan perkataannya.

"Tanpa cowok atau gak sama sekali. Di sini gak terima cowok." ulangnya dengan ekspresi tidak bersahabat.

"Mbak..."

"Kalo begitu keluar saja."

Aku terdiam dengan kening berkerut bingung. Apa perempuan itu tidak mampu menangkap keterpaksaanku menerima ide Afif juga?

"Misha, gak papa, aku nunggu di luar."

"Aku lupa sesuatu, interviewnya mulai besok."

Lagi.
Aku terdiam memandanginya.

Harry kembali berbicara pada perempuan tersebut. Usai itu, Harry meyakinkanku bahwa semuanya akan berhasil jua dan mengantarku pulang ke rumah.

******

IndecipherableWhere stories live. Discover now