Part 1

49 2 1
                                    

Gadis itu mendekap tubuhnya sangat erat, bibirnya bergetar. Matanya lurus kedepan dengan tatapan kosong. Butiran bening membanjiri lututnya yang pas di bawah dagu. Dia meringkuk di pojok kamar ditemani remang-remang cahaya matahari yang menerobos masuk melalui ventilasi. Seseorang membuka pintu kamarnya, dia tidak menoleh. Bergeming, seperti patung!

"Dek, udah sebulan lo begini, lo bisa sakit." Orang itu berjongkok di depannya.  Gadis itu tetap diam, bahkan melirikpun tidak.
"Dengarkan Abang. Lo gak perlu takut lagi, kita bakal pindah dari sini."
Dia mulai tertarik mendengar perkataan itu, dia menatap cemas mata orang di hadapannya.

Gadis itu langsung memeluk orang yang di panggilnya abang.
"Abaaang.. Dita takuut. Di..ditaa takuut Bang hiks !" Suara tangisnya menggema dikamar yang tadi hening.
"Bawa Andita pergi dari sini! Bang Galih gue mohooonn." Gadis itu menguatkan pelukannya dan tersedu di pundak Galih. Air mata Andita juga membasahi kaus pemiliknya.

Galih hanya mengangguk, diam-diam dia mengusap air matanya yang akan tumpah. Dia juga menangis ketakutan di dalam hatinya. Tapi dia tak bisa meluapkan rasa takut itu. Adiknya membutuhkan dirinya saat ini. Jika dia lemah, adiknya makin rapuh.

🌸🌸🌸

"Andita, lo jangan lupa bawa ini." Galih meletakkan bingkai foto ukuran 10R di atas koper adiknya.

Andita hanya mengangguk. Dia mengusap lembut potret di dalam bingkai.

Ayah,Ibu, Gue, dan Bang Galih.

Andita tersenyum tipis.

Galih meninggalkan Andita dan pergi ke kamarnya untuk berkemas. Dua atau tiga hari lagi mereka akan meninggalkan rumah itu.

Andita memasukkan foto
ke dalam kopernya,  lalu menarik ritsleting koper besar di hadapannya itu.
Dia melihat-lihat sekitarnya. Lebih tepatnya sekeliling kamarnya. Cat berwarna pink melapisi dinding kamarnya. Meja rias, meja belajar, dan kursinya tertata sangat rapi. Lampu tidur yang menggantung indah di langit-langit kamar membuat Andita cepat terlelap saat malam hari. Andita sangat rajin membersihkan kamarnya, sehingga membuat siapapun yang masuk kedalam kamar ingin berlama-lama di dalamnya.

Dia menyentuh jejeran boneka di atas tempat tidurnya.
"Sorry, gue ninggalin lo semua." Ucap Andita lirih.

Gadis itu mendesah. Dia berdiri menghampiri jendela, menyibak korden yang juga berwarna pink.

Andita menatap keluar. Kamarnya yang strategis, ada dilantai dua dengan jendela yang langsung menghadap ke halaman rumah. Rumput hijau menghiasi halaman rumahnya yang luas. Bunga asoka berjejer rapi di pinggir halaman. Ada sekelompok tumbuhan Mawar juga disana, warnanya merah dan putih. Dia menanam bunga itu bersama ibunya.

Air matanya menetes lagi, mengingat kenangan manis bersama Abang dan kedua Orang tuanya. Di halaman rumput hijau yang saat ini di lihatnya adalah saksi bisu kebahagiaan keluarganya. Di halaman itulah mereka pernah melakukan piknik bersama. Bercanda dan berbahagia.
Tapi kejadian malam itu membuatnya harus kehilangan semua kebahagiaan.

Flashback on

"Yah, Ibu percaya Ayah nggak mungkin melakukan ini. Kita punya buktinya sekarang." Ibu memegang sebuah kaset di tangannya.

"Sekarang kita harus ke pengacara Bu. Biar cepat di urus dan segera di serahkan ke kantor polisi!" Seru Ayahnya tegang.
Ibu mengangguk tenang, namun raut wajahnya tetap khawatir.

Ibu menghampiri kami yang berada di ruang keluarga sedang mendengarkan percakapan mereka. Ibu langsung memegang kedua pipiku dan memandang Bang Galih.
"Galih, jaga adikmu. Ibu dan Ayah pergi ke pengacara sebentar. Doakan semoga Ayahmu terbebas dari fitnah ini."

Pengagum SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang