Part 2

22 2 0
                                    

Andita dan Galih menumpangi taxi yang kini melaju meninggalkan bandara.
Mereka masih saling diam dan menatap keluar jendela. Andita berdehem, lalu menengok ke Galih.

"Bang.. kita sekarang kemana?"

Galih menoleh

"Ke kontrakan baru dek."

Andita mengangguk.
"Dimana Bang? Kita kan baru pertama kali kesini?"

Wajah cemasnya membuat Galih harus memegang pipi Andita.

"Kamu ingat Bi Arsih yang pernah kerja di rumah kita dulu? Nah dia yang akan menunjukkan kontrakannya."

"Oh." Andita membulatkan mulutnya.
"Jadi Bi Arsih bilang pulkam ternyata kota Balikpapan ini Bang kampungnya?"
"Iya dek." Galih mengusap rambut Andita.

Galih melihat layar ponselnya, menatap maps yang menunjukkan arah tujuannya. "Gunung Guntur" itulah nama daerahnya. Beberapa saat kemudian Galih menepuk pundak supir memberitahukan untuk berhenti di pinggir jalan. Tepat di depan deretan rumah-rumah yang berjejer rapi.

Galih dan Andita berdiri di depan sebuah rumah beratap seng, berdinding kayu ulin. Pelataran rumah berlantai semen yang sudah halus. Tanaman bunga anggrek merayap cantik di ranting buatan yang menggantung indah. Ada kolam ikan yang di hiasi kerikil kecil terletak tepat di sudut halaman.

Mereka melangkah menginjakkan kaki di rumput halaman yang becek. Ya, sebelum kedatangan mereka, hujan lebat telah mengguyur kota beriman ini.
Sampailah keduanya di depan pintu. Pinggiran sepatu Andita penuh dengan lumpur dan remahan rumput kering yang menempel. Ia menghentakkan kedua kakinya meruntuhkan tumpukan lumpur di sepatunya. Galih yang merasa terganggu langsung menoleh kearah adiknya. Andita meringis dengan khas, mengisyaratkan "maaf". Galih mendengus pelan lalu mengetuk pintu. Beberapa saat pintu terbuka, wanita berumur sekitar 40 tahunan tersenyum ramah. Gelagatnya terlihat sangat senang.

"Den Galih, non Andita.. ya ampun kalian sudah datang. Ayo.. ayo masuk Den-Non."
Mereka masuk kedalam mengikuti  tuan rumah.

"Bi, jangan panggil Den atau Non lagi ya. Kami kan bukan majikan Bibi lagi sekarang." Galih menyentuh lembut pundak Bi Arsih. Merasa tak enak masih di anggap sebagai anak majikan.

Bi Arsih menoleh dan tersenyum sumringah menatap Galih dan Andita bergantian.

"Udah kebiasaan Den, gakpapa kok. Lagian Bibi kan sudah menganggap kalian seperti anak sendiri." Bi Arsih tersenyum kembali.

Andita menggenggam tangan Bi Arsih yang masih setia dengan senyumannya.
"Baiklah kalau Bibi memang menganggap kami anak. Mulai dari sekarang Bi Arsih panggil kami nak Galih atau nak Dita. Bisa kan Bi."Andita tersenyum.

"Baik.. baik non, eh.. nak Dita." Bibi meringis bahagia.
"Sekarang kalian makan dulu dan istirahat disini. Nanti sore Bibi antar ke kontrakan baru kalian, di gang sebelah."
"Iya bi, terimakasih banyak."

Selama Bi Arsih menjadi pembatu di rumah mereka, Andita dan Galih tidak pernah memperlakukan ia seperti pembantu. Tapi seperti ibu mereka juga. Galih selalu membantu mengangkat barang belanjaan, mengangkat baju yang sudah di setrika. Bahkan semalas-malasnya Andita dirumah, dia tidak pernah membiarkan Bi Arsih mencuci baju sendiri. Andita selalu ikut campur dalam urusan itu. Bi Arsih juga tidak pernah makan di dapur seperti pembantu lainnya, tapi Andito dan Laksmi kedua orang tua Andita mengajaknya makan di meja makan bersama. Bi Arsih tidak pernah merasa jadi pembantu dirumah mewah itu. Bi Arsih berpikir mungkin saat ini balas budi itu di lakukan. Saat kedua orangtua Galih dan Andita telah tiada.
🌸🌸🌸

Andita dan Galih menyusun baju mereka kedalam lemari kayu yang terletak di pojok kamar. Rumah kontrakan itu tidak besar, tidak juga terlalu kecil. Tapi pas untuk mereka berdua. Selain lemari kayu, ada kasur tanpa dipan dan juga kipas kecil duduk yang mulai pudar warnanya. Dapur dan kamar mandi yang juga kecil, namun Andita tidak mengeluh dengan keadaannya saat ini. Meskipun kehidupan mewah pernah di nikmatinya.

Pengagum SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang