"Ma, aku mau tinggal disini aja. Aku gak mau hidup di desa."rajuk seorang wanita kepada ibunya. Tidak ada malu pada umurnya yang sudah 25 tahun tetapi masih merajuk pada orang tuanya walaupun ada orang lain yang mengamatinya.
Bayangan hidup yang akan dialaminya, harus meninggalkan kehidupan yang selama ini dimiliki. Keglamoran dan kebebasan selama ini akan digantikan dengan kehidupan yang sangat jauh dari keglamoran.
"Ndien, kamu harus ikut suami kamu, kan sekarang sudah menjadi seorang istri, jadi harus ikut kemana pun suami pergi." Mama mengusap punggung Andien. Ya, semua ini gara-gara seorang lelaki yang kemarin telah menjadi suaminya. Semua kesialan yang terjadi padanya akibat pernikahan ini. Pernikahan yang berawal dari perjodohan kedua orang tua masing-masing.
"Sudah, jangan seperti anak kecil. Itu suamimu sudah menunggu."Papa memutuskan adegan merajuk sang anak.
"Ya sudah Ma, Pa. Andien pamit dulu."Andien memeluk kedua orang tuanya. Lelaki yang daritadi hanya diam mengamati ikut mendekat dan berpamitan dengan kedua mertuanya.
"Titip putri kami ya, Nak." Ucap sang mama kepadanya.
"Pasti, Ma."
Lelaki tersebut kemudian menuju ke arah mobil dan membukakan pintu penumpang. Andien masuk dan pintu disampingnya langsung ditutup. Kemudian, bangku kemudi telah diisi oleh lelaki tersebut.
ANDIEN POV
Keheningan yang kualami selama menuju Bandung sungguh sangat tidak enak. Membayangkan hidup di pelosok membuat tubuhku merinding. Bagaimana kalau aku mau shopping, kalau mau ke salon, kalau mau ke club. Semua kehidupan bahagiaku terenggut hanya karena pernikahan ini. Pekerjaanku di salah satu perusahaan makanan di Jakarta terpaksa harus aku tinggalkan. Semua kulakukan hanya demi pria yang kini menjadi suamiku.
Hingga sekarang aku masih bingung kenapa dia ngotot untuk menikahiku, padahal kenal saja tidak. Aku hanya tahu bahwa namanya adalah Raditya Putra Handoko yang saat ini bekerja di perkebunan teh peninggalan orang tuanya. Kedua orang tuanya sudah tiada yang kini hanya tinggal adiknya yang saat ini kuliah di Bogor.
Kuamati jalanan menuju Bandung. Hari ini macet sekali karena akhir pekan. Ku lihat di depan sekitar 100 meter ada supermarket. Seketika terlintas dibenakku. "Dit, mampir ke supermarket di depan ya."Radit yang dari tadi konsentrasi dalam menyetir, kini menoleh ke arahku. Dia masih mengerutkan dahi sebentar, selanjutnya dia kembali konsentrasi untuk menyetir.
Saat ku kira dia tidak mengindahkan omonganku, ternyata mobil yang kutumpangi kini berbelok ke supermarket. Setelah mendapatkan tempat parkir, aku langsung turun. Kulihat Radit mengikuti dari belakang. Aku mengambil trolly untuk mengisi belanjaanku.
"Sini biar aku saja yang dorong."tiba-tiba radit merebut trolly yang ada di tanganku, yang kutanggapi dengan mengedikkan bahu.
Aku tengah asik memilih-milih camilan yang aku sukai. Semua aku beli untuk stok camilan saat aku hidup di daerah pelosok. "Kok dari tadi cuma beli camilan."kuhentikan aktivitasku mengambil makanan saat Radit melontorkan pertanyaan.
"Buat stok selama hidup di pelosok."
"Ya ampun, Ndien. Disana gak pelosok banget kalo makanan juga banyak."
"Oh, disana ada supermarket juga?"aku kaget ternyata di sana tidak terlalu pelosok.
"Kalau supermarket sih gak ada, tapi banyak pasar yang jual makanan tradisional."jawab Radit.
"Apa?pasar?Noo.."membayangkan aku masuk pasar yang becek saja tidak pernah.
Radit menatapku heran. "Memang kenapa?" "Kotor,"ucaku lalu kulanjutkan kegiatan belanjaku. Setelah kurasa cukup, aku langsung ke kasir.

YOU ARE READING
Secuil Kisah dari Puncak
RomanceSaat kita sudah berada di zona nyaman kehidupan, apabila harus meninggalkannya terasa berat. Kita manusia secara naluri ingin hidup sesuai dengan tingkat kenyamanan. Setiap orang dapat menentukan kemana arah kehidupan yang ingin dicapai. Kemana gaya...